LGBT dan Gerakan Penyadaran
Oleh: Khairil Miswar
Foto: wired868.com |
Bireuen, 01 Februari 2018
Dalam bukunya “Sejarah Homoseksualitas”, Colin Spencer (2011) mengemukakan banyak hal terkait kemunculan perilaku seksual yang dianggap menyimpang. Menyimak uraian dari Spencer, dapat diketahui bahwa perilaku lesbi, gay dan biseksual bukan muncul di abad modern, tapi telah dipraktikkan oleh generasi manusia sejak zaman kuno. Dalam beberapa riset yang dilakukan, perilaku seksual beberapa suku di zaman kuno sering kali dikaitkan dengan ritual. Artinya, kegiatan seksual tersebut merupakan bagian dari ritual yang bernuansa mistis.
Suku Marind misalnya, seperti diceritakan Spencer, tidak berhenti melakukan praktik homoseksual meskipun mereka sudah menikah dengan wanita. Mereka tetap saja melakukan sodomi terhadap kemenakan laki-lakinya yang masih berusia tiga atau empat tahun sebagai bagian dari ritual Sosom. Dalam suku ini, seorang wanita yang baru menikah juga diharuskan melayani kebutuhan seksual laki-laki dari keluarga suaminya.
Bernand Deacon seperti dikutip Spencer mengemukakan bahwa dalam kehidupan suku Namba, seorang pemimpin memiliki beberapa kekasih laki-laki. Mereka meyakini organ kejantanan seorang laki-laki akan menguat jika melakukan hubungan seks sesama jenis. Dan seperti disinggung di atas, hubungan seksual dalam suku ini merupakan bagian dari ritual.
Adapun perilaku “banci” yang sering disebut dengan “penyamaran”, menurut Spencer berkembang dalam masyarakat yang tidak peduli dengan perbedaan gender (kelamin). Pada suku-suku tersebut para banci laki-laki juga melakukan ritus-ritus sakral. Dalam kehidupan suku-suku di sebelah utara dan selatan Amerika, masih menurut Spencer, terdapat laki-laki berpakaian wanita yang dikenal dengan “berdache” (banci).
Dalam kehidupan masyarakat kuno seperti telah dikemukakan di atas, seksualitas seringkali dikaitkan ritual yang memiliki hubungan dengan kesuburan alam. Bahkan, menurut Spencer, setiap tahun pendeta laki-laki dan pendeta perempuan bersetubuh untuk kesuburan tanah.
Penyimpangan seksual seperti biseksualitas juga sudah berkembang di Yunani sebelum Masehi. Spencer menceritakan bahwa di Athena, laki-laki yang sudah menikah dengan perempuan juga melakukan hubungan seksual sesama laki-laki. Mereka melakukan hubungan seksual yang seimbang dengan sesama laki-laki dan juga hubungan seksual dengan perempuan.
Kasus Aceh
Beberapa waktu lalu, Aceh dihebohkan dengan aksi penangkapan terhadap waria di Aceh Utara yang dipimpin oleh Kapolres Aceh utara. Dalam aksi tersebut beberapa waria berhasil diamankan oleh pihak kepolisian yang kemudian dilakukan pembinaan. Seperti dilaporkan Kompas.com (01/02/18), pihak kepolisian melakukan razia di beberapa salon di Kecamatan Lhoksukon dan Jambo Aye Aceh Utara. Menurut keterangan kompas, Kapolres Aceh Utara mengaku sudah mendapat restu dari para ulama sebelum melakukan aksinya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, aksi “heroik” yang melibatkan Kapolres Aceh Utara ini menuai kritik dari beberapa kalangan, khususnya dari kalangan yang mengklaim dirinya sebagai lembaga hak azasi manusia. Dari beberapa media dikabarkan, beberapa kalangan menuding tindakan Kapolres Untung tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Bahkan Direktur Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) menuding tindakan Polres Aceh Utara adalah sewenang-wenang. Menurut ICJR penangkapan paksa terhadap para waria melanggar KUHAP. Seperti dilaporkan kompas.com, ICJR meminta Kapolri untuk mengusut tuntas tindakan sewenang-wenang tersebut.
Akibat tindakannya, Kapolres Aceh Utara juga mendapat “warning” dari institusinya. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri seperti dikutip kompas.com, menyatakan bahwa Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Aceh sedang melakukan investigasi internal terkait penangkapan waria di Aceh Utara.
Tidak hanya kritik, tindakan razia dan pembinaan terhadap waria juga mendapat dukungan dari beberapa elemen masyarakat Aceh. Apresiasi dan dukungan terhadap Kapolres Aceh Utara pun datang dari berbagai kalangan. Anggota DPR RI asal Aceh, Muslim Aiyub menyatakan dukungannya dan mengapresiasi langkah Kapolres Aceh Utara (serambinews.com, 31/01/18). Sementara itu, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) seperti dirilis lintasnasional.com (31/01/18) juga menyerahkan cindera mata berbentuk rencong kepada Kapolres Aceh Utara sebagai bentuk dukungannya.
Dukungan yang lebih luas datang dari ratusan ormas yang tergabung dalam Aliansi Pecinta Syariat Islam melalui aksi bela AKBP Untung Sangaji di depan Mesjid Raya Baiturrahman pada Jumat lalu (Serambi Indonesia, 03/02/18) yang terdiri dari 140 ormas. Tiba-tiba saja, akibat kesuksesannya dalam menangkap waria di Aceh Utara, Kapolres Untung pun dipuja-puji layaknya “bintang.”
Tanpa sadar sebagian masyarakat Aceh pun larut dalam “euforia”, layaknya serdadu yang baru memenangkan peperangan. Akibat “euforia” berlebihan ini, gerakan bullying pun tak dapat dibendung dengan munculnya ragam kecaman terhadap waria di media sosial. Tragisnya lagi, foto-foto penangkapan dan penggundulan waria pun tersebar liar di media sosial. Seiring dengan aksi bullying tersebut, muncul pula beberapa meme yang berisi pujian kepada Kapolres Untung.
Gerakan Penyadaran
Menyimak kasus yang terjadi di Aceh Utara, di satu sisi kita sepakat dengan tindakan Kapolres yang melakukan penertiban terhadap waria. Sebab perilaku LGBT bertentangan dengan syariat Islam yang sedang diterapkan di Aceh. Perilaku LGBT, seperti telah diulas di atas adalah sisa-sisa “tradisi” dari sebagian suku di zaman kuno yang tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai agama, tetapi juga merusak martabat kemanusiaan. Artinya, keberadaan LGBT memang tidak dapat dibenarkan dalam sudut pandang mana pun, termasuk dari sudut pandang kemanusiaan.
Jika diselisik, penolakan terhadap LGBT tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tapi semua agama menolak LGBT karena dianggap sebagai sebuah penyimpangan seksual yang tidak wajar. Jika LGBT dibiarkan maka akan menjadi ancaman bagi kemanusiaan itu sendiri.
Namun demikian, sebagai daerah yang tengah menerapkan syariat Islam, baiknya pola-pola penyelesaian persoalan LGBT juga dilakukan sesuai tuntunan syariat. Artinya aksi kekerasan dalam bentuk apapun harus dihindari, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal seperti aksi bullying.
Hal ini penting diperhatikan guna menutup celah serangan balik dari kalangan yang pro kepada LGBT. Jika penyelesaian LGBT dilakukan dengan pola-pola kekerasan tentunya akan memberi ruang bagi para pembela LGBT untuk kemudian menyudutkan umat Islam dengan dalil-dalil kemanusiaan.
Seperti telah kita lihat, khususnya melalui media sosial, aksi penggundulan terhadap LGBT dilakukan secara terbuka sehingga menjadi barang tontonan bagi khalayak. Hal ini inilah yang kemudian memunculkan aksi protes dari beberapa kalangan. Semestinya aksi penggundulan ini bisa dilakukan secara tertutup guna meredam aksi protes yang tentunya akan membuat keadaan semakin runyam. Dengan demikian, penegakan syariat Islam di Aceh akan menuai simpati dari semua pihak, bukan justru antipati.
Selain itu, aksi penertiban terhadap LGBT juga harus didasari oleh kesadaran syariat dan jangan dilatari oleh unsur-unsur politis. Kita meyakini bahwa masyarakat Aceh melakukan penolakan terhadap LGBT didasari oleh keyakinan agama, tapi tidak dapat dipungkiri jika kemudian ada sebagian pihak yang justru “mencari panggung” demi kepentingan politiknya.
Mengakhiri tulisan ini kita mengajak semua pihak untuk terus-menerus melakukan gerakan penyadaran agar generasi Aceh tidak terjebak dalam perilaku LGBT. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah terbit di Tabloid Pikiran Merdeka
loading...
Post a Comment