Aswaja Vs Wahhabi; Konflik yang Tak Pernah Selesai
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 22 Juni 2019
Khususnya dalam dunia Islam, pertentangan antarpemikiran keagamaan bukanlah hal baru. Pertentangan ini telah terjadi di masa-masa awal sejarah Islam. Peristiwa ini dimulai pasca berlalunya masa kenabian dengan lahirnya beberapa sekte dalam Islam semisal Mu‘tazilah, Khawarij, Murji‘ah, Asy‘ariyah, Maturidiyah dan aliran-aliran lainnya. Pada awalnya sekte-sekte tersebut berawal dari aliran-aliran politik yang kemudian bermetamorfosis menjadi aliran teologi. Namun seiring perjalanan waktu sebagian dari aliran-aliran itu telah punah dan hanya tersisa beberapa aliran saja di antaranya Asy‘ariyah, Syi‘ah dan Salafiyah yang sering disebut sebagai Wahhabiyah.
Seperti kita lihat, pertarungan antar aliran pemikiran yang tersisa ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Di antaranya adalah pertarungan antara Asy‘ariyah versus Syi‘ah; Asy‘ariyah versus Wahhabiyah; dan Syi‘ah versus Wahhabiyah. Dua dari tiga aliran ini, yaitu Asy‘ariyah dan Wahhabiyah pada dasarnya berasal dari satu kutub pemikiran, di mana keduanya berada dalam lingkaran teologi Sunni. Ketiga aliran tersebut memiliki basis dukungan yang kuat di wilayah masing-masing.
Saat ini Asya‘riyah berkembang pesat di Mesir, Syi‘ah di Iran dan Wahhabiyah di Arab Saudi. Kendati berpusat di beberapa negara tersebut, namun pemikiran ketiga aliran ini juga tumbuh dan berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam.
Dalam konteks entitas politik di abad modern, pertarungan teologis aliran-aliran ini juga bermuara pada rivalitas politik antarnegara, di antaranya Iran yang mengusung pemikiran Syi‘ah berhadapan dengan Arab Saudi yang mengusung paham Wahhabiyah. Kedua negara ini tampak masih terus terlibat dalam perebutan pengaruh di Timur Tengah yang selalu saja berekses pada ketegangan-ketegangan politik antarpengikut kedua negara.
Dengan mengabaikan aliran Syi‘ah, tulisan ini akan mencoba untuk fokus pada pertarungan dua aliran teologi dalam kutub Sunni; Asy‘ariyah dan Wahhabiyah – yang sampai saat ini masih terus lestari, khususnya di Indonesia.
Asy‘ariyah Vs Wahhabiyah
Salah satu bentuk pertarungan sengit antara Asy‘ariyah dan Wahhabiyah adalah terkait siapa sebenarnya yang layak disebut Ahlussunnah Waljama‘ah? Kedua aliran ini saling berebut istilah dimaksud dengan menegaskan diri sebagai Ahlussunnah Waljama‘ah. Dengan kata lain, masing-masing pihak berkukuh bahwa merekalah Ahlussunnah Waljama‘ah dengan menggunakan pendalilan masing-masing. Kenyataan ini dapat dengan mudah dilacak dalam berbagai literature dan juga melalui ceramah-ceramah yang mereka sampaikan.
Perebutan otoritas kesunnahan ini telah dimulai sejak zaman klasik, di mana ketika itu para pengikut Asy‘ariyah berhadapan dengan pengikut Salafiyah Ahlul Hadits yang dipelopori Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam perkembangan kemudian, kelompok Asy‘ariyah yang tetap setia pada metode kalamnya terus terlibat ketegangan dengan kelompok Wahhabiyah yang merupakan pewaris pemikiran Salafiyah Hanbali.
Unsur pertentangan lainnya antara Asy‘ariyah dan Salafiyah terletak pada perbedaan interpretasi keagamaan. Salah satu perbedaan dimaksud terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat, di mana Asy‘ariyah melakukan penakwilan terhadap makna ayat-ayat dimaksud, sementara Salafiyah memahaminya secara literal, kecuali jika ada dalil pendukung untuk melakukan penakwilan. Dalam konteks ini perdebatan kedua kelompok seringkali memunculkan sikap saling menyesatkan satu sama lain.
Di Indonesia sendiri pertentangan kedua kelompok ini – dengan beberapa kemiripan juga diwakili oleh polemik Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di masa lalu. Dalam hal ini NU lebih dekat kepada pemikiran teologi Asy‘ariyah dan Muhammadiyah dalam banyak hal dekat dengan teologi Salafiyah.
Di masa lalu, khususnya di Indonesia pemikiran Salafiyah telah diadopsi oleh beberapa ormas semisal Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis. Namun saat ini penyebaran pemikiran ini sudah semakin meluas dengan munculnya kelompok-kelompok kajian Salafiyah di luar ormas-ormas tersebut. Bahkan beberapa kelompok kajian Salafiyah dimaksud tidak hanya melakukan penyebaran pemikiran melalui pengajian di masjid atau lembaga pendidikan, tetapi juga melalui perangkat teknologi seperti radio, televisi dan beberapa media yang terhubung dengan internet semisal website atau pun chanel You Tube.
Terlepas dari berbagai upaya penolakan yang dilakukan oleh para pengusung pemikiran Asy‘ariyah di Indonesia seperti NU dan beberapa organisasi yang memiliki afiliasi pemikiran dengannya, penyebaran pemikiran Salafiyah dalam beberapa tahun terakhir tampaknya mendapat sambutan yang cukup baik dari sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang berdomisili di wilayah perkotaan.
Kasus Aceh
Dalam konteks teologis, sebagian besar masyarakat Aceh adalah penganut pemikiran Asy‘ariyah. Hal ini didukung oleh “kuatnya” hegemoni dayah di Aceh. Sebagaimana umumnya pesantren-pesantren di Jawa, dayah di Aceh menjadi penggerak bagi perkembangan pemikiran Asy‘ariyah yang dipadukan dengan pemikiran Syafi‘iyah sebagai mazhab hukum. Seringkali perpaduan kedua aspek pemikiran ini kemudian dinamai dengan Aswaja yang oleh mereka dipahami sebagai singkatan dari Ahlussunnah Waljama‘ah.
Seperti kita lihat, kelompok pesantren dan dayah di Aceh yang menganut pemikiran Asy‘ariyah selalu saja menggunakan istilah Aswaja sebagai identitas kelompoknya. Melalui istilah inilah mereka membedakan diri dengan kelompok-kelompok lain semisal Syi‘ah atau pun Salafiyah. Khususnya di Aceh, kelompok pemikiran Salafiyah – oleh Aswaja sering disebut sebagai Wahhabiyah.
Sebagaimana halnya di daerah lain, pertentangan antar Aswaja (Asy‘ariyah) dan Salafiyah (Wahhabiyah) juga berlangsung sengit. Perdebatan ini sudah dimulai sejak pemikiran Salafiyah ini masuk ke Aceh pada era 1920-an melalui Sumatera Thawalib. Saat itu para pengusung Aswaja (Asy‘ariyah) yang dimotori oleh dayah senantiasa melakukan pengadangan terhadap perkembangan pemikiran Salafiyah (Wahhabiyah) di Aceh. Perkembangan pemikiran Salafiyah di Aceh sempat mencapai puncak kejayaan setelah berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada 1939 yang mayoritas tokoh-tokohnya berideologi Salafi-Modernis.
Penyebaran pemikiran Salafiyah di Aceh pada era 1920-1940-an tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan pemikiran modern yang juga masuk ke Aceh. Sejak saat itu tokoh-tokoh pengembang pemikiran Salafi-Modernis ini terlibat dalam melahirkan sejumlah madrasah di Aceh sehingga dalam skala terbatas perdebatan Aswaja-Wahhabi juga terjelma dalam rivalitas madrasah vs dayah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pertentangan Aswaja vs Wahhabi di Aceh tidak lagi sebatas perdebatan ilmiah tapi telah meluas pada munculnya gerakan sosial dari Aswaja. Hal ini tercermin dari beberapa aksi “perebutan” masjid dan juga gagasan penyeragaman mazhab yang diwacanakan kalangan Aswaja di Aceh. Gerakan ini mencapai puncaknya pada 2015 lalu dengan digelarnya Parade Aswaja di Banda Aceh yang mengangkat tema pengusiran Wahhabi di Aceh.
Baru-baru ini, pengajian Salafi di salah satu masjid di Banda Aceh juga mendapat gangguan dari sejumlah massa yang menamakan diri sebagai Aswaja. Saat itu sejumlah massa tampak memasuki masjid dan membuat keributan yang kemudian berujung rusuh sehingga Ustaz Firanda yang saat itu sedang mengisi pengajian terpaksa dipulangkan ke Jakarta.
Sikap Pemerintah
Seperti telah diterangkan di atas bahwa pertentangan antara Aswaja dan Wahhabi di Aceh disebabkan oleh perbedaan kedua kelompok dalam melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama. Meskipun kedua kelompok berada dalam lingkup teologi Sunni, namun mereka terpecah dalam dua cabang pemikiran; Asy‘ariyah dan Salafiyah.
Dalam konteks teologis, kedua pemikiran ini memang sulit didamaikan. Namun demikian, pemerintah selaku penguasa, dalam hal ini Pemerintah Aceh harus memastikan agar kedua aliran pemikiran ini bisa hidup berdampingan tanpa harus bermusuhan yang berujung pada tindakan destruktif. MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh juga harus mengambil peran secara adil dan tidak bersikap diskriminatif agar persatuan umat tidak terkoyak-koyak hanya karena perbedaan interpretasi keagamaan. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Ilustrasi: yukarikayalar |
Bireuen, 22 Juni 2019
Khususnya dalam dunia Islam, pertentangan antarpemikiran keagamaan bukanlah hal baru. Pertentangan ini telah terjadi di masa-masa awal sejarah Islam. Peristiwa ini dimulai pasca berlalunya masa kenabian dengan lahirnya beberapa sekte dalam Islam semisal Mu‘tazilah, Khawarij, Murji‘ah, Asy‘ariyah, Maturidiyah dan aliran-aliran lainnya. Pada awalnya sekte-sekte tersebut berawal dari aliran-aliran politik yang kemudian bermetamorfosis menjadi aliran teologi. Namun seiring perjalanan waktu sebagian dari aliran-aliran itu telah punah dan hanya tersisa beberapa aliran saja di antaranya Asy‘ariyah, Syi‘ah dan Salafiyah yang sering disebut sebagai Wahhabiyah.
Seperti kita lihat, pertarungan antar aliran pemikiran yang tersisa ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Di antaranya adalah pertarungan antara Asy‘ariyah versus Syi‘ah; Asy‘ariyah versus Wahhabiyah; dan Syi‘ah versus Wahhabiyah. Dua dari tiga aliran ini, yaitu Asy‘ariyah dan Wahhabiyah pada dasarnya berasal dari satu kutub pemikiran, di mana keduanya berada dalam lingkaran teologi Sunni. Ketiga aliran tersebut memiliki basis dukungan yang kuat di wilayah masing-masing.
Saat ini Asya‘riyah berkembang pesat di Mesir, Syi‘ah di Iran dan Wahhabiyah di Arab Saudi. Kendati berpusat di beberapa negara tersebut, namun pemikiran ketiga aliran ini juga tumbuh dan berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam.
Dalam konteks entitas politik di abad modern, pertarungan teologis aliran-aliran ini juga bermuara pada rivalitas politik antarnegara, di antaranya Iran yang mengusung pemikiran Syi‘ah berhadapan dengan Arab Saudi yang mengusung paham Wahhabiyah. Kedua negara ini tampak masih terus terlibat dalam perebutan pengaruh di Timur Tengah yang selalu saja berekses pada ketegangan-ketegangan politik antarpengikut kedua negara.
Dengan mengabaikan aliran Syi‘ah, tulisan ini akan mencoba untuk fokus pada pertarungan dua aliran teologi dalam kutub Sunni; Asy‘ariyah dan Wahhabiyah – yang sampai saat ini masih terus lestari, khususnya di Indonesia.
Asy‘ariyah Vs Wahhabiyah
Salah satu bentuk pertarungan sengit antara Asy‘ariyah dan Wahhabiyah adalah terkait siapa sebenarnya yang layak disebut Ahlussunnah Waljama‘ah? Kedua aliran ini saling berebut istilah dimaksud dengan menegaskan diri sebagai Ahlussunnah Waljama‘ah. Dengan kata lain, masing-masing pihak berkukuh bahwa merekalah Ahlussunnah Waljama‘ah dengan menggunakan pendalilan masing-masing. Kenyataan ini dapat dengan mudah dilacak dalam berbagai literature dan juga melalui ceramah-ceramah yang mereka sampaikan.
Perebutan otoritas kesunnahan ini telah dimulai sejak zaman klasik, di mana ketika itu para pengikut Asy‘ariyah berhadapan dengan pengikut Salafiyah Ahlul Hadits yang dipelopori Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam perkembangan kemudian, kelompok Asy‘ariyah yang tetap setia pada metode kalamnya terus terlibat ketegangan dengan kelompok Wahhabiyah yang merupakan pewaris pemikiran Salafiyah Hanbali.
Unsur pertentangan lainnya antara Asy‘ariyah dan Salafiyah terletak pada perbedaan interpretasi keagamaan. Salah satu perbedaan dimaksud terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat, di mana Asy‘ariyah melakukan penakwilan terhadap makna ayat-ayat dimaksud, sementara Salafiyah memahaminya secara literal, kecuali jika ada dalil pendukung untuk melakukan penakwilan. Dalam konteks ini perdebatan kedua kelompok seringkali memunculkan sikap saling menyesatkan satu sama lain.
Di Indonesia sendiri pertentangan kedua kelompok ini – dengan beberapa kemiripan juga diwakili oleh polemik Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di masa lalu. Dalam hal ini NU lebih dekat kepada pemikiran teologi Asy‘ariyah dan Muhammadiyah dalam banyak hal dekat dengan teologi Salafiyah.
Di masa lalu, khususnya di Indonesia pemikiran Salafiyah telah diadopsi oleh beberapa ormas semisal Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis. Namun saat ini penyebaran pemikiran ini sudah semakin meluas dengan munculnya kelompok-kelompok kajian Salafiyah di luar ormas-ormas tersebut. Bahkan beberapa kelompok kajian Salafiyah dimaksud tidak hanya melakukan penyebaran pemikiran melalui pengajian di masjid atau lembaga pendidikan, tetapi juga melalui perangkat teknologi seperti radio, televisi dan beberapa media yang terhubung dengan internet semisal website atau pun chanel You Tube.
Terlepas dari berbagai upaya penolakan yang dilakukan oleh para pengusung pemikiran Asy‘ariyah di Indonesia seperti NU dan beberapa organisasi yang memiliki afiliasi pemikiran dengannya, penyebaran pemikiran Salafiyah dalam beberapa tahun terakhir tampaknya mendapat sambutan yang cukup baik dari sebagian masyarakat Indonesia, khususnya yang berdomisili di wilayah perkotaan.
Kasus Aceh
Dalam konteks teologis, sebagian besar masyarakat Aceh adalah penganut pemikiran Asy‘ariyah. Hal ini didukung oleh “kuatnya” hegemoni dayah di Aceh. Sebagaimana umumnya pesantren-pesantren di Jawa, dayah di Aceh menjadi penggerak bagi perkembangan pemikiran Asy‘ariyah yang dipadukan dengan pemikiran Syafi‘iyah sebagai mazhab hukum. Seringkali perpaduan kedua aspek pemikiran ini kemudian dinamai dengan Aswaja yang oleh mereka dipahami sebagai singkatan dari Ahlussunnah Waljama‘ah.
Seperti kita lihat, kelompok pesantren dan dayah di Aceh yang menganut pemikiran Asy‘ariyah selalu saja menggunakan istilah Aswaja sebagai identitas kelompoknya. Melalui istilah inilah mereka membedakan diri dengan kelompok-kelompok lain semisal Syi‘ah atau pun Salafiyah. Khususnya di Aceh, kelompok pemikiran Salafiyah – oleh Aswaja sering disebut sebagai Wahhabiyah.
Sebagaimana halnya di daerah lain, pertentangan antar Aswaja (Asy‘ariyah) dan Salafiyah (Wahhabiyah) juga berlangsung sengit. Perdebatan ini sudah dimulai sejak pemikiran Salafiyah ini masuk ke Aceh pada era 1920-an melalui Sumatera Thawalib. Saat itu para pengusung Aswaja (Asy‘ariyah) yang dimotori oleh dayah senantiasa melakukan pengadangan terhadap perkembangan pemikiran Salafiyah (Wahhabiyah) di Aceh. Perkembangan pemikiran Salafiyah di Aceh sempat mencapai puncak kejayaan setelah berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada 1939 yang mayoritas tokoh-tokohnya berideologi Salafi-Modernis.
Penyebaran pemikiran Salafiyah di Aceh pada era 1920-1940-an tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan pemikiran modern yang juga masuk ke Aceh. Sejak saat itu tokoh-tokoh pengembang pemikiran Salafi-Modernis ini terlibat dalam melahirkan sejumlah madrasah di Aceh sehingga dalam skala terbatas perdebatan Aswaja-Wahhabi juga terjelma dalam rivalitas madrasah vs dayah.
Dalam perkembangan selanjutnya, pertentangan Aswaja vs Wahhabi di Aceh tidak lagi sebatas perdebatan ilmiah tapi telah meluas pada munculnya gerakan sosial dari Aswaja. Hal ini tercermin dari beberapa aksi “perebutan” masjid dan juga gagasan penyeragaman mazhab yang diwacanakan kalangan Aswaja di Aceh. Gerakan ini mencapai puncaknya pada 2015 lalu dengan digelarnya Parade Aswaja di Banda Aceh yang mengangkat tema pengusiran Wahhabi di Aceh.
Baru-baru ini, pengajian Salafi di salah satu masjid di Banda Aceh juga mendapat gangguan dari sejumlah massa yang menamakan diri sebagai Aswaja. Saat itu sejumlah massa tampak memasuki masjid dan membuat keributan yang kemudian berujung rusuh sehingga Ustaz Firanda yang saat itu sedang mengisi pengajian terpaksa dipulangkan ke Jakarta.
Sikap Pemerintah
Seperti telah diterangkan di atas bahwa pertentangan antara Aswaja dan Wahhabi di Aceh disebabkan oleh perbedaan kedua kelompok dalam melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama. Meskipun kedua kelompok berada dalam lingkup teologi Sunni, namun mereka terpecah dalam dua cabang pemikiran; Asy‘ariyah dan Salafiyah.
Dalam konteks teologis, kedua pemikiran ini memang sulit didamaikan. Namun demikian, pemerintah selaku penguasa, dalam hal ini Pemerintah Aceh harus memastikan agar kedua aliran pemikiran ini bisa hidup berdampingan tanpa harus bermusuhan yang berujung pada tindakan destruktif. MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Aceh juga harus mengambil peran secara adil dan tidak bersikap diskriminatif agar persatuan umat tidak terkoyak-koyak hanya karena perbedaan interpretasi keagamaan. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment