Sekularisme Prancis dan Terorisme Responsif?
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 6 November 2020
Terkait insiden Prancis baru-baru ini, ada beberapa pertanyaan penting yang mesti diajukan.
Pertama, apakah aksi pembunuhan terhadap Samuel Paty dan penyerangan terhadap sebuah gereja di Nice beberapa hari setelahnya dapat dikategorikan sebagai terorisme Islam?
Kedua, Apakah aksi kekerasan di sana dapat disamakan dengan terorisme lainnya semisal ISIS atau Al-Qaida?
Ketiga, Apakah penistaan terhadap agama berada dalam domain kebebasan berekspresi?
Beberapa pertanyaan itu penting dijawab dengan objektif dan cermat guna melahirkan konklusi yang tepat dalam menyikapi insiden Prancis. Artinya, sebuah insiden tidak semestinya dipandang sebagai insiden an sich, tanpa mendudukkan konteks yang melingkupinya.
Memang kita semua sepakat, bahwa pemenggalan Samuel Paty dan pembunuhan tiga orang lainnya di Prancis adalah kejahatan kemanusiaan, tapi apakah peristiwa itu berdiri sendiri?
Sejauh ini sejumlah negara Eropa telah menyatakan dukungannya kepada Prancis untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai terorisme Islam.
Beberapa pemimpin Muslim juga menyatakan hal yang sama, menolak terorisme, tapi menambahkan catatan bahwa pelecehan terhadap Nabi Muhammad juga tidak dapat dibenarkan.
Anehnya, secara faktual, Presiden Prancis, Emmanuel Macron hanya menerima ucapan belasungkawa, tapi mengabaikan komplain dari pemimpin Muslim, di mana dia telah mengizinkan “kartun Nabi Muhammad” dipajang di tempat-tempat umum dengan dalih solidaritas kepada korban.
[Lazada Program] TOPK AC32 USB Type C Cable & Micro USB Cable , Voltage And Current Display Type-c Fast Charging Data Sync USB-C Cable For Xiaomi A1 Samsung S9 HUAWEI OPPO VIVO Rp. 35.000 |
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Prancis. Ada beberapa hal yang harus dilihat.
Pertama, aksi pembunuhan terhadap Samuel Paty dan penyerangan terhadap sebuah gereja di Nice sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai terorisme Islam, sebab pada prinsipnya, sebagaimana dikemukakan oleh para pemimpin Muslim, teroris tidak memiliki agama sehingga setiap tindakannya tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, termasuk Islam.
Seperti kita yakini, semua agama menyerukan kedamaian dan kasih sayang sehingga aksi terorisme sama sekali tidak memiliki landasan dalam agama manapun, khususnya Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dengan demikian, sikap Presiden Prancis yang langsung melabelkan tuduhan “teroris Islam” kepada para pelaku adalah absurd dan tidak berdasar.
Lebih jauh, meskipun mengaku tidak anti-Islam, namun secara fakta, Emmanuel Macron, seperti disebut Ramzan Kadyrov, pemimpin Chechnya – adalah inspirasi bagi terorisme melalui sikapnya yang tendensius terhadap Islam.
Fakta lainnya, Macron juga telah menutup sebuah masjid dan membubarkan beberapa organisasi Muslim di Prancis karena kecurigaanya terhadap terorisme.
Sikap Muslim Prancis yang mengutuk tindakan kekerasan di sana juga menjadi bukti bahwa mereka tidak mendukung terorisme, karena Muslim meyakini Islam adalah agama damai yang mengajarkan persaudaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, jauh sebelum Prancis menjadi “negara beradab” yang dalam faktanya justru bias dengan kebebasannya yang tanpa batas.
Prinsip-prinsip persaudaraan telah diajarkan Nabi – sosok yang mereka hina, lebih dari 1400 tahun lalu. Jika Islam menjadi pelopor bagi konsep “humanisme modern,” lantas bagaimana mungkin Islam disebut teroris?
Kedua, aksi kekerasan yang terjadi di Prancis, baik yang menimpa majalah satire Charlie Hebdo pada 2015, maupun pembunuhan Samuel Paty dan penyerangan gereja di Nice bulan Oktober lalu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan terorisme lainnya semisal ISIS atau Al-Qaida. Aksi tersebut juga berbeda dengan aksi terorisme yang menimpa Wina di Austria baru-baru ini.
Aksi terorisme ISIS dan Al-Qaida lebih kepada terorisme politis yang terorganisir, terpusat dan sistematis, serta digerakkan oleh jalur komando. Hal ini dapat dilihat dari objek-objek yang menjadi sasaran penyerangan mereka.
Berbeda halnya dengan aksi “terorisme” yang terjadi di Prancis yang secara faktual dipicu oleh adanya provokasi dari korban.
Penyerangan majalah Charlie Hebdo pada 2015 misalnya dipicu oleh penerbitan “kartun Nabi Muhammad” yang dalam keyakinan Muslim adalah pelecehan, dan bahkan penistaan. Demikian pula dengan pembunuhan Samuel Paty, juga dipicu oleh alasan yang sama, alasan kemarahan karena simbol suci agama dinistakan oleh korban.
Fakta penting lainnya, pelaku pembunuhan Samuel Paty, menurut keterangan kepolisian Prancis juga tidak terbukti memiliki kaitan dengan jaringan terorisme. Artinya, aksi itu lebih kepada respons spontan sebagai bentuk pembalasan kepada penghina Nabi.
Dengan demikian, tudingan Presiden Macron yang menyebut pembunuh Samuel Paty sebagai teroris Islam sama sekali tidak berdasar.
Terorisme yang menimpa Prancis terjadi tiba-tiba secara spontan tanpa perencanaan yang matang layaknya jaringan terorisme seperti ISIS atau Al-Qaida.
Lebih tepatnya, aksi kekerasan di Prancis adalah “terorisme responsif” yang bisa muncul kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja.
Terorisme responsif ini dilatari oleh adanya pemicu dan provokasi dari korban.
Kampanye Islamofobia yang diserukan oleh Presiden Macron dan pembelaannya terhadap penerbitan “kartun Nabi” akan menjadi pemicu paling efektif yang bisa mendorong munculnya “teroris-teroris responsif” yang bertindak spontan di negara itu.
Ketiga, penistaan terhadap agama bukan domain kebebasan berekspresi. Sejauh ini, Prancis terkesan bias dalam menerjemahkan liberte (kebebasan) sehingga mengundang malapetaka dan kemarahan.
Penerbitan “kartun Nabi” adalah provokasi, penghinaan dan penistaan terhadap sosok suci yang secara nyata dilanggar oleh Prancis dengan dalih kebebasan berekspresi.
[Lazada Program] CINCIN TAUHID CINCIN Islami PROMO HARGA SATUAN Rp. 10.800 |
Prancis mempraktikkan kebebasan yang tanpa batas. Padahal kebebasan yang absolut itu tidak ada, karena setiap kebebasan dibatasi oleh nilai-nilai tertentu, baik nilai-nilai profan yang disepakati entitas politik, maupun nilai sakral yang diyakini agama.
Di Prancis batas-batas ini sama sekali tidak ada sehingga kebebasan mereka berjalan liar dan bias. Dengan demikian, kebebasan di Prancis menjadi destruktif dan memicu kebencian entitas lain, baik entitas politik, maupun entitas agama.
Aksi kemarahan yang muncul dari entitas tertentu ketika simbol dan prinsip-prinsipnya dihina dan dinistakan adalah wajar belaka.
Jika menghina sosok semisal Nabi bisa dianggap sebagai kebebasan berekspresi, maka aksi penyerangan dan pembunuhan (meskipun tidak dapat dibenarkan) juga bisa dianggap sebagai kebebasan berekspresi sebagai manifestasi “ketidaksukaan” para pelaku.
Sayangnya Prancis menerapkan standar ganda dalam hal ini, di mana mereka membiarkan dan bahkan melindungi penistaan tapi mengutuk dan mengecam aksi pembalasan.
Untuk menutup ruang bagi terorisme, Prancis harus segera mengevaluasi kebebasan yang liar menjadi kebebasan yang beradab dan bermartabat.
Satu lagi, kampanye Islamofobia harus dihentikan guna menutup potensi bagi munculnya teroris-teroris responsif di kemudian hari.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada
Post a Comment