Agama dan Kebencian
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 7 Agustus 2019
Ahmad Zaki Yamani dalam salah satu bukunya pernah menulis: “Mungkin di antara ciri-ciri yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya bahwa ia adalah hewan yang beragama.”
Apa yang dikemukakan Yamani ini tentunya dapat dengan mudah kita buktikan, di mana sampai saat ini memang belum ditemukan adanya hewan selain manusia yang beragama atau pun memiliki keyakinan religius. Agama dan kepercayaan hanya menjadi domain manusia sebagai penggagas peradaban – sekaligus dalam kondisi tertentu juga sebagai perusak peradaban itu sendiri. Keberadaan akal, hati dan imajinasi yang dimiliki manusia telah memosisikannya sebagai makhluk mulia di alam semesta. Sebaliknya, tanpa daya pikir, seperti kata Hamka (1980), manusia akan kembali ke martabat kebinatangan.
Agama sebagai sebuah medium “ketundukan” kepada keagungan Tuhan, sepanjang sejarahnya telah menjadi salah satu fondasi berdirinya peradaban-peradaban besar di muka bumi.
Agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam telah melahirkan manusia-manusia hebat yang kemudian menjadi penggerak lahirnya peradaban itu. Bahkan jauh sebelumnya, peradaban sebagai sebuah wujud eksistensi manusia di alam raya juga telah lahir ketika manusia masih hidup dalam kepercayaan kuno.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama dan kepercayaan memiliki peranan penting, tidak hanya dalam membentuk peradaban, tapi juga sebagai pembimbing manusia ke arah kemanusiaan dan cinta-kasih antarsesamanya. Doktrin-doktrin keagamaan memuat sejumlah asas guna membentuk karakter manusia yang beradab. Karakter-karakter tersebut tidak muncul dengan sendirinya sabagai insting bawaan, tapi ia disemai, dipupuk dan dirawat, salah satunya melalui doktrin agama. Melalui doktrin inilah kebaikan-kebaikan itu diperkenalkan.
Kebencian
Agama mengandung ajaran tentang kebaikan. Meskipun kebaikan dalam doktrin agama adalah kebaikan-kebaikan subjektif (menurut versi masing-masing agama), namun hampir tidak ada agama yang memuat ajaran kejahatan – apalagi sampai memamerkannya secara vulgar.
Agama adalah kedamaian yang membimbing manusia untuk berdamai dengan alam berserta isinya, termasuk dengan manusia-manusianya sebagai poros ketertiban dunia.
Lantas, dari mana kebencian itu lahir? Kenapa ada orang-orang beragama yang terlihat sedemikian sangar dan menakutkan?
Menurut Kimbal (2013), ketika para penganut agama mengangkat ajaran dan kepercayaan mereka ke tingkat klaim kebenaran mutlak, maka kondisi tersebut telah membuka peluang agama menjadi jahat. Klaim kebenaran yang kaku adalah faktor kunci yang berpeluang mendehumanisasikan orang yang berbeda sebagai setan.
Apa yang diutarakan Kimball setidaknya dapat memberikan gambaran untuk kemudian kita mencoba memahami dari mana kebencian itu dimulai. Sejatinya agama itu tidak jahat sehingga tidak mungkin agama dapat memicu kebencian. Kejahatan itu hanya tumbuh dan mekar melalui tindakan manusia sebagai pemeluk agama. Melalui interpretasi manusialah terkadang wajah agama terlihat suram.
Klaim kebenaran membabi-buta yang dilakoni oknum pemeluk agama dapat memicu sikap agresif dan sinisme. Dari sinilah kebencian itu menjadi hilir dan kemudian bermuara pada tindakan-tindakan destruktif – yang dalam konteks peradaban terkadang sulit dimengerti.
Penghinaan, pelecehan, pembunuhan, perusakan dan bahkan perang sekali pun seringkali berasal dari terpeliharanya kebencian yang kemudian mencapai titik ledak.
Stigmatisasi
Dalam konteks sosiologis, cara termudah untuk memantik emosi, khususnya bagi para pemeluk agama adalah dengan menciptakan label-label negatif kepada sosok atau kelompok lain yang dianggap berbeda keyakinan. Label-label ini menemukan wujudnya dalam stempel sesat, liberal, sekuler, atau bahkan komunis. Dari label ini kemudian terbentuklah stigma kepada kelompok-kelompok dimaksud.
Hardiman (2005: 13) mengemukakan bahwa “Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk menghina, melainkan fobia, karena yang terstigma dipersespsi sebagai ancaman.” Stigma masih menurut Hardiman, juga dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa rasa bersalah, bahkan dengan rasa eskastis. Dalam pikiran pelaku kekerasan, korban difragmentasi, dan fragmen-fragmen sosialnya dirakit kembali menjadi sosok baru yang terdehumanisasi dan terdepersonalisasi sehingga layak dilecehkan.
Kasus Aceh; Sebagai Contoh
Kasus terbaru yang mungkin dapat dirujuk adalah kejadian “pengusiran” terhadap Ustaz Firanda yang sedang memberikan pengajian di Masjid al-Fitrah Keutapang, Banda Aceh pada Kamis malam (13/06/2019) lalu. Kejadian ini di antaranya sempat dirilis oleh bbc.com (14/06/2019). Dalam insiden itu terlihat sejumlah massa yang telah tersulut amarah tampak memasuki masjid sehingga terjadilah keributan – yang pada prinsipnya tidak layak dipertontonkan di rumah Tuhan.
Kasus di masjid tersebut tidak terjadi secara spontan, tapi adalah puncak dari rangkaian upaya penolakan sebelumnya. Suara-suara penolakan ini telah muncul sebelum Firanda menjejakkan kakinya di Aceh. Jauh sebelum insiden itu meledak, Firanda telah distigma sebagai Wahhabi dan karenanya ia dianggap “sesat.” Stigma inilah yang kemudian melahirkan keyakinan di benak massa bahwa Firanda layak diusir.
Seperti dikemukakan Hardiman bahwa dalam stigma terkandung unsur fobia – dalam hal ini ketakutan berlebihan akan terganggunya tradisi yang selama ini dirawat oleh massa yang mengidentifikasi diri sebagai Aswaja. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, kehadiran pemikiran-pemikiran “non-Aswaja” di Aceh telah melahirkan heterofobia alias rasa takut akan “yang lain” dari kalangan Aswaja.
Terkait kondisi psikologis ini, Betrand Russel menyatakan bahwa: “Rasa takut adalah sumber utama takhayul dan salah satu sumber kekejaman.” Dalam pengertian terbatas, rasa takut terhadap Wahhabi misalnya, akan melahirkan imajinasi keterancaman bagi kelestarian pemikiran-pemikiran tradisional Aswaja yang saat ini masih menghegemonik – yang dianggap sebagai poros kebenaran paling otoritatif di Aceh. Perasaan keterancaman inilah yang kemudian melahirkan kebencian sehingga muncullah label dan stigma sebagai alat justifikasi atas pengusiran terhadap kelompok dan pemikiran yang didefinisikan sebagai sesat dan menyimpang.
Dalam banyak kasus, perasaan keterancaman ini diawali oleh munculnya prasangka terhadap “yang lain.” Seperti dijelaskan Hardiman (2015: 69), prasangka adalah “Penarikan kesimpulan atau penilaian yang tergesa-gesa.” Ketergesa-gesaan inilah yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan destruktif di ruang publik. Ketergesa-gesaan adalah wujud dari ketidakmatangan berpikir – untuk tidak menyebut sebagai ekses matinya nalar.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berdampak pada munculnya konflik komunal yang lebih luas di kemudian hari. Dalam sistem konflik, seperti dinyatakan Klandermans (2005:282), dinamika kita – mereka cenderung berkembang sehingga ruang perbedaan akan semakin lebar. Dalam hal ini kelompok yang mengusung pemikiran keagamaan maesntream akan mengidentifikasi diri sebagai “kita” untuk selanjutnya berhadapan dengan “mereka” yang dianggap menyimpang.
Beragama dengan Santun
Seperti telah disinggung di awal bahwa kebencian muncul dari sikap sinisme yang diiringi oleh klaim kebenaran mutlak atau tindakan memonopoli kebenaran. Sikap ini tercermin dalam setiap tindak-tanduk umat beragama, baik antarpemeluk agama yang berbeda, maupun sesama pemeluk dalam satu agama sebagaimana terjadi di Banda Aceh baru-baru ini. Sebagai contoh sikap oknum Aswaja yang “suka” menyesatkan Wahhabi dan juga sikap oknum (yang dianggap sebagai) Wahhabi yang “gemar” membid’ahkan Aswaja. Jika sikap dari kedua pihak ini terus dilestarikan maka pertentangan itu akan terus abadi.
Untuk mengurai atau setidaknya meminimalisasi terjadinya konflik, maka pola beragama secara santun menjadi salah satu solusi. Santun dalam pengertian tidak merendahkan keyakinan komunitas lain, setidak-tidaknya di muka umum. Solusi lainnya dengan mengelola klaim kebenaran mutlak agar ia tidak melahirkan fobia yang kemudian menjadi senjata untuk melakukan “agresi” terhadap pihak lain. Namun begitu bukan berarti kebenaran mutlak itu tidak ada, tapi biarlah ia menjadi perbincangan internal keagamaan dan tidak menyeruak ke ruang publik sehingga agama akan tetap memberi kedamaian, bukan justru memicu kebencian.
Ilustrasi: Pewforum |
Bireuen, 7 Agustus 2019
Ahmad Zaki Yamani dalam salah satu bukunya pernah menulis: “Mungkin di antara ciri-ciri yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya bahwa ia adalah hewan yang beragama.”
Apa yang dikemukakan Yamani ini tentunya dapat dengan mudah kita buktikan, di mana sampai saat ini memang belum ditemukan adanya hewan selain manusia yang beragama atau pun memiliki keyakinan religius. Agama dan kepercayaan hanya menjadi domain manusia sebagai penggagas peradaban – sekaligus dalam kondisi tertentu juga sebagai perusak peradaban itu sendiri. Keberadaan akal, hati dan imajinasi yang dimiliki manusia telah memosisikannya sebagai makhluk mulia di alam semesta. Sebaliknya, tanpa daya pikir, seperti kata Hamka (1980), manusia akan kembali ke martabat kebinatangan.
Agama sebagai sebuah medium “ketundukan” kepada keagungan Tuhan, sepanjang sejarahnya telah menjadi salah satu fondasi berdirinya peradaban-peradaban besar di muka bumi.
Agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam telah melahirkan manusia-manusia hebat yang kemudian menjadi penggerak lahirnya peradaban itu. Bahkan jauh sebelumnya, peradaban sebagai sebuah wujud eksistensi manusia di alam raya juga telah lahir ketika manusia masih hidup dalam kepercayaan kuno.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama dan kepercayaan memiliki peranan penting, tidak hanya dalam membentuk peradaban, tapi juga sebagai pembimbing manusia ke arah kemanusiaan dan cinta-kasih antarsesamanya. Doktrin-doktrin keagamaan memuat sejumlah asas guna membentuk karakter manusia yang beradab. Karakter-karakter tersebut tidak muncul dengan sendirinya sabagai insting bawaan, tapi ia disemai, dipupuk dan dirawat, salah satunya melalui doktrin agama. Melalui doktrin inilah kebaikan-kebaikan itu diperkenalkan.
Kebencian
Agama mengandung ajaran tentang kebaikan. Meskipun kebaikan dalam doktrin agama adalah kebaikan-kebaikan subjektif (menurut versi masing-masing agama), namun hampir tidak ada agama yang memuat ajaran kejahatan – apalagi sampai memamerkannya secara vulgar.
Agama adalah kedamaian yang membimbing manusia untuk berdamai dengan alam berserta isinya, termasuk dengan manusia-manusianya sebagai poros ketertiban dunia.
Lantas, dari mana kebencian itu lahir? Kenapa ada orang-orang beragama yang terlihat sedemikian sangar dan menakutkan?
Menurut Kimbal (2013), ketika para penganut agama mengangkat ajaran dan kepercayaan mereka ke tingkat klaim kebenaran mutlak, maka kondisi tersebut telah membuka peluang agama menjadi jahat. Klaim kebenaran yang kaku adalah faktor kunci yang berpeluang mendehumanisasikan orang yang berbeda sebagai setan.
Apa yang diutarakan Kimball setidaknya dapat memberikan gambaran untuk kemudian kita mencoba memahami dari mana kebencian itu dimulai. Sejatinya agama itu tidak jahat sehingga tidak mungkin agama dapat memicu kebencian. Kejahatan itu hanya tumbuh dan mekar melalui tindakan manusia sebagai pemeluk agama. Melalui interpretasi manusialah terkadang wajah agama terlihat suram.
Klaim kebenaran membabi-buta yang dilakoni oknum pemeluk agama dapat memicu sikap agresif dan sinisme. Dari sinilah kebencian itu menjadi hilir dan kemudian bermuara pada tindakan-tindakan destruktif – yang dalam konteks peradaban terkadang sulit dimengerti.
Penghinaan, pelecehan, pembunuhan, perusakan dan bahkan perang sekali pun seringkali berasal dari terpeliharanya kebencian yang kemudian mencapai titik ledak.
Stigmatisasi
Dalam konteks sosiologis, cara termudah untuk memantik emosi, khususnya bagi para pemeluk agama adalah dengan menciptakan label-label negatif kepada sosok atau kelompok lain yang dianggap berbeda keyakinan. Label-label ini menemukan wujudnya dalam stempel sesat, liberal, sekuler, atau bahkan komunis. Dari label ini kemudian terbentuklah stigma kepada kelompok-kelompok dimaksud.
Hardiman (2005: 13) mengemukakan bahwa “Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk menghina, melainkan fobia, karena yang terstigma dipersespsi sebagai ancaman.” Stigma masih menurut Hardiman, juga dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa rasa bersalah, bahkan dengan rasa eskastis. Dalam pikiran pelaku kekerasan, korban difragmentasi, dan fragmen-fragmen sosialnya dirakit kembali menjadi sosok baru yang terdehumanisasi dan terdepersonalisasi sehingga layak dilecehkan.
Kasus Aceh; Sebagai Contoh
Kasus terbaru yang mungkin dapat dirujuk adalah kejadian “pengusiran” terhadap Ustaz Firanda yang sedang memberikan pengajian di Masjid al-Fitrah Keutapang, Banda Aceh pada Kamis malam (13/06/2019) lalu. Kejadian ini di antaranya sempat dirilis oleh bbc.com (14/06/2019). Dalam insiden itu terlihat sejumlah massa yang telah tersulut amarah tampak memasuki masjid sehingga terjadilah keributan – yang pada prinsipnya tidak layak dipertontonkan di rumah Tuhan.
Kasus di masjid tersebut tidak terjadi secara spontan, tapi adalah puncak dari rangkaian upaya penolakan sebelumnya. Suara-suara penolakan ini telah muncul sebelum Firanda menjejakkan kakinya di Aceh. Jauh sebelum insiden itu meledak, Firanda telah distigma sebagai Wahhabi dan karenanya ia dianggap “sesat.” Stigma inilah yang kemudian melahirkan keyakinan di benak massa bahwa Firanda layak diusir.
Seperti dikemukakan Hardiman bahwa dalam stigma terkandung unsur fobia – dalam hal ini ketakutan berlebihan akan terganggunya tradisi yang selama ini dirawat oleh massa yang mengidentifikasi diri sebagai Aswaja. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, kehadiran pemikiran-pemikiran “non-Aswaja” di Aceh telah melahirkan heterofobia alias rasa takut akan “yang lain” dari kalangan Aswaja.
Terkait kondisi psikologis ini, Betrand Russel menyatakan bahwa: “Rasa takut adalah sumber utama takhayul dan salah satu sumber kekejaman.” Dalam pengertian terbatas, rasa takut terhadap Wahhabi misalnya, akan melahirkan imajinasi keterancaman bagi kelestarian pemikiran-pemikiran tradisional Aswaja yang saat ini masih menghegemonik – yang dianggap sebagai poros kebenaran paling otoritatif di Aceh. Perasaan keterancaman inilah yang kemudian melahirkan kebencian sehingga muncullah label dan stigma sebagai alat justifikasi atas pengusiran terhadap kelompok dan pemikiran yang didefinisikan sebagai sesat dan menyimpang.
Dalam banyak kasus, perasaan keterancaman ini diawali oleh munculnya prasangka terhadap “yang lain.” Seperti dijelaskan Hardiman (2015: 69), prasangka adalah “Penarikan kesimpulan atau penilaian yang tergesa-gesa.” Ketergesa-gesaan inilah yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan destruktif di ruang publik. Ketergesa-gesaan adalah wujud dari ketidakmatangan berpikir – untuk tidak menyebut sebagai ekses matinya nalar.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan berdampak pada munculnya konflik komunal yang lebih luas di kemudian hari. Dalam sistem konflik, seperti dinyatakan Klandermans (2005:282), dinamika kita – mereka cenderung berkembang sehingga ruang perbedaan akan semakin lebar. Dalam hal ini kelompok yang mengusung pemikiran keagamaan maesntream akan mengidentifikasi diri sebagai “kita” untuk selanjutnya berhadapan dengan “mereka” yang dianggap menyimpang.
Beragama dengan Santun
Seperti telah disinggung di awal bahwa kebencian muncul dari sikap sinisme yang diiringi oleh klaim kebenaran mutlak atau tindakan memonopoli kebenaran. Sikap ini tercermin dalam setiap tindak-tanduk umat beragama, baik antarpemeluk agama yang berbeda, maupun sesama pemeluk dalam satu agama sebagaimana terjadi di Banda Aceh baru-baru ini. Sebagai contoh sikap oknum Aswaja yang “suka” menyesatkan Wahhabi dan juga sikap oknum (yang dianggap sebagai) Wahhabi yang “gemar” membid’ahkan Aswaja. Jika sikap dari kedua pihak ini terus dilestarikan maka pertentangan itu akan terus abadi.
Untuk mengurai atau setidaknya meminimalisasi terjadinya konflik, maka pola beragama secara santun menjadi salah satu solusi. Santun dalam pengertian tidak merendahkan keyakinan komunitas lain, setidak-tidaknya di muka umum. Solusi lainnya dengan mengelola klaim kebenaran mutlak agar ia tidak melahirkan fobia yang kemudian menjadi senjata untuk melakukan “agresi” terhadap pihak lain. Namun begitu bukan berarti kebenaran mutlak itu tidak ada, tapi biarlah ia menjadi perbincangan internal keagamaan dan tidak menyeruak ke ruang publik sehingga agama akan tetap memberi kedamaian, bukan justru memicu kebencian.
Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa Medan.
loading...
Post a Comment