Polemik Istilah Kafir dan Non Muslim
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 04 Maret 2019
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Nahdatul Ulama (NU) di Jawa Barat beberapa waktu lalu terkait pergantian sebutan kafir menjadi non muslim telah menuai polemik dan kontroversi di Indonesia. Dalam Munas yang turut dihadiri oleh Presiden RI, Joko Widodo tersebut, selain mengharamkan praktik Multi Level Marketing (MLM), NU juga memutuskan menghapus sebutan kafir bagi non muslim di Indonesia. Penghapusan kata kafir ini dimaksudkan untuk menjaga persaudaraan antarsesama anak bangsa.
Pihak NU berdalih bahwa penggunaan kata kafir mengandung unsur kekerasan teologis terhadap penganut agama lain di Indonesia. Dalam pernyataannya Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, menyebut kata kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan suatu negara dan bangsa. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam konstitusi. Dia juga mendasarkan pemikirannya pada sejarah umat Islam di Madinah ketika Nabi masih hidup, di mana saat itu, menurut Aqil, Nabi tidak menggunakan istilah kafir kepada penganut agama lain.
Selain alasan-alasan yang dianggap memiliki landasan historis, tampaknya pihak NU juga mendasarkan pemikirannya pada kondisi Indonesia yang dihuni oleh berbagai pemeluk agama, di mana penggunaan istilah kafir dianggap akan melukai pemeluk agama lain dan melahirkan ketersinggungan sosial sehingga dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa. Bukan tidak mungkin kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong NU memberanikan diri “mengoreksi” istilah “sakral” dalam kitab suci al-Qur’an.
Dalam konteks sosio-religius, tindakan NU ini sama sekali tabu bagi mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia. Dengan demikian adalah lumrah saja ketika pemikiran “janggal” tersebut ditanggapi secara kontroversial atau bahkan ditolak mentah-mentah oleh sebagian umat Islam. Peliknya lagi, keputusan “nyeleneh” ini muncul di tengah hiruk-pikuk Pilpres yang semakin “panas” sehingga respons publik pun begitu menggelora dan sulit dibendung.
Kondisi semakin diperparah dengan keberpihakan politik beberapa tokoh kunci NU kepada petahana. Fakta ini tentunya akan berdampak pada semakin liarnya interpretasi publik terhadap gagasan NU tersebut.
Sebagai penyokong utama gagasan Islam Nusantara, bukan tidak mungkin NU ingin mengembangkan satu konsep Keislaman yang khas dan berbeda dari komunitas muslim lainnya.
Kuat dugaan, pemikiran NU terkait tidak relevannya penggunaan kata kafir dalam konteks negara bangsa adalah sebuah langkah untuk melahirkan konsep Islam toleran menurut versi mereka sendiri, di mana penggunaan kata kafir yang diyakini mengandung unsur kekerasan teologis dianggap dapat merusak cita-cita tersebut. Atau dengan kata lain, mungkin ada sejenis keyakinan di kalangan NU, bahwa penyebutan kafir kepada penganut agama lain dapat menjadi embrio munculnya radikalisme di kalangan umat Islam.
Kekerasan Teologis
Dalam perspektif teologis, setiap agama tentu memiliki cara pandang sendiri dalam melihat keberadaan pemeluk agama lain yang diidentifikasikan dalam istilah tertentu guna membedakan antara “kita” dan “mereka.” Dalam Islam perbedaan ini diwujudkan dalam sebutan “kafir” kepada siapa saja yang tidak menerima atau ingkar terhadap kebenaran ajaran Islam. Secara sederhana istilah “kafir” di sini dimaknai sebagai orang-orang yang ingkar dan tidak menerima Islam.
Penggunaan istilah semisal kafir ini tentunya tidak hanya berlaku dalam ajaran Islam, tetapi juga terdapat dalam ajaran agama lain. Dalam ajaran Kristen misalnya juga terdapat sebutan “domba tersesat” kepada siapa saja yang tidak menerima ajaran keimanan mereka.
Demikian pula dengan agama-agama lain pun memiliki istilah yang nyaris serupa meskipun dalam redaksi berbeda, di mana istilah tersebut dimaksudkan sebagai pembeda antara penganut ajaran yang satu dengan penganut ajaran lain.
Merujuk pada kenyataan ini adalah tidak tepat jika sebutan-sebutan tersebut kemudian diinterpretasikan sebagai bentuk kekerasan teologis yang dapat melukai penganut agama lain.
Kenyataannya pemeluk agama selain Islam tidak merasa keberatan dengan istilah kafir yang ditujukan kepada mereka, sebab mereka paham bahwa kata kafir tersebut adalah bentuk penegasan bahwa mereka bukan bagian dari penganut Islam. Sama halnya dengan umat Islam, mereka pun tidak akan tersinggung dengan sebutan “domba sesat” oleh penganut Kristen, sebab mereka paham jika istilah tersebut adalah bentuk penegasan bahwa mereka bukanlah penganut Kristen.
Lagi pula sebagaimana telah kita lihat, penggunaan istilah kafir atau yang serupa dengannya hanya terjadi dalam konteks keimanan, bukan pada realitas kehidupan sosial.
Sejauh ini, khususnya di Indonesia belum ditemukan kasus penyerangan gereja hanya karena umat Kristen menyebut domba untuk selain mereka. Tidak pula pernah terjadi penyerangan masjid oleh non muslim karena penyebutan kata kafir. Dalam kehidupan sosial, semua pemeluk agama bisa hidup rukun meskipun penganut agama yang satu menganggap pemeluk agama lain sebagai “berbeda.” Ada pun beberapa kasus intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia sama sekali bukan disebabkan oleh faktor istilah kafir atau sejenisnya.
Dengan demikian “dalil” yang digunakan NU untuk menghapuskan kata kafir karena dianggap mengandung kekerasan teologis sama sekali bertentangan dengan realitas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Ada pun usulan untuk menggunakan istilah non muslim pada prinsipnya masih bisa diterima dan bahkan telah digunakan jauh sebelum polemik ini muncul.
Namun demikian, penggunaan kata non muslim kepada penganut agama lain tidak secara serta merta harus dibarengi dengan penghapusan kata kafir.
Dalam konteks teologis kata kafir sama sekali tidak bisa diamendemen karena ia dapat berdampak pada kaburnya batas-batas dari identitas keagamaan. Setiap agama memiliki aspek keyakinan subjektif masing-masing yang tidak bisa diralat dan justru harus dihargai. Dan, kata kafir berada dalam domain keyakinan dari ajaran agama itu sendiri.
Ilustrasi: halmasryalyoum.com |
Bireuen, 04 Maret 2019
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Nahdatul Ulama (NU) di Jawa Barat beberapa waktu lalu terkait pergantian sebutan kafir menjadi non muslim telah menuai polemik dan kontroversi di Indonesia. Dalam Munas yang turut dihadiri oleh Presiden RI, Joko Widodo tersebut, selain mengharamkan praktik Multi Level Marketing (MLM), NU juga memutuskan menghapus sebutan kafir bagi non muslim di Indonesia. Penghapusan kata kafir ini dimaksudkan untuk menjaga persaudaraan antarsesama anak bangsa.
Pihak NU berdalih bahwa penggunaan kata kafir mengandung unsur kekerasan teologis terhadap penganut agama lain di Indonesia. Dalam pernyataannya Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, menyebut kata kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan suatu negara dan bangsa. Menurutnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam konstitusi. Dia juga mendasarkan pemikirannya pada sejarah umat Islam di Madinah ketika Nabi masih hidup, di mana saat itu, menurut Aqil, Nabi tidak menggunakan istilah kafir kepada penganut agama lain.
Selain alasan-alasan yang dianggap memiliki landasan historis, tampaknya pihak NU juga mendasarkan pemikirannya pada kondisi Indonesia yang dihuni oleh berbagai pemeluk agama, di mana penggunaan istilah kafir dianggap akan melukai pemeluk agama lain dan melahirkan ketersinggungan sosial sehingga dapat merusak tatanan kehidupan berbangsa. Bukan tidak mungkin kekhawatiran inilah yang kemudian mendorong NU memberanikan diri “mengoreksi” istilah “sakral” dalam kitab suci al-Qur’an.
Dalam konteks sosio-religius, tindakan NU ini sama sekali tabu bagi mayoritas umat Islam, khususnya di Indonesia. Dengan demikian adalah lumrah saja ketika pemikiran “janggal” tersebut ditanggapi secara kontroversial atau bahkan ditolak mentah-mentah oleh sebagian umat Islam. Peliknya lagi, keputusan “nyeleneh” ini muncul di tengah hiruk-pikuk Pilpres yang semakin “panas” sehingga respons publik pun begitu menggelora dan sulit dibendung.
Kondisi semakin diperparah dengan keberpihakan politik beberapa tokoh kunci NU kepada petahana. Fakta ini tentunya akan berdampak pada semakin liarnya interpretasi publik terhadap gagasan NU tersebut.
Sebagai penyokong utama gagasan Islam Nusantara, bukan tidak mungkin NU ingin mengembangkan satu konsep Keislaman yang khas dan berbeda dari komunitas muslim lainnya.
Kuat dugaan, pemikiran NU terkait tidak relevannya penggunaan kata kafir dalam konteks negara bangsa adalah sebuah langkah untuk melahirkan konsep Islam toleran menurut versi mereka sendiri, di mana penggunaan kata kafir yang diyakini mengandung unsur kekerasan teologis dianggap dapat merusak cita-cita tersebut. Atau dengan kata lain, mungkin ada sejenis keyakinan di kalangan NU, bahwa penyebutan kafir kepada penganut agama lain dapat menjadi embrio munculnya radikalisme di kalangan umat Islam.
Kekerasan Teologis
Dalam perspektif teologis, setiap agama tentu memiliki cara pandang sendiri dalam melihat keberadaan pemeluk agama lain yang diidentifikasikan dalam istilah tertentu guna membedakan antara “kita” dan “mereka.” Dalam Islam perbedaan ini diwujudkan dalam sebutan “kafir” kepada siapa saja yang tidak menerima atau ingkar terhadap kebenaran ajaran Islam. Secara sederhana istilah “kafir” di sini dimaknai sebagai orang-orang yang ingkar dan tidak menerima Islam.
Penggunaan istilah semisal kafir ini tentunya tidak hanya berlaku dalam ajaran Islam, tetapi juga terdapat dalam ajaran agama lain. Dalam ajaran Kristen misalnya juga terdapat sebutan “domba tersesat” kepada siapa saja yang tidak menerima ajaran keimanan mereka.
Demikian pula dengan agama-agama lain pun memiliki istilah yang nyaris serupa meskipun dalam redaksi berbeda, di mana istilah tersebut dimaksudkan sebagai pembeda antara penganut ajaran yang satu dengan penganut ajaran lain.
Merujuk pada kenyataan ini adalah tidak tepat jika sebutan-sebutan tersebut kemudian diinterpretasikan sebagai bentuk kekerasan teologis yang dapat melukai penganut agama lain.
Kenyataannya pemeluk agama selain Islam tidak merasa keberatan dengan istilah kafir yang ditujukan kepada mereka, sebab mereka paham bahwa kata kafir tersebut adalah bentuk penegasan bahwa mereka bukan bagian dari penganut Islam. Sama halnya dengan umat Islam, mereka pun tidak akan tersinggung dengan sebutan “domba sesat” oleh penganut Kristen, sebab mereka paham jika istilah tersebut adalah bentuk penegasan bahwa mereka bukanlah penganut Kristen.
Lagi pula sebagaimana telah kita lihat, penggunaan istilah kafir atau yang serupa dengannya hanya terjadi dalam konteks keimanan, bukan pada realitas kehidupan sosial.
Sejauh ini, khususnya di Indonesia belum ditemukan kasus penyerangan gereja hanya karena umat Kristen menyebut domba untuk selain mereka. Tidak pula pernah terjadi penyerangan masjid oleh non muslim karena penyebutan kata kafir. Dalam kehidupan sosial, semua pemeluk agama bisa hidup rukun meskipun penganut agama yang satu menganggap pemeluk agama lain sebagai “berbeda.” Ada pun beberapa kasus intoleransi yang pernah terjadi di Indonesia sama sekali bukan disebabkan oleh faktor istilah kafir atau sejenisnya.
Dengan demikian “dalil” yang digunakan NU untuk menghapuskan kata kafir karena dianggap mengandung kekerasan teologis sama sekali bertentangan dengan realitas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Ada pun usulan untuk menggunakan istilah non muslim pada prinsipnya masih bisa diterima dan bahkan telah digunakan jauh sebelum polemik ini muncul.
Namun demikian, penggunaan kata non muslim kepada penganut agama lain tidak secara serta merta harus dibarengi dengan penghapusan kata kafir.
Dalam konteks teologis kata kafir sama sekali tidak bisa diamendemen karena ia dapat berdampak pada kaburnya batas-batas dari identitas keagamaan. Setiap agama memiliki aspek keyakinan subjektif masing-masing yang tidak bisa diralat dan justru harus dihargai. Dan, kata kafir berada dalam domain keyakinan dari ajaran agama itu sendiri.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment