Mitos Kesejahteraan Guru
Sumber: andystalman |
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 27 November 2019
“Guru sekarang sudah sejahtera.” Kalimat serupa itu dan yang serumpun dengannya sudah sangat sering terdengar akhir-akhir ini. Kalimat tersebut terus diulang dalam berbagai kesempatan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Frasa “guru sejahtera” juga kerap kali dikaitkan dengan kualitas dan mutu pendidikan. Dalam hal ini, guru dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas pendidikan agar sebanding dengan kesejahteraan yang telah dinikmatinya. Kira-kira demikian.
Akibat frasa tersebut, dalam banyak kondisi, guru juga acap kali “disalahkan” atas menurun dan merosotnya kualitas pendidikan di suatu daerah. Kualitas pendidikan yang selama ini dinilai melalui tingkat kelulusan siswa selalu saja menempatkan guru pada posisi dilematis. Di satu sisi guru dibebani dengan seperangkat persiapan administrasi yang menyita waktu dan di sisi lain guru juga dituntut melahirkan lulusan-lulusan yang bermutu. Tekanan yang sedemikian rupa dialami oleh para guru hanya karena “mitos” kesejahteraan yang sudah telanjur menyebar.
Namun uniknya, ketika terjadi peningkatan lulusan di suatu daerah, pemerintah yang diwakili oleh dinas pendidikan dengan gegapgempita merayakannya, seolah keberhasilan tersebut berkat kualitas manajemen dinas pendidikan dan bukan karena kerja keras para guru. Lucunya, pada saat kuantitas lulusan terlihat rendah dan menurun, gurulah yang menjadi “tertuduh,” sementara dinas pendidikan terkesan berlepas diri – dan dalam kondisi tertentu justru “mengancam” akan mengevaluasi konerja para guru beserta kepala sekolah. Lagi-lagi hal itu terjadi karena frasa “guru sejahtera.”
Tunjangan Sertifikasi
Istilah guru yang kita gunakan di sini ditujukan kepada guru-guru negeri (ASN) yang mengajar di sekolah pemerintah, bukan guru honorer atau pun guru yang mengajar di sekolah swasta. Terkait guru swasta dan honorer memerlukan pembahasan khusus sehingga tidak mungkin diulas dalam tulisan singkat ini, sebab mereka memiliki problematika tersendiri yang tak kalah rumitnya dari guru-guru negeri.
Nah, pertanyaannya, apakah guru-guru negeri sudah sejahtera? Secara umum, khususnya dalam konteks kekinian, sebagian kalangan akan menjawab “ya.” Keberadaan tunjangan sertifikasi yang digelontorkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir seolah semakin mempertegas bahwa para guru memang sudah sejahtera. Seperti diketahui tunjangan sertifikasi adalah salah satu bentuk tunjangan profesi yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya menyejahterakan guru. Jika kesejahteraan tersebut dikaitkan dengan dana sertifikasi, maka dengan “beberapa catatan” kita “terpaksa” sepakat bahwa guru memang sudah sejahtera.
Dasar hukum sertifikasi guru itu sendiri mengacu pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas No. 16 Tahun 2006 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik; Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan; dan juga Permendiknas No. 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan.
Namun kita akan dihadapkan pada pertanyaan selanjutnya. Apakah semua guru negeri secara serta-merta memperoleh tunjangan sertifikasi? Tanpa perlu survei dan riset yang berbelit-belit, jawabannya adalah “tidak.” Ada banyak tahapan dan persyaratan yang mesti dilalui agar guru bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi. Kenyataannya tidak semua guru lulus “sensor” dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan tunjangan tersebut yang kononnya diberikan kepada guru-guru profesional yang telah berhasil memperoleh sertifikat pendidik. Dengan kata lain, tunjangan sertifikasi hanya diperoleh oleh sebagian guru dan bukan oleh semua guru.
Bagi guru-guru yang tidak atau pun gagal lulus sertifikasi, pemerintah membayarkan tunjangan non sertifikasi. Hal ini didasarkan pada Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS. Dana non sertifikasi dibayarkan sebesar Rp. 250.000,- perbulan yang biasanya dibayar tiga bulan sekali.
Klasifikasi Guru
Persoalan lainnya yang muncul adalah terbentuknya kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Seperti diketahui, saat ini guru negeri terklasifikasi pada tiga level; guru sertifikasi, guru non sertifikasi dan guru non sarjana (strata satu). Meskipun sama-sama ASN, namun ketiga tipikal guru ini memiliki pendapatan yang berbeda satu sama lain. Klasifikasi ini kononnya muncul pasca terbitnya Permendikbud No. 10 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Khusus dan Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Dampak dari Permen tersebut, guru-guru yang tidak memiliki ijazah strata satu tidak lagi mendapat bayaran tunjangan non sertifikasi. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya sehingga guru pun terklasifikasi dengan sendirinya. Saat ini guru sertifikasi mendapat tunjangan sertifikasi sejumlah satu kali besaran gaji pokok perbulan, guru non sertifikasi mendapat tunjangan non sertifikasi sejumlah Rp. 250.000,- perbulan, dan guru non sarjana tidak mendapat tunjangan apapun kecuali gaji pokok dan tunjangan keluarga. Di sini kesenjangan pun semakin menguak. Uniknya lagi, dalam praktiknya para guru dalam tiga klasifikasi tersebut justru memiliki beban kerja yang sama. Kewajiban yang mereka jalankan sama, namun hak yang diperoleh berbeda. Dalam kondisi inilah kasta itu terbentuk.
Pada umumnya guru non sarjana adalah guru-guru yang telah mengabdi puluhan tahun. Mereka adalah lulusan SPG, PGA dan Diploma Dua yang belum sempat melanjutkan jenjang pendidikan strata satu. Memang pemerintah telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk melanjutkan studi, namun tidak semua berhasil mengecapnya dengan berbagai alasan. Salah satu alasan adalah karena usia mereka sudah mendekati pensiun sehingga proses pendidikan menjadi tidak efektif.
Selain itu, selama ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah terkesan “ambigu” dalam memberikan izin pendidikan kepada guru. Di satu sisi guru diberikan izin untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya, namun di sisi lain dibatasi pada syarat “selama tidak mengganggu proses pembelajaran.” Tentu para guru tidak mudah menyiasati waktu agar proses pendidikan yang dijalaninya tidak mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Dalam kondisi inilah sebagian guru memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di jenjang sarjana.
Istilah guru yang kita gunakan di sini ditujukan kepada guru-guru negeri (ASN) yang mengajar di sekolah pemerintah, bukan guru honorer atau pun guru yang mengajar di sekolah swasta. Terkait guru swasta dan honorer memerlukan pembahasan khusus sehingga tidak mungkin diulas dalam tulisan singkat ini, sebab mereka memiliki problematika tersendiri yang tak kalah rumitnya dari guru-guru negeri.
Nah, pertanyaannya, apakah guru-guru negeri sudah sejahtera? Secara umum, khususnya dalam konteks kekinian, sebagian kalangan akan menjawab “ya.” Keberadaan tunjangan sertifikasi yang digelontorkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir seolah semakin mempertegas bahwa para guru memang sudah sejahtera. Seperti diketahui tunjangan sertifikasi adalah salah satu bentuk tunjangan profesi yang diberikan oleh pemerintah sebagai upaya menyejahterakan guru. Jika kesejahteraan tersebut dikaitkan dengan dana sertifikasi, maka dengan “beberapa catatan” kita “terpaksa” sepakat bahwa guru memang sudah sejahtera.
Dasar hukum sertifikasi guru itu sendiri mengacu pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas No. 16 Tahun 2006 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik; Permendiknas No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan; dan juga Permendiknas No. 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan melalui Jalur Pendidikan.
Namun kita akan dihadapkan pada pertanyaan selanjutnya. Apakah semua guru negeri secara serta-merta memperoleh tunjangan sertifikasi? Tanpa perlu survei dan riset yang berbelit-belit, jawabannya adalah “tidak.” Ada banyak tahapan dan persyaratan yang mesti dilalui agar guru bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi. Kenyataannya tidak semua guru lulus “sensor” dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan tunjangan tersebut yang kononnya diberikan kepada guru-guru profesional yang telah berhasil memperoleh sertifikat pendidik. Dengan kata lain, tunjangan sertifikasi hanya diperoleh oleh sebagian guru dan bukan oleh semua guru.
Bagi guru-guru yang tidak atau pun gagal lulus sertifikasi, pemerintah membayarkan tunjangan non sertifikasi. Hal ini didasarkan pada Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2009 tentang Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS. Dana non sertifikasi dibayarkan sebesar Rp. 250.000,- perbulan yang biasanya dibayar tiga bulan sekali.
Klasifikasi Guru
Persoalan lainnya yang muncul adalah terbentuknya kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Seperti diketahui, saat ini guru negeri terklasifikasi pada tiga level; guru sertifikasi, guru non sertifikasi dan guru non sarjana (strata satu). Meskipun sama-sama ASN, namun ketiga tipikal guru ini memiliki pendapatan yang berbeda satu sama lain. Klasifikasi ini kononnya muncul pasca terbitnya Permendikbud No. 10 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Khusus dan Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Dampak dari Permen tersebut, guru-guru yang tidak memiliki ijazah strata satu tidak lagi mendapat bayaran tunjangan non sertifikasi. Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya sehingga guru pun terklasifikasi dengan sendirinya. Saat ini guru sertifikasi mendapat tunjangan sertifikasi sejumlah satu kali besaran gaji pokok perbulan, guru non sertifikasi mendapat tunjangan non sertifikasi sejumlah Rp. 250.000,- perbulan, dan guru non sarjana tidak mendapat tunjangan apapun kecuali gaji pokok dan tunjangan keluarga. Di sini kesenjangan pun semakin menguak. Uniknya lagi, dalam praktiknya para guru dalam tiga klasifikasi tersebut justru memiliki beban kerja yang sama. Kewajiban yang mereka jalankan sama, namun hak yang diperoleh berbeda. Dalam kondisi inilah kasta itu terbentuk.
Pada umumnya guru non sarjana adalah guru-guru yang telah mengabdi puluhan tahun. Mereka adalah lulusan SPG, PGA dan Diploma Dua yang belum sempat melanjutkan jenjang pendidikan strata satu. Memang pemerintah telah memberikan kesempatan bagi mereka untuk melanjutkan studi, namun tidak semua berhasil mengecapnya dengan berbagai alasan. Salah satu alasan adalah karena usia mereka sudah mendekati pensiun sehingga proses pendidikan menjadi tidak efektif.
Selain itu, selama ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah terkesan “ambigu” dalam memberikan izin pendidikan kepada guru. Di satu sisi guru diberikan izin untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya, namun di sisi lain dibatasi pada syarat “selama tidak mengganggu proses pembelajaran.” Tentu para guru tidak mudah menyiasati waktu agar proses pendidikan yang dijalaninya tidak mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Dalam kondisi inilah sebagian guru memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya di jenjang sarjana.
[Lazada Program] Tas Selempang Pria Tas Selempang Kulit Tas Import Tas Selempang Cowok Terbaru 2020 Rp. 88. 300,- |
Kesejahteraan dan Kesenjangan
Saat ini kondisi guru non sarjana terbilang “miris.” Seperti telah disinggung, meskipun terklasifikasi ke dalam tiga level, namun beban kerja masing-masing guru tetap sama tanpa peduli apakah ia berstatus sertifikasi, non sertifikasi atau non sarjana sekali pun. Terlebih lagi posisi guru sekolah dasar yang tetap harus mengajar 24 jam seminggu. Kesenjangan pendapatan ini terlihat jelas sehingga kecemburuan pun membuncah. Dalam kondisi inilah frasa “guru sejahtera” ternyata mitos belaka, sebab kesejahteraan tersebut hanya terbatas pada guru sertifikasi.
Pemerintah boleh saja berdalih bahwa hanya guru-guru sarjana dan guru-guru bersetifikat pendidik yang boleh mengajar sehingga mereka pun layak mendapat tunjangan, namun pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa guru-guru non sertifikasi dan non sarjana juga memiliki beban kerja yang sama dengan guru sertifikasi. Jika pun pemerintah ingin memberhentikan guru non sertifikasi dan non sarjana, maka pemerintah harus berpikir seribu kali, sebab kebijakan itu akan berdampak pada kekurangan guru di tanah air. Semoga saja hal ini menjadi perhatian Mendikbud Nadiem Makarim yang kononnya memiliki terobosan baru untuk para guru di Indonesia.
Saat ini kondisi guru non sarjana terbilang “miris.” Seperti telah disinggung, meskipun terklasifikasi ke dalam tiga level, namun beban kerja masing-masing guru tetap sama tanpa peduli apakah ia berstatus sertifikasi, non sertifikasi atau non sarjana sekali pun. Terlebih lagi posisi guru sekolah dasar yang tetap harus mengajar 24 jam seminggu. Kesenjangan pendapatan ini terlihat jelas sehingga kecemburuan pun membuncah. Dalam kondisi inilah frasa “guru sejahtera” ternyata mitos belaka, sebab kesejahteraan tersebut hanya terbatas pada guru sertifikasi.
Pemerintah boleh saja berdalih bahwa hanya guru-guru sarjana dan guru-guru bersetifikat pendidik yang boleh mengajar sehingga mereka pun layak mendapat tunjangan, namun pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa guru-guru non sertifikasi dan non sarjana juga memiliki beban kerja yang sama dengan guru sertifikasi. Jika pun pemerintah ingin memberhentikan guru non sertifikasi dan non sarjana, maka pemerintah harus berpikir seribu kali, sebab kebijakan itu akan berdampak pada kekurangan guru di tanah air. Semoga saja hal ini menjadi perhatian Mendikbud Nadiem Makarim yang kononnya memiliki terobosan baru untuk para guru di Indonesia.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment