Undang-Undang dan Aspirasi Publik

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: nationalreview


Bireuen, 18 Februari 2020

Akhir-akhir ini persoalan Omnibus Law terus saja menyita perhatian publik di tanah air. Sejumlah pihak menyatakan ketidaksetujuannya pada beberapa pasal yang diperbarui atau bahkan dihapus dalam RUU Cipta Kerja yang diajukan oleh pemerintah – yang kononnya sebagai pemegang amanah rakyat, tapi kenyataannya justru terkesan kurang berpihak pada kepentingan publik, khususnya pekerja. Informasi terakhir seperti dirilis tirto.id, RUU Cipta Kerja tersebut telah diserahkan kepada DPR.

Uniknya di tengah protes sebagian publik,  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto justru mengklaim RUU tersebut diperlukan untuk menggenjot perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Klaim ini memang khas retorika penguasa yang selalu saja “menjual” frasa “demi rakyat.” Padahal beberapa pasal dalam dalam RUU dimaksud justru menguntungkan korporasi dan investor. Bagi pebisnis RUU ini bisa menjadi “surga, tapi bagi pekerja justru menjadi “neraka.”

Seperti dilansir tirto.id, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah merevisi ketentuan cuti khusus atau izin yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antaraya adalah penghapusan cuti khusus atau izin tidak masuk pada saat haid pertama bagi perempuan, izin khusus untuk keperluan menikah, izin khusus mengkhitankan anak, izin khusus istri melahirkan dan juga izin khusus apabila ada anggota keluarga yang meninggal. Uniknya cuti khusus untuk melaksanakan ibadah keagamaan  juga harus menemui ajalnya setelah “dihantam” Omnibus Law.

 Sebagai bagian dari warga negara plus sebagai pekerja tentunya semua pihak berhak mengkritisi segala bentuk gagasan, apalagi RUU yang bukan saja tidak populis, tetapi juga mencederai kepentingan publik, dalam hal ini rakyat “jelata” yang tidak memiliki koneksi khusus dengan kekuasan. Berbeda dengan korporasi besar yang mungkin saja akan menerima rancangan undang-undang itu dengan gegap-gempita, para pekerja justru semakin “tertekan” akibat hak-haknya yang “dikuliti.”

Penghapusan cuti bagi para pekerja yang notabene adalah hak-haknya merupakan tindakan yang sulit dimengerti. Sebut saja izin khusus karena anggota keluarga meninggal dunia; penghapusan izin ini bukan saja merusak kewarasan, tetapi juga menodai perasaan kemanusiaan yang semestinya dilindungi oleh negara. Dalam hal ini para pekerja telah diposisikan hanya sebagai “mesin” untuk menggerakkan roda pemerintahan dan juga menumpuk keuntungan untuk korporasi-korporasi besar, sementara hak-hak kemanusiaan yang melekat pada mereka justru bergururan di hadapan RUU yang tidak lama lagi akan menjadi UU – yang lagi-lagi tidak berpihak pada pekerja.

Demikian pula dengan cuti khusus melaksanakan ibadah yang dalam praktiknya tidak saja membingungkan, tetapi juga menggerus nilai-nilai Pancasila yang semestinya diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Kenyataanya menjadi paradoks ketika di satu sisi sila Ketuhanan Yang Maha Esa selalu saja diagung-agungkan sebagai bentuk perlawanan pada ateisme, tapi kesempatan ibadah sebagai manifestasi dari teisme justru tidak mendapat perlindungan dari negara. Kenyataan ini memang unik, lucu dan bahkan ambigu.

Untungnya, informasi terakhir yang berkembang, seperti diriwayatkan republika.co.id, menyebut bahwa cuti haid, nikah dan cuti khusus untuk menjalankan ibadah masih tetap seperti semula dan tidak mengalami revisi. Menurut republika.co.id, pihak pemerintah telah melakukan klarifikasi terkait cuti dimaksud dengan menekankan tidak ada perubahan pada cuti tersebut.

Selanjutnya, polemik RUU Cipta Kerja juga meluas pada persoalan lingkungan. Aktivis lingkungan juga melempar kritik terhadap RUU yang dianggap tidak pro pada kelestarian lingkungan hidup. Tirto.id mengabarkan bahwa Wahana Lingkungan Hidup mengkritik hilangnya pasal dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) yang dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan yang telah dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Bahkan Walhi mendapati pemerintah dan tim dari pengusaha menghapus ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam pasal 88 UU dimaksud.

Baik langsung atau pun tidak, penghapusan pasal dimaksud terkesan memberi peluang bagi terjadinya berbagai bentuk kejahatan terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini, korporasi-korporasi besar akan bebas mengeruk keuntungan tanpa harus peduli pada kerusakan lingkungan sebab UU telah berpihak kepada mereka, sementara rakyat terdampak hanya bisa gigit jari. Dalam hal ini menjadi jelas kepada siapa kekuasaan berpihak.

Selain itu, Walhi juga mengkritik terkait adanya upaya penghilangan partisipasi publik dalam UU PPLH dengan dihapusnya pasal 93, di mana publik seharusnya bisa menguji izin lingkungan atau izin usaha melalui PTUN, tapi ironisnya pasal itu justru lenyap. Menurut Walhi, tindakan ini terbilang konyol karena pengesahan RUU Cipta Kerja hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis (Tirto.id). Sekali lagi, di sini menjadi terang-benderang bahwa rakyat sama sekali tidak diuntungkan dengan disahkannya RUU tersebut.

Sementara itu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana, seperti dikabarkan tempo.co juga melempar kritik kepada Presiden Joko Widodo yang meminta Badan Intelejen Nasional, Kapolri dan Kejaksaan untuk mendekati organisasi-organisasi penolak Omnibus Law. Menurutnya, pelibatan lembaga-lembaga negara tersebut bukannya membuka ruang diskusi, tapi justru akan berpeluang terjadinya intimidasi. Menurut Arif Maulana, dalam pembentukan aturan semestinya melibatkan masyarakat yang terdampak. Sementara yang terjadi menurutnya, justru diskriminatif karena melibatkan orang-orang tertentu. Bahkan dia menyebut pembentukan Omnibus Law sebagai ugal-ugalan.

Kritik yang disampaikan Arif Maulana memang patut dicermati karena sikap pemerintah yang demikian akan berpotensi melahirkan “otoritarianisme” penguasa melalui perangkat-perangkatnya. Aksi protes dan kritik yang merupakan medium aspirasi publik adalah hal yang lumrah dalam negara demokrasi sehingga menjadi aneh apabila aksi itu menimbulkan keresahan di kalangan penyelenggara negara. Semestinya segala bentuk kritik dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk kemudian pemerintah dapat lebih bijak dalam melahirkan aturan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Terakhir, kita hanya bisa berharap agar Omnibus Law tidak menjadi “petaka” baru bagi publik. Harapan itu tersandar di pundak Presiden RI dan DPR-RI. Semoga saja kepentingan politik pragmatis kekuasaan tidak sampai mengorbankan rakyat yang selama ini menaruh harapan besar pada pemimpin yang telah mereka pilih.


Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments