SE Plt. Gubernur Aceh dan Potensi Konflik Komunal

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: omojuwa



Bireuen, 01 Januari 2020

Baru-baru ini Pelaksana Tugas (Plt) Gubenur Aceh, Nova Iriansyah mengeluarkan Surat Edaran (SE) bernomor: 450/21770 tentang larangan mengadakan pengajian selain dari I‘tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber hukum Mazhab Syafi‘iyah. Dalam SE itu disebutkan bahwa larangan tersebut adalah sebagai bentuk tindak lanjut dari UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2006, Qanun Aceh No, 2 Tahun 2009, Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 dan Qanun Aceh No. 8 Tahun 2015.

SE tersebut dimaksudkan untuk menjaga suasana keagamaan masyarakat Aceh dalam beribadah agar tidak berkembang keyakinan selain Ahlussunnah Waljamaah Mazhab Syafi‘iyah. Adapun tujuan utama SE tersebut adalah untuk melarang segala bentuk pengajian selain dari Ahlussunnah Waljamaah dan selain dari Mazhab Syafi‘iyah. Uniknya lagi, SE tersebut juga memerintahkan seluruh kepala SKPA, Bupati dan Walikota untuk mendata nama-nama penceramah di instansi masing-masing.

Aspek Hukum Soal Ibadah

Dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dalam Bab VI tentang Syariah, pasal 14 ayat 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan ibadah dengan memprioritaskan Mazhab Syafi‘i. Kemudian pasal 3 menyebut; ibadah yang tidak mengacu pada Mazhab Syafi‘i dibolehkan selama dalam bingkai Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketenteraman di kalangan umat Islam. Dalam pasal 4 kembali ditegaskan bahwa masyarakat yang sudah mengamalkan Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan Mazhab Syafi‘i.

Jika dicermati, maka dapat dipastikan bahwa SE yang dikeluarkan Plt Gubernur Aceh jelas-jelas bertentangan dengan pasal-pasal dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014. Dengan demikian menjadi kontradiktif ketika qanun tersebut juga dijadikan sebagai konsiderans untuk pelarangan selain Mazhab Syafi‘i di Aceh, sebab pasal-pasal dalam qanun tersebut secara tegas memberi ruang bagi pengamalan empat mazhab tanpa harus ada paksaan. Keluarnya SE tersebut dengan sendirinya menggambarkan betapa tidak pahamnya Plt Gubernur Aceh pada subtansi qanun sehingga melahirkan tafsir yang bias.

Soal Akidah

Dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 pada Bab V tentang Akidah, pasal 11 ayat 2 memang terdapat penegasan tentang aqidah Islamiyah yang dimaksud adalah Ahlussunnah Waljamaah (Sunni). Dalam konteks teologis, terminologi Ahlussunnah Waljamaah (Sunni) sendiri cukup luas. Ahlussunnah Waljamaah meliputi paham Asy‘ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah. Dalam hal ini, qanun tersebut tidak memberikan penjelasan rinci tentang siapa Ahlussunnah Waljamaah yang dimaksud.

Namun demikian, dalam konteks kehidupan keagamaan di Aceh, Ahlussunnah Waljamaah sering kali dipahami sebagai Asy‘ariyah-Maturidiyah. Dalam hal ini, kelompok Salafiyah cenderung dianggap sebagai bukan Ahlussunnah Waljamaah yang dengan sendirinya akan dicap sebagai “sesat” atau serendah-rendahnya “menyimpang.” Anggapan bahwa Ahlussunnah Waljamaah hanya Asy‘ariyah-Maturidiyah memang dapat dimengerti mengingat kuatnya hegemoni dayah di Aceh yang notabene adalah penganut kedua paham tesebut.

Jika term Ahlussnnah Waljamaah dalam SE Plt Gubernur tersebut mengacu pada qanun tentu tidak terjadi persoalan, sebab qanun sendiri tidak membatasi istilah Ahlussunnah Waljamaah hanya kepada Asy‘ariyah-Maturidiyah. Namun persoalan akan timbul pada saat sebagian oknum masyarakat menggunakan SE tersebut sebagai dasar untuk membubarkan pengajian-pengajian yang dianggap berada di luar Asy‘ariyah-Maturidiyah.

Dampak Sosiologis

Diakui atau pun tidak, SE yang ditandatangani oleh Plt Gubernur Aceh terkait pelarangan pengajian di luar Ahlussunnah Waljamaah dan Mazhab Syafi‘i  akan sangat rentan memicu konflik sosial berbasis keagamaan di Aceh. Terlebih lagi, secara historis konflik sosial keagamaan ini telah pernah ada dan masih berlangsung sampai sekarang.

Belum lekang dari ingatan kita bagaimana euforia Parade Aswaja pada 2015 lalu yang kemudian berdampak pada aksi “perebutan” masjid dan juga pelarangan pembangunan masjid yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih mempertahankan keyakinan Ahlussunnah Waljamaah. Demikian pula dengan aksi-aksi pembubaran pengajian yang dilakukan sejumlah massa dengan maksud mempertahankan Mazhab Syafi‘i di Aceh.

Meskipun aksi-aksi tersebut belum sempat melahirkan korban jiwa, namun sedikit banyaknya aksi-aksi dimaksud telah turut memberi andil bagi rusaknya hubungan sosial antarmasyarakat yang dilandasi oleh perbedaan pemahaman keagamaan. Kondisi ini tentunya akan berdampak serius pada mengendurnya semangat toleransi. Sikap toleran yang semestinya menjadi perekat perbedaan sedikit demi sedikit akan menemui ajalnya.

Kesan Politis

Seperti diketahui, sebelum SE pelarangan pengajian tersebut muncul, Plt Gubernur Aceh kerap kali mendapat kritik dari masyarakat terkait beberapa kebijakannya yang dianggap tidak pro pada kepentingan masyarakat. Kritik tersebut di antaranya terkait wacana pembelian pesawat terbang, pengadaan mobil dinas baru dan juga penundaan pembangunan rumah dhuafa.

Dengan demikian, kemunculan SE Plt Gubernur yang terkesan tiba-tiba dapat diduga sebagai sebuah upaya “diplomatis” guna meredam aneka kritik yang selama ini beredar. Seperti diketahui, persoalan agama adalah isu paling “seksi” yang bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian publik. Tegasnya, sikap yang terkesan pro kepada kepentingan agama sangat rentan digunakan sebagai sebuah strategi guna memalingkan publik dari berbagai problem pemerintahan yang sedang dihadapi seperti soal kemiskinan, pembangunan dan korupsi.

Seharusnya Plt Gubernur dapat bersikap bijak dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis kekuasaan sehingga berdampak pada disharmoni di tengah masyarakat. Plt Gubernur tidak seharusnya bermain di area-area sensitif yang dapat memicu terjadinya konflik komunal yang nantinya juga akan berdampak pada macetnya pembangunan di Aceh.

Untuk menghindari terjadinya aksi persekusi oleh sebagian oknum masyarakat terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda dengan mayoritas, sudah seharusnya Plt Gubernur mengkaji ulang Surat Edaran tersebut demi terciptanya kenyamanan dan ketenteraman di tengah masyarakat sehingga bangunan toleransi dapat terjaga.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments