Wibawa Pemerintah dan Kebebasan Publik
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 18 Oktober 2019
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam peradaban media sosial seperti saat ini, kebebasan ekspresu publik cenderung bergerak liar dan nyaris tak terkendali. Indikasi ini dapat kita rasakan sendiri dalam sepuluh tahun terakhir, sejak meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Melalui media sosial seseorang bisa mengonsumsi informasi yang nyaris tak terbatas. Dan dalam waktu bersamaan seseorang juga bisa menyebarkan berbagai informasi ke seluruh penjuru hanya dalam hitungan detik. Fenomena ini tentunya bukan saja terjadi di Indonesia, tapi merupakan fenomena global yang tak mungkin dibendung – namun masih bisa dikendalikan melalui mekanisme regulasi tanpa harus mencederai demokrasi.
Penyebaran informasi terkait ujaran kebencian, penistaan dan provokasi misalnya memang mesti diatur dalam regulasi demi terjaganya hak-hak semua pihak. Namun demikian regulasi itu semestinya bersifat terang sehingga tidak berpotensi menimbulkan penafsiran yang bias. Kecuali itu, hal yang paling ditakuti adalah ketika regulasi digunakan untuk menjerat orang-orang tertentu yang dianggap berseberangan dengan penguasa. Dalam kondisi ini, regulasi dimaksud bukan lagi mengatur kebebasan ekspresi tapi justru membungkam. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dalam penerapan UU ITE yang sudah banyak merenggut “korban.”
Sikap Pemerintah
Sebagai fenomena global, pemerintah selaku penguasa di negeri ini semestinya lebih bijak dalam menyikapi komentar publik di media sosial. Bukan justru melarang publik untuk berekspresi hanya karena ekspresi tersebut bertentangan dengan keinginan pemerintah. Keterbelahan publik dalam menyikapi beragam informasi yang beredar adalah hal yang tidak bisa dihindari di era ini. Pemerintah tidak mungkin memaksa publik untuk satu suara dan satu irama. Hal itu adalah mustahil untuk diterapkan dan akan menimbulkan gejolak jika dipaksakan.
Dalam insiden yang menimpa Wiranto, misalnya, publik tampak terbelah. Keterbelahan ini terlihat jelas di media sosial. Satu pihak meyakini bahwa insiden itu adalah realitas teror terhadap pejabat negara. Sementara pihak lainnya beranggapan kejadian itu hanya “rekayasa” belaka. Kedua kutub persepsi ini kemudian “bertempur” di media sosial dengan mengandalkan argumen masing-masing. Ketika hal ini terjadi seharusnya pemerintah hadir dengan penjelasan-penjelasannya yang rasional sehingga “ketegangan” bisa mereda, bukan justru mencurigai publik yang memiliki pandangan berbeda.
Dalam konteks kekinian, di mana informasi tidak hanya datang dari satu arah – perbedaan persepsi ini adalah lumrah saja. Apalagi tayangan insiden itu tersebar luas dalam waktu cepat sehingga setiap orang bisa memberi tafsir sendiri tanpa harus merujuk pada informasi resmi – yang juga belum tentu benar. Kondisi demikian adalah karakteristik peradaban media sosial, yang tentunya berbeda dengan nuansa “zaman batu” yang gelap-gulita.
Selain itu, keterbelahan publik pascainsiden tersebut tentunya tidak semata-mata dilandasi oleh faktor politis sisa-sisa pilpres belaka sebagaimana diduga oleh sejumlah pihak, namun juga didasari oleh sebaran informasi yang diterima publik. Khususnya dalam insiden Wiranto, publik disuguhkan informasi yang beragam – untuk tidak menyebut saling bertentangan. Harus diakui bahwa perbedaan informasi inilah yang kemudian melahirkan interpretasi beraneka corak.
Sayangnya pemerintah menyikapi hal tersebut dengan begitu “lebay.” Terkesan bahwa publik “dipaksa” untuk menelan mentah-mentah informasi dari pemerintah sebagai satu-satunya kebenaran absolut yang tidak bisa “digugat.” Pola-pola semacam ini tentunya tidak relevan dengan peradaban informasi yang cenderung terbuka. Sama saja seperti memaksa hiu yang sedang menikmati luasnya samudra untuk berenang di akuarium.
Uniknya lagi beberapa waktu lalu tersiar kabar seorang oknum perwira TNI dikenai hukuman disiplin yang kononnya disebabkan tulisan istrinya di media sosial. Oknum perwira tersebut kabarnya dicopot dari jabatannya. Perlakuan serupa kononnya juga menimpa beberapa oknum personel TNI lainnya yang dikaitkan dengan postingan di media sosial. Bagi TNI, mungkin saja tindakan itu adalah tradisi militer dan juga bentuk tanggungjawab pimpinan untuk menertibkan bawahannya. Namun demikian, tentunya publik memiliki penilaian sendiri yang tidak mesti sama dengan paradigma pemerintah. Bagi TNI, oknum perwira tersebut mungkin saja dianggap telah “melanggar” disiplin militer, namun bagi publik justru bisa sebaliknya – di mana istri si perwira telah menyampaikan suara hatinya yang terdalam.
Kemudian lucunya lagi, baru-baru ini kononnya MenPan-Rb juga “mengultimatum” para ASN agar tidak mengkritik pemerintah. Ditinjau dari persepektif mana pun, kebijakan semisal itu tampak latah dan lebay. Seolah pemerintah begitu takut pada komentar-komentar publik yang dianggap dapat meruntuhkan kewibawaannya. Karenanya pemerintah berupaya membatasi ruang ekspresi bagi publik, termasuk ASN, dengan pernyataan-pernyataan yang sulit dimengerti.
Mencermati berbagai fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, muncul kesan bahwa pemerintah menganggap komentar-komentar publik sebagai sebuah “ancaman.” Padahal jika disimak, beberapa komentar yang berisi kritik terhadap insiden Wiranto misalnya, sama sekali tidak berdampak pada terganggunya stabilitas nasional. Lagi pula seperti telah disinggung, hal itu adalah fenomena yang wajar dalam peradaban media sosial.
Karena itu kekhawatiran-kekhawatiran pemerintah sudah seharusnya diakhiri agar kepercayaan publik bisa kembali pulih. Pemerintah harus bersikap bijak dalam menanggapi komentar publik di media sosial. Berbagai kritik yang datang seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan justru “mudah tersinggung” dan kemudian balik “menekan.” Jangan sampai seperti orang yang menembak nyamuk dengan meriam dan membunuh singa dengan mantra-mantra. Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu sibuk dengan komentar netizen tapi melupakan tugas-tugas besar yang ada di pundaknya.
Ilustrasi: timhillpsychotherapy |
Bireuen, 18 Oktober 2019
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam peradaban media sosial seperti saat ini, kebebasan ekspresu publik cenderung bergerak liar dan nyaris tak terkendali. Indikasi ini dapat kita rasakan sendiri dalam sepuluh tahun terakhir, sejak meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Melalui media sosial seseorang bisa mengonsumsi informasi yang nyaris tak terbatas. Dan dalam waktu bersamaan seseorang juga bisa menyebarkan berbagai informasi ke seluruh penjuru hanya dalam hitungan detik. Fenomena ini tentunya bukan saja terjadi di Indonesia, tapi merupakan fenomena global yang tak mungkin dibendung – namun masih bisa dikendalikan melalui mekanisme regulasi tanpa harus mencederai demokrasi.
Penyebaran informasi terkait ujaran kebencian, penistaan dan provokasi misalnya memang mesti diatur dalam regulasi demi terjaganya hak-hak semua pihak. Namun demikian regulasi itu semestinya bersifat terang sehingga tidak berpotensi menimbulkan penafsiran yang bias. Kecuali itu, hal yang paling ditakuti adalah ketika regulasi digunakan untuk menjerat orang-orang tertentu yang dianggap berseberangan dengan penguasa. Dalam kondisi ini, regulasi dimaksud bukan lagi mengatur kebebasan ekspresi tapi justru membungkam. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dalam penerapan UU ITE yang sudah banyak merenggut “korban.”
Sikap Pemerintah
Sebagai fenomena global, pemerintah selaku penguasa di negeri ini semestinya lebih bijak dalam menyikapi komentar publik di media sosial. Bukan justru melarang publik untuk berekspresi hanya karena ekspresi tersebut bertentangan dengan keinginan pemerintah. Keterbelahan publik dalam menyikapi beragam informasi yang beredar adalah hal yang tidak bisa dihindari di era ini. Pemerintah tidak mungkin memaksa publik untuk satu suara dan satu irama. Hal itu adalah mustahil untuk diterapkan dan akan menimbulkan gejolak jika dipaksakan.
Dalam insiden yang menimpa Wiranto, misalnya, publik tampak terbelah. Keterbelahan ini terlihat jelas di media sosial. Satu pihak meyakini bahwa insiden itu adalah realitas teror terhadap pejabat negara. Sementara pihak lainnya beranggapan kejadian itu hanya “rekayasa” belaka. Kedua kutub persepsi ini kemudian “bertempur” di media sosial dengan mengandalkan argumen masing-masing. Ketika hal ini terjadi seharusnya pemerintah hadir dengan penjelasan-penjelasannya yang rasional sehingga “ketegangan” bisa mereda, bukan justru mencurigai publik yang memiliki pandangan berbeda.
Dalam konteks kekinian, di mana informasi tidak hanya datang dari satu arah – perbedaan persepsi ini adalah lumrah saja. Apalagi tayangan insiden itu tersebar luas dalam waktu cepat sehingga setiap orang bisa memberi tafsir sendiri tanpa harus merujuk pada informasi resmi – yang juga belum tentu benar. Kondisi demikian adalah karakteristik peradaban media sosial, yang tentunya berbeda dengan nuansa “zaman batu” yang gelap-gulita.
Selain itu, keterbelahan publik pascainsiden tersebut tentunya tidak semata-mata dilandasi oleh faktor politis sisa-sisa pilpres belaka sebagaimana diduga oleh sejumlah pihak, namun juga didasari oleh sebaran informasi yang diterima publik. Khususnya dalam insiden Wiranto, publik disuguhkan informasi yang beragam – untuk tidak menyebut saling bertentangan. Harus diakui bahwa perbedaan informasi inilah yang kemudian melahirkan interpretasi beraneka corak.
Sayangnya pemerintah menyikapi hal tersebut dengan begitu “lebay.” Terkesan bahwa publik “dipaksa” untuk menelan mentah-mentah informasi dari pemerintah sebagai satu-satunya kebenaran absolut yang tidak bisa “digugat.” Pola-pola semacam ini tentunya tidak relevan dengan peradaban informasi yang cenderung terbuka. Sama saja seperti memaksa hiu yang sedang menikmati luasnya samudra untuk berenang di akuarium.
Uniknya lagi beberapa waktu lalu tersiar kabar seorang oknum perwira TNI dikenai hukuman disiplin yang kononnya disebabkan tulisan istrinya di media sosial. Oknum perwira tersebut kabarnya dicopot dari jabatannya. Perlakuan serupa kononnya juga menimpa beberapa oknum personel TNI lainnya yang dikaitkan dengan postingan di media sosial. Bagi TNI, mungkin saja tindakan itu adalah tradisi militer dan juga bentuk tanggungjawab pimpinan untuk menertibkan bawahannya. Namun demikian, tentunya publik memiliki penilaian sendiri yang tidak mesti sama dengan paradigma pemerintah. Bagi TNI, oknum perwira tersebut mungkin saja dianggap telah “melanggar” disiplin militer, namun bagi publik justru bisa sebaliknya – di mana istri si perwira telah menyampaikan suara hatinya yang terdalam.
Kemudian lucunya lagi, baru-baru ini kononnya MenPan-Rb juga “mengultimatum” para ASN agar tidak mengkritik pemerintah. Ditinjau dari persepektif mana pun, kebijakan semisal itu tampak latah dan lebay. Seolah pemerintah begitu takut pada komentar-komentar publik yang dianggap dapat meruntuhkan kewibawaannya. Karenanya pemerintah berupaya membatasi ruang ekspresi bagi publik, termasuk ASN, dengan pernyataan-pernyataan yang sulit dimengerti.
Mencermati berbagai fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, muncul kesan bahwa pemerintah menganggap komentar-komentar publik sebagai sebuah “ancaman.” Padahal jika disimak, beberapa komentar yang berisi kritik terhadap insiden Wiranto misalnya, sama sekali tidak berdampak pada terganggunya stabilitas nasional. Lagi pula seperti telah disinggung, hal itu adalah fenomena yang wajar dalam peradaban media sosial.
Karena itu kekhawatiran-kekhawatiran pemerintah sudah seharusnya diakhiri agar kepercayaan publik bisa kembali pulih. Pemerintah harus bersikap bijak dalam menanggapi komentar publik di media sosial. Berbagai kritik yang datang seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan justru “mudah tersinggung” dan kemudian balik “menekan.” Jangan sampai seperti orang yang menembak nyamuk dengan meriam dan membunuh singa dengan mantra-mantra. Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu sibuk dengan komentar netizen tapi melupakan tugas-tugas besar yang ada di pundaknya.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment