Wacana Hukum Pancung di Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Foto: almasryalyoum.com



Bireuen, 27 Maret 2018

Pernyataan seorang pejabat Dinas Syariat Islam Aceh beberapa waktu lalu telah memicu reaksi dan pro-kontra di tengah masyarakat. Pernyataan yang kemudian diklarifikasi ini beredar luas dan cepat melalui media sosial. Beberapa pihak menyatakan mendukung wacana hukuman pancung untuk diterapkan di Aceh, sementara sebagian pihak lainnya dengan tegas menolak wacana yang merupakan pernyataan pribadi tersebut.

Melalui media, pejabat Dinas Syariat Islam Aceh tersebut telah melakukan klarifikasi kepada publik bahwa pernyataannya sama sekali tidak mewakili Pemerintah Aceh dan masih sebatas wacana yang harus didahului oleh riset guna menjaring pendapat dari masyarakat Aceh. Namun demikian, meskipun telah dilakukan klarifikasi, tapi saya melihat wacana ini menarik didiskusikan.

Hukum Pancung atau Qishash?

Pasca hebohnya pernyataan pejabat Dinas Syariat Islam Aceh beberapa hari lalu, saya melihat ada “kekacauan” pemahaman dari sebagian kalangan, khususnya netizen yang aktif di media sosial. Entah sengaja, atau tidak, sebagian kalangan terlihat telah mencampur-aduk istilah qishash dengan hukum pancung. Dari percampuran istilah tersebut terkesan bahwa hukum qishash sama dengan hukuman pancung, atau dengan kata lain hukuman pancung adalah bentuk qishash yang telah diatur dalam Alquran. Tentunya pola konsklusi semacam ini sangat keliru.

Sebagian kalangan di Aceh, tampaknya merujuk istilah qishash pada hukuman pancung terhadap para pembunuh yang diterapkan di Arab Saudi. Memang, seperti kita ketahui, Saudi adalah salah satu, atau mungkin satu-satunya negara yang menegakkan hukum Islam di muka bumi.  Dan, hukuman pancung terhadap pembunuh di Arab Saudi memang termasuk dalam kategori qishash (pembalasan). Tapi, qishash itu sendiri terbagi dalam dua katagori; qishash jiwa (dibunuh) dan qishash anggota badan dengan melakukan pembalasan yang serupa.

Sementara itu, di Aceh, pemahaman tentang qishash terlihat bias. Sebagian kalangan memahami qishash sebagai sebuah bentuk hukuman kepada para pembunuh, sementara sebagian yang lain menerjemahkan qishash sebagai hukuman mati. Dari dua penerjemahan ini, penerjemahan disebut pertama, qishash sebagai hukuman bagi pembunuh adalah lebih tepat, meskipun qishash itu sendiri juga berlaku pada tindak kejahatan melukai anggota badan. Sedangkan, penerjemahan kedua, bahwa qishash adalah hukuman mati adalah kurang tepat, sebab bentuk qishash tidak selamanya bermakna hukuman mati, tapi mencakup segala bentuk pembalasan fisik lainnya terhadap pelaku kejahatan.

Dalam Islam terdapat beberapa kejahatan hudud yang berkonsekwensi pada hukuman mati, semisal zina muhsin. Apakah kemudian hukuman rajam kepada pezina misalnya, dapat disebut sebagai qishash? Sebaliknya, seorang penjahat yang mematahkan tangan orang lain, kemudian ditegakkan qishash (pembalasan) dengan mematahkan tangan si pelaku kejahatan tersebut, apakah tidak bisa disebut qishash hanya karena si pelaku tersebut tidak dibunuh (hukuman mati)? Selain itu, kita juga mengenal hukuman ta’zir. Dalam bentuk hukuman ta’zir juga terdapat hukman mati bagi pelaku kejahatan berat. Apakah hukuman mati serupa ini juga bisa disebut qishash?

Akibat “kekeliruan” dalam memahami istilah ini, akhirnya muncullah pernyataan-pernyataan yang terbilang absurd seperti permintaan sebagian kalangan agar para koruptor juga diqishash. Di sini tentunya akan muncul pertanyaan, atas dasar apa seorang koruptor diqishash? Apakah si koruptor telah melakukan pembunuhan? Jika tidak, kenapa pula diqishash?

Kebingungan di atas, diakui atau pun tidak, adalah akibat dari kesalahan menerjemahkan istilah dan menyamakan qishash dengan hukuman mati. Menurut sebagian kalangan, istilah qishash yang ditujukan kepada koruptor pada prinsipnya dimaksudkan sebagai hukuman mati. Dengan demikian, kalimat yang benar adalah: “koruptor dihukum mati,” bukan “diqishash.”

Hukuman Mati

Menyikapi beberapa kasus pembunuhan di Aceh akhir-akhir ini, yang sebagiannya dilakukan secara sadis oleh para pelaku, saya melihat wacana hukuman mati bagi para pembunuh layak didiskusikan. Seperti, dikabarkan media, dalam beberapa tahun terakhir aksi pembunuhan dengan berbagai motif masih saja terjadi di Aceh, padahal Aceh sendiri telah menerapkan syariat Islam.

Tapi, sebagaimana kita lihat, penerapan syariat Islam di Aceh masih terkesan parsial dan hanya menyentuh beberapa aspek saja, sementara banyak aspek lainnya yang sama sekali terabaikan. Di antaranya adalah kasus pembunuhan, yang sampai saat ini belum terdapat regulasi yang mengatur bentuk hukuman kepada para pelaku tersebut sesuai dengan ajaran syariat.

Untuk itu, sudah sepatutnya Pemerintah Aceh, dalam hal ini dinas terkait, segera melakukan riset tentang layak tidaknya hukuman mati diterapkan bagi para pelaku pembunuhan di Aceh. Hal ini penting, guna menekan angka pembunuhan yang akhir-akhir ini terlihat “marak.” Tentang efektivitas pemberlakukan hukuman mati bagi para pembunuh, mungkin negara Saudi Arabiya bisa menjadi salah satu “rujukan” riset, apakah hukuman mati tersebut mampu menekan angka pembunuhan atau tidak. Hal ini dimaksudkan guna mengakhiri “debat kusir” antar para pihak yang pro dan kontra hukuman mati.

Koruptor

Menyikapi berbagai bentuk pelanggaran syariat Islam di Aceh, Pemerintah Aceh juga semestinya memusatkan perhatiannya kepada tindakan kejahatan lainnya semisal korupsi. Sampai detik ini, belum terlihat adanya wacana dari pemerintah dan kalangan intelektual di Aceh yang secara serius mendiskusikan hukuman yang layak bagi para koruptor. Padahal, secara statistik, angka korupsi di Aceh tentunya lebih tinggi dibanding dengan kejahatan pembunuhan.

Seperti diketahui, tindakan para koruptor tidak hanya merugikan negara, tapi juga berdampak bagi seluruh masyarakat. Tapi, mengapa pemerintah dan DPR Aceh terlihat “kurang berselera” mewacanakan hukuman berat kepada koruptor? Apa mungkin mereka takut jika hukuman itu nantinya akan menjerat sebagian oknum di lembaga mereka? Bukankah korupsi juga melanggar syariat?

Di akhir tulisan ini, saya (dan mungkin kita semua) berharap agar pihak eksekutif dan legislatif di Aceh tidak menjadikan syariat Islam hanya sebagai “komoditi” politik belaka sehingga penerapannya hanya menyasar lapisan bawah, sementara para elite “terbebas.” Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.

loading...

No comments