Surat-Surat dari Penjara, Antologi Cerpen Muhajir Juli
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 02 April 2018
Judul Buku : Surat-Surat dari Penjara
Pengarang : Muhajir Juli
Penerbit : Kawat Publishing
Cetakan : 2017
Tebal Buku : xi + 198 halaman
Harga Buku : 50.000
“Ruhamah, penjara seumur hidup adalah hukuman yang sangat tidak setimpal padaku. Kali ini aku sebenarnya ingin menangis di pangkuanmu. Aku divonis sebagai teroris. Bukan sebagai separatis. Padahal aku adalah bagian dari pemberontak itu. Aku sadar, aku telah dikebiri atas kepentingan orang lain” (halaman 73).
Paragraf di atas adalah penggalan dari cerita pendek bertajuk Surat-Surat dari Penjara yang ditulis Muhajir Juli. Tajuk cerpen inilah yang kemudian diangkat sebagai judul buku Surat-Surat dari Penjara dalam antologi cerpennya yang diterbitkan Kawat Publishing (2017).
Muhajir Juli adalah salah seorang penulis muda berbakat di Aceh. Di usianya yang muda dia telah melahirkan banyak tulisan, umumnya cerita pendek (cerpen) dan juga beberapa artikel populer yang terbit di beberapa media lokal di Aceh, baik cetak maupun online. Muhajir Juli sendiri adalah seorang jurnalis yang saat ini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di media online AceHTrend.co.
Tidak hanya menulis di media, lulusan Universitas Almuslim ini juga aktif menulis di blog pribadi miliknya, jambomuhajir.blogspot.com. Tulisan-tulisan penulis ini terbilang menarik untuk dicermati, sebab sering mengangkat hal-hal yang ditemuinya dalam dunia nyata. Sebagian tulisan-tulisannya dilatarbelakangi oleh gerak kondisi sosial dan politik di Aceh yang terus berubah, dari masa perang ke masa damai.
Muhajir adalah sosok penulis yang kritis dan responsif terhadap terhadap berbagai fenomena sosial yang diamatinya. Aktivitas sebagai seorang wartawan telah menjadikan Muhajir sebagai seorang pencatat yang serius. Pada 2017 lalu dia juga telah menerbitkan kumpulan artikelnya dengan judul Putoh Kawat yang berisi pemikiran-pemikiran kritis sekaligus solutif.
Buku Surat-Surat dari Penjara adalah karya kedua Muhajir Juli. Buku ini memuat 22 cerpen dengan ragam tema, dimulai dari kisah percintaan, kisah perang dan juga tingkah laku politisi. Latar belakang cerita juga berbeda antara satu cerpen dengan cerpen yang lain. Namun latar belakang dalam antologi cerpen ini didominasi oleh kondisi perang pada masa konflik Aceh dan juga kondisi pasca konflik (masa damai) yang masih penuh dengan gejolak politik. Penggunaan latar belakang konflik terlihat dalam beberapa cerpen, di antaranya: Surat-Surat dari Penjara dan Serdadu Republik. Sementara latar belakang pasca konflik dapat dibaca di antaranya dalam cerpen Bendera.
Judul Buku
Pada saat pertama sekali melihat antologi cerpen Surat-Surat dari Penjara karya Muhajir Juli, saya teringat pada sebuah buku yang pernah ditulis Ali Hasjmy dengan judul yang sama persis. Dengan demikian, sangat disayangkan ketika Muhajir Juli tidak memberikan penjelasan yang memadai terkait penabalan judul Surat-Surat dari Penjara pada antologi cerpennya sebagai pembanding dengan karya-karya yang sudah terbit sebelumnya.
Buku Surat-Surat dari Penjara yang ditulis oleh Ali Hasjmy dan diterbitkan Bulan Bintang pada 1976, berisi kumpulan surat-surat Ali Hasjmy kepada puterinya Dahlia yang baru berusia empat bulan. Surat-surat tersebut ditulis Ali Hasjmy pada saat ia ditahan di Sumatera Timur karena diduga terlibat DI-TII. Dalam surat-surat pendek itu, Ali Hasjmy berkisah tentang hari-harinya di penjara dan juga diselingi dengan beberapa pesan kepada putrinya.
Buku lainnya yang memiliki kemiripan judul dengan karya Muhajir Juli adalah buku Letters on Islam yang ditulis Mohammad Fadhel Jamali (1965). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anas Mahyuddin dan diterbitkan oleh Pustaka pada 1983 dengan judul Surat-Surat dari Penjara. Dalam buku ini terkumpul dua puluh empat surat mengenai Islam yang ditulis Fadhel Jamali ketika ia mendekam dalam penjara selama satu setengah tahun atas vonis hukuman mati. Tapi dalam perkembangan selanjutnya Fadhel justru dibebaskan dari penjara. Surat-surat Fadhel dalam buku tersebut ditujukan kepada puteranya Abbas yang saat itu sedang menempuh studi di American University of Beirut. Selain dua buku tersebut, juga masih ada beberapa buku lainnya yang mengangkat judul Surat-Surat dari Penjara, semisal buku karya M. Jumhur Hidayat.
Meskipun memiliki kesamaan judul dengan beberapa buku, tapi buku Muhajir Juli memiliki genre berbeda, karena ditulis dalam bentuk sastra (fiksi), sementara buku Ali Hasjmy dan Fadhel adalah karya non fiksi. Seperti diakui sendiri oleh penulis, antologi cerpen ini adalah gumpalan-gumpalan pemikiran yang diramu dalam bentuk sastra. Dalam antologi cerpen ini, penulis berusaha menyentil beberapa perilaku manusia di alam nyata. Meskipun karya ini diramu dalam bentuk sastra, tapi menurut penulis sendiri karya ini belum memenuhi kaidah-kaidah sastra.
Kelebihan dan Kekurangan
Antologi cerpen Surat-Surat dari Penjara menggunakan bahasa yang ringan dan renyah sehingga mudah dipahami oleh pembaca dalam ragam intelektualitas. Cerita-cerita dalam antologi cerpen ini juga diangkat dari kejadian yang kita alami sehari-hari. Hampir semua cerita mengandung pesan yang patut direnungi.
Sementara beberapa kekurangan di antaranya terlihat pada pergantian sudut pandang cerita yang tiba-tiba. Dalam cerpen Surat dari Seberang misalnya. berkisah tentang tokoh Aku yang kemudian diketahui bernama Abdullah, seorang pemuda dari tanah Jawa yang merantau ke Aceh. Pada awal cerita, penulis menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh Aku, tapi pada akhir cerita, ketika si Aku telah menjadi mayat akibat pukulan seseorang karena mencopet, penulis beralih pada sudut pandang cerita dari orang ketiga, yaitu si penulis sendiri sebagai narator.
Penggunan sudut pandang orang pertama pada awal-awal cerita: “Dunia seolah sepi. Akhirnya, kecupan terakhir di pintu saat keberangkatanku, adalah kecupan perpisahan dari si mbok untukku..” (halaman 7)
Penggunaan sudut pandang orang ketiga pada akhir cerita: “Nama lengkap siapa, Mas,” tanya seorang wartawan. “Abdullah. Warga Ciamis, Jawa Barat,” jawab Ikram sambil menutupi jenazah kaku itu” (halaman 9).
Jika pembaca tidak cermat, penggunaan dua sudut pandang ini bisa menimbulkan kebingungan, karena pergantian sudut pandang pada pertengahan dan ending cerita. Hal serupa juga terjadi pada cerpen Kilau Jingga di Ujung Sumatera yang berkisah tentang sosok Aku (Ningsih). Di sini dalam satu paragraf terdapat dua sudut pandang, orang pertama dan orang ketiga (halaman 20).
Pesan
Secara umum, antologi cerpen Surat-Surat dari Penjara bercerita tentang perlawanan seorang anak manusia terhadap kondisi yang dihadapinya. Di sini penulis tampaknya terlihat kecewa pada pada keadaan, ketika dia menyaksikan tingkah laku oknum pejuang pasca konflik Aceh yang sibuk dengan kepentingan dirinya dan melupakan kondisi rakyat. Kekecewaan ini di antaranya tercermin dalam cerpen Sahabat dalam Kabut.
Dalam cerpen Serdadu Republik, penulis juga mengangkat kisah keperihan yang dialami oleh tentara pemerintah yang terjebak dalam pertempuran. Sebagai manusia, ada rasa kesal di hati mereka yang seolah telah dijadikan sebagai “tumbal” oleh para pemimpin mereka. Dalam cerpen ini, juga tercermin sikap kemanusiaan dari para gerilyawan terhadap para tentara yang notabene adalah musuh mereka. Ada rasa miris ketika para gerilyawan “terpaksa” berperang dengan tentara pemerintah yang sebagian besar juga beragama Islam, agama yang dianut oleh para gerilyawan.
Antologi cerpen Muhajir Juli tidak hanya menambah literatur sastra di Aceh, atau mungkin di Indonesia, tapi juga menghadirkan catatan, imajinasi dan pemikiran yang penting disimak oleh segenap anak bangsa.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment