Islamofobia dan Mazhabifobia
Bireuen, 22 Juni 2022
Foto: WION |
Wikipedia menerjemahkan Islamofobia sebagai suatu bentuk ketakutan dan kegelisahan yang dialami seseorang terhadap Islam atau Muslim secara umum. Dengan kata lain, Islamofobia adalah rasa takut dan benci yang disertai prasangka buruk terhadap Islam dan Muslim. Ini adalah definisi paling ringkas dan sederhana dalam memaknai Islamofobia. Namun demikian, tentunya juga terdapat pemaknaan-pemaknaan lain yang secara prinsipil masih selaras, tapi sedikit lebih rinci.
Dalam konteks kebahasaan, Islamofobia sendiri adalah penggabungan dua kata: Islam dan fobia, di mana kata disebut terakhir yang diadopsi dari kata ‘phobia’ (Inggris) memiliki makna takut atau benci sehingga Islamofobia kemudian dimaknai sebagai ketakutan terhadap Islam. Pendefinisian ini selaras dengan pemaknaan yang dilakukan The Council on American-Islamic Relations sebagaimana dikutip Sahar Banu dalam tesisnya bahwa Islamofobia adalah kebencian terhadap Islam yang semakin ekstrem pasca teror 11 September yang kemudian memunculkan stereotip antiMuslim, diskriminasi, pelecehan dan bahkan kekerasan.
Terma Islamofobia sendiri kian populer pasca tragedi WTC yang terjadi pada 11 September 2001 di New York, di mana kala itu seruan dan kampanye antiterorisme begitu memuncak dan menyasar komunitas Muslim yang dianggap sebagai kambing hitam dari segala bentuk teror. Di Indonesia sendiri Islamofobia sempat bergerak liar pasca insiden Bom Bali pada 12 Oktober 2002, di mana ketika itu sejumlah tersangka yang notabene Muslim ditangkap dan dihukum mati.
Kondisi demikian tentu tidak terlepas dari kampanye-kampanye negatif yang dilakukan media-media Barat melalui aksi framing, labeling dan stigmatisasi sehingga Islamofobia pun menyebar dengan masif di Amerika dan Eropa – yang pada akhirnya meningkatkan aksi-aksi penyerangan terhadap Muslim, seperti terjadi di Prancis, Swedia, Norwegia, Kanada dan baru-baru ini juga merambah India.
Beydoun dalam American Islamophobia menyebut bahwa ada tiga dimensi Islamofobia: privat, struktural dan dialektika Islamofobia. Dimensi privat tercermin dalam bentuk kecurigaan dan kekerasan yang menargetkan Muslim, di mana pelakunya adalah sosok-sosok pribadi yang antiMuslim. Contoh dalam dimensi ini dapat dilihat dari aksi-aksi pelecehan dan kekerasan yang dilakukan sosok antiMuslim terhadap penganut Muslim di beberapa negara Eropa, seperti kekerasan terhadap wanita berjilbab dan bercadar. Selain dimensi privat, terdapat juga dimensi struktural berupa ketakutan terhadap Muslim dari institusi pemerintah dan terakhir, dialektika Islamofobia, yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk membentuk Islamofobia struktural.
Saat ini, kampanye Islamofobia tampak semakin parah dan telah menjadi isu global yang terus diperbincangkan. Menyikapi kondisi demikian, pada 15 Maret 2022, PBB telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk memerangi Islamofobia. Resolusi tersebut sebagaimana diberitakan Kompas.com diadopsi melalui konsensus 193 anggota badan dunia yang disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Dengan adanya resolusi ini diharapkan kampanye Islamofobia di masa depan bisa terus diminimalisasi sehingga kebencian tak berdasar kepada Muslim tidak lagi menjadi alasan bagi sebagian kalangan untuk melakukan penindasan dan diskriminasi.
Dalam konteks Indonesia, kasus terbaru yang dikaitkan dengan Islamofobia adalah penolakan UAS oleh Pemerintah Singapura. Sebagaimana dikutip Tempo.co, Pemerintah Singapura menilai UAS sebagai penceramah ekstremis dan mengajarkan segresi sehingga tidak dapat diterima dalam masyarakat Singapura yang multiras dan multiagama. Menyikapi hal tersebut, MUI tampak melayangkan kritik keras kepada Singapura dan menyebut Singapura terlalu berlebihan dalam menilai Abdul Somad.
Penolakan UAS oleh Singapura disebut-sebut dilandasi oleh ketakutan Singapura terhadap Muslim yang disebabkan oleh kemesraan negara itu dengan Israel – yang hingga saat ini menjadi salah satu musuh utama Muslim dan juga musuh kemanusiaan. Namun demikian, penyebutan tindakan Singapura sebagai bentuk Islamofobia menjadi sulit diverifikasi ketika ada tokoh-tokoh agama lain yang juga ditolak masuk negara itu dengan alasan menebar kebencian terhadap agama lain.
Seperti dilansir beritasatu.com, sebelumnya Singapura juga pernah menolak dua pengkhotbah Nasrani dengan alasan Islamofobia pada 2017, di mana kedua pengkhotbah disinyalir telah membuat komentar yang merendahkan dan menghasut agama lain; salah satunya menyebut Allah sebagai tuhan palsu dan menyebut Islam sebagai bukan agama perdamaian. Alasan penolakan yang dilakukan Singapura adalah untuk menjaga keharmonisan umat beragama di negara itu. Jika informasi ini benar, maka tudingan Islamofobia terhadap Singapura menjadi debatable – sebab di sisi lain negara itu juga tampak melawan kampanye Islamofobia yang dilakukan komunitas agama lain.
Mazhabifobia
Tanpa perlu melalui riset yang rumit, mungkin kita semua hampir bersepakat untuk menolak Islamofobia dengan berbagai alasan. Berbagai argumen akan diajukan untuk menolak segala dalil Islamofobia yang dikembangkan media-media Barat dan politisi antiMuslim dengan satu kesimpulan bahwa Islamofobia adalah musuh peradaban modern. Namun di saat yang sama kita seperti menyisakan ruang kosong dalam internal kita sendiri (Muslim). Dengan kata lain kita terkesan diam dan membiarkan kebencian yang terus mengalir sesama kita, salah satunya adalah Mazhabifobia – fobia mazhab (konflik sektarian) yang dalam faktanya juga kerap melahirkan berbagai bentuk kekerasan yang tak kalah memilukan dibanding Islamofobia yang digerakkan oleh antiMuslim – yang dalam terminologi kita disebut dengan ‘kafir.’
Dalam konteks pemikiran Islam, Mazhabifobia berangkat dari kontestasi otoritas yang diperebutkan internal Muslim – yaitu tentang siapa yang paling berhak mewakili dan menafsirkan Islam – yang pada tahapan selanjutnya akan meneguhkan hegemoni mayoritas terhadap minoritas sehingga bermuara pada dominasi – yang akhirnya melahirkan tindakan-tindakan destruktif terhadap sesama Muslim.
Di Indonesia, kasus ini salah satunya dapat ditemukan di Kabupaten Bireuen yang konon dikenal sebagai ‘Kota Santri.’ Hingga saat ini aksi pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga masih menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan, namun tak juga ditemukan solusi yang bermartabat guna menyelesaikan persoalan tersebut. Ironisnya lagi, penolakan pembangunan masjid ini – yang merupakan manifestasi dari Mazhabifobia – bukan saja dilakukan oleh segelintir masyarakat Muslim di kawasan itu, tapi juga terkesan mendapat legitimasi dari negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah – yang dalam informasi terakhir disebut-sebut telah memerintahkan Satpol PP untuk membongkar tiang-tiang pancang bangunan itu. Bukankah tindakan semacam ini juga bagian dari diskriminasi dan penindasan terhadap Muslim?
Padahal, secara prinsip perbedaan Islamofobia dan Mazhabifobia hanya pada pelaku, di mana Islamofobia dilakukan oleh antiMuslim, sementara Mazhabifobia justru melibatkan Muslim itu sendiri. Lantas apa yang mendasari perbedaan sikap Muslim menyikapi fenomena ini, padahal seperti halnya Islamofobia, yang menjadi sasaran Mazhabifobia juga komunitas Muslim? Di sinilah terkadang kita terpaksa menertawakan diri sendiri. Wallahu a’lam.
Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa
Post a Comment