Aceh dan Syariat Jalan Buntu

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 1 Desember 2020

Aceh dan syariat jalan buntu
Masjid Agung Bireuen, 2020


Tanpa menafikan beberapa pencapaian selama hampir dua dekade, namun secara umum pelaksanaan syariat Islam di Aceh tak ubahnya seperti musafir yang melintasi jalan buntu. Terjebak dalam kebingungan dan tak jelas ke mana akan menuju. Hampir dua puluh tahun formalisasi syariat Islam di Aceh masih saja berputar dan menari-nari pada tataran simbolik, cenderung politis dan bahkan musiman. Singkatnya, hampir tidak ada perubahan signifikan selama dua dasawarsa implementasi syariat Islam di ujung barat Indonesia ini.

Kesimpulan ini dapat dengan mudah dianalisis melalui fakta-fakta yang tersaji begitu “vulgar” di mana kesadaran syariat sebagian masyarakat masih minim, birokrasi masih “korup”, aksi kejahatan masih berjibun, pelecehan seksual masih terus tercatat, perbankan syariah masih sekadar nama dan keadilan sosial yang merupakan “inti” syariat sama sekali kurang tersentuh. Di luar itu, para pemimpin, baik di level gubernur, kota dan kabupaten, sebagai penggawa utama syariat Islam juga masih kurang memberi keteladanan kepada masyarakat yang selama ini kerap menjadi objek implementasi syariat. Pepatah lama bahwa pedang hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih “diamalkan” di Aceh.

Dalam tataran implementasi, syariat Islam di Aceh masih saja terjebak dalam gagasan-gagasan simbolik yang terkadang justru jauh dari substansi syariat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari munculnya wacana-wacana “aneh” dari sebagian oknum kepala daerah. Meminjam istilah Zainal Abidin Bagir dalam sebuah diskusi, sampai saat ini secara de facto syariat yang berlangsung di Aceh adalah syariat politis, bukan syariat idealis.

[Lazada Program] BUKU FILSAFAT ILMU AL-GHAZALI
Rp. 33.000
,-


Syariat politis adalah gagasan syariat yang dikembangkan oleh para politisi untuk kepentingan politik praktis di musim-musim pemilu. Dalam hal ini, isu-isu syariat Islam sering kali digunakan untuk mendongkrak elektabilitas kandidat tertentu. Menjelang pemilu, khususnya para petahana kerap melahirkan kebijakan-kebijakan yang seolah-olah adalah perintah syariat, namun sayangnya praktik politik yang berlangsung justru bertentangan dengan nilai-nilai syariat, semisal money politic yang kerap dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Sudah menjadi sebuah tren di mana beberapa oknum kepala daerah di Aceh acapkali menampilkan “pseudo kesalehan” melalui kebijakan-kebijakan yang pada intinya tidak mencerminkan substansi syariat. Tentu ada banyak contoh yang bisa dirujuk terkait klaim ini.

Baru-baru ini muncul wacana dari Pemerintah Aceh Barat yang melarang pengguna jalan untuk melintasi jalan raya di pusat Kota Meulaboh pada saat berlangsungnya shalat Jumat. Oleh pemerintah setempat hal ini disebut sebagai bagian dari syiar Islam. Sekilas, wacana ini tampak sangat “syar’i” karena menggunakan embel-embel syariat. Namun jika dicermati lebih dalam, gagasan ini justru menafikan hak-hak musafir atau pun perjalanan-perjalanan darurat yang pada prinsipnya dilindungi oleh syariat.

Kebijakan semacam itu bukanlah hal baru di Aceh Barat. Sebelumnya pada sekira tahun 2010, di sana juga pernah muncul wacana, lebih tepatnya aturan yang mewajibkan para wanita memakai rok dengan dalih syariat Islam. Bahkan kononnya saat itu ada “ancaman” bagi para wanita yang memakai celana, akan dipotong celananya dan diberikan rok gratis. Penggunaan dalih syariat dalam hal-hal semacam ini tentunya absurd karena perintah syariat adalah menutup aurat, bukan menggunakan rok yang dalam banyak kasus justru menyulitkan dan bahkan membahayakan, khususnya dalam perjalanan.

Keanehan serupa juga terjadi di Kabupaten Bireuen. Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Bireuen mengeluarkan larangan bagi wanita untuk duduk satu meja di warung kopi tanpa mahram. Secara prinsip kita sepakat, jika aturan tersebut berlaku menyeluruh. Tapi dalam kenyataannya, larangan duduk semeja hanya berlaku di warung kopi, sementara di kantor-kantor pemerintah yang notabene ruang tertutup justru bebas saja duduk berkumpul. Di sini terlihat betapa tidak konsistennya para pemimpin.

Demikian juga dengan larangan bagi pramusaji wanita untuk bekerja di malam hari. Kebijakan semacam ini tidak saja aneh, tapi juga merugikan para wanita yang mencari nafkah di malam hari, khususnya para penjual makanan. Secara tidak langsung kebijakan ini seolah ingin “menuduh” wanita yang mencari nafkah di malam hari sebagai wanita yang tidak baik. Padahal faktanya tidak begitu. Pola generalisasi seperti ini tentunya tidak bijak.

Kemudian, kebijakan yang tak kalah uniknya muncul di Lhokseumawe. Pada 2013, pemerintah setempat pernah mengeluarkan imbauan yang melarang wanita untuk duduk mengangkang di sepeda motor. Kebijakan semacam ini selain tidak penting dan membahayakan pengendara wanita juga terkesan sangat politis. Mengaitkan duduk ngangkang dengan syariat Islam tentu tidak tepat, lebay dan tidak substantif.

Merujuk pada beberapa contoh di atas, hampir dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh sedang menuju jalan buntu. Hal ini disebabkan oleh sikap inskonsitensi para pemimpin yang sebagiannya cenderung menerapkan syariat politis demi kepentingan kekuasaan. Padahal yang dibutuhkan adalah “syariat idealis,” bukan syariat politis yang pada prinsipnya semu belaka.

Syariat idealis adalah syariat yang muncul dari kesadaran masyarakat dan juga keteladanan pemimpin. Syariat idealis bersifat komprehensif, tidak parsial dan berlaku permanen, bukan temporer. Syariat idealis didasari pada prinsip-prinsip keadilan dan tidak diskriminatif. Syariat idealis mengedepankan pendidikan dan bimbingan, bukan mengutamakan hukuman, apalagi hukuman yang dimaksudkan untuk mempermalukan.

Sudah saatnya para pengambil kebijakan di Aceh, baik eksekutif maupun legislatif melakukan langkah-langkah evaluasi pelaksanaan syariat Islam yang selama ini masih terjebak dalam pusaran simbolik, parsial dan politis. Jika hal ini tidak menjadi perhatian, maka mimpi syariat Islam kaffah di Aceh akan buyar sehingga implementasi syariat tidak akan memberi dampak apapun pada perubahan masyarakat, birokrasi, ekonomi dan keadilan sosial. Dan akhirnya, syariat Islam di Aceh hanya akan menuju jalan buntu.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan

loading...

No comments