Kebijakan Politik India dan Konflik Sektarian
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 3 Maret 2020
Belum lama ini, di tengah hiruk-pikuk penyebaran virus Corona di China, kita juga dikejutkan dengan aksi penyerangan terhadap Muslim India yang kabarnya dilakukan oleh aktvis Hindu radikal yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban, khususnya dari kelompok Muslim. Seperti dikabarkan media, konflik ini diawali oleh kebijakan politik pemerintah India yang melakukan amandemen terhadap UU Kewarganegaraan.
UU baru tersebut diamandemen dari UU Kewarganegaraan tahun 1955 yang kemudian perubahannya disahkan pada 12 Desember 2019. Kabarnya, sebelum diamandemen, UU ini menjadi dasar hukum untuk memenjara atau mendeportasi seluruh imigran ilegal tanpa melihat agama mereka. Artinya, UU lama benar-benar berpegang pada prinsip “sekular” dan sama sekali tidak mengatur soal agama para imigran, di mana seluruh imigran dilarang menjadi warga negara India, tanpa melihat agama mereka. Dalam hal ini, UU lama tentunya lebih moderat dan bisa diterima oleh semua pihak, karena yang menjadi sasaran UU adalah imigran ilegal, bukan penganut agama tertentu.
Namun sayangnya, UU yang diamandemen tersebut kemudian berubah menjadi diskriminatif terhadap penganut agama tertentu, dalam hal ini agama Islam. Dalam UU yang baru disebutkan bahwa pemerintah India akan mempercepat pemberian kewarganegaraan untuk warga dari enam agama seperti Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi dan Kristen dengan syarat para imigran dimaksud berasal dari negera tetangga India seperti Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan yang datang ke India sebelum tahun 2015.
Menurut beberapa sumber seperti dikutip sejumlah media, dalam UU baru tersebut, pemerintah India tidak mencatumkan agama Islam sebagai agama bagi imigran yang diperbolehkan menjadi warga negara. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan protes dari Muslim India karena UU tersebut terkesan diskriminatif. Secara tegas terlihat bahwa UU baru ini telah menjadikan agama sebagai dasar bagi kewarganeraaan seseorang, di mana agama Islam dikecualikan dari cakupan UU. Padahal, UU sebelumnya tidak pernah menjadikan agama sebagai syarat kewarganegaraan. Akibatnya beberapa pengamat menyebut pemerintahan India saat ini sudah meninggalkan prinsip “sekular” dan melangkah pada prinsip negara “teokratis” dengan menjadikan agama sebagai landasan.
Di India sendiri UU baru ini ditentang oleh kelompok oposisi. Aksi penolakan juga datang dari sejumlah masyarakat India dengan cara melakukan demonstrasi. Seperti dicatat merdeka.com, ribuan orang termasuk mahasiswa di Universitas Jamia Millia Islamia melakukan unjuk rasa menentang UU baru tersebut. Bahkan kabarnya Badan Hak Asasi Manusia PBB juga turut menyuarakan keprihatinan atas UU Kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif terhadap Muslim.
Insiden paling memilukan seperti dirilis Kompas.com, terjadi pada akhir Februari dengan pecahnya kerusuhan di New Delhi yang menewaskan 42 orang. Bentrokan tersebut mengalami eskalasi ketika Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berkunjung selama dua hari. Kejadian berawal ketika kelompok pendukung UU memprotes blokade dari massa penentang. Tak lama kemudian, aksi pelemparan batu terjadi dan kekerasan sektarian pun dimulai sehingga korban berjatuhan.
Kegaduhan di India semakin memuncak dan meluas pasca adanya keinginan dari Pemerintah untuk menerbitkan Daftar Warga Negara Nasional (NRC) yang akan diberlakukan di seluruh negeri. Daftar tersebut akan mencakup para imigran gelap yang tidak mengantongi dokumen sebagai bukti bahwa nenek moyang mereka tinggal di India. BBC.com mengabarkan bahwa Daftar Warga Negara Nasional yang sudah diterbitkan di Negara Bagian Assam telah membuat sekitar 1,9 juta orang masuk dalam dalam daftar tidak memiliki kewarganegaraan.
Dalam kekalutan itu, Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang didukung oleh nasionalis Hindu justru menampik tuduhan diskriminatif dalam UU Kewarganegaraan yang baru disahkan tersebut. Modi menuduh musuh-musuh politiknya telah menyebarkan kebohongan sehingga menimbulkan protes di India. Menurutnya, Muslim tidak perlu cemas dengan UU tersebut karena Muslim yang lahir di wilayah India atau bernenek-moyang India tidak tercakup dalam bahasan UU dimaksud.
Modi juga mempertegas bahwa UU Kewarganegaraan bermaksud memberikan amnesti kepada pendatang ilegal dari negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan dengan syarat mereka bukan Muslim, tapi mereka harus berasal dari kelompok minoritas di negara asal mereka, sementara agama mayoritas di tiga negara tetangga tersebut adalah Islam. Modi juga berdalih ingin membantu korban yang dipersekusi di negara asal mereka.
Namun demikian, pembelaan Modi ini menjadi kontradiktif jika dikaitkan dengan persekusi yang dialami oleh etnis Rohingya, di mana mereka juga menjadi minoritas di negara asal. Seharusnya, jika konsisten, Modi juga mesti memberi perlindungan kepada mereka untuk bisa menjadi warga negara India, meskipun mereka beragama Islam, sebab yang menjadi standar dari UU tersebut adalah minoritas di negara asal.
Jika dilihat lebih jauh, Modi sendiri dalam karier politiknya pernah dianggap terlibat dalam kematian lebih dari seribu Muslim di India pada 2002, ketika ia menjabat sebagai Menteri Besar di Gujarat. Menurut sejumlah sumber, Modi dianggap bertanggungjawab atas tragedi itu dan bahkan ia dituding membiarkan kekerasan terjadi. Namun sayangnya pengadilan tidak berhasil membuktikan keterlibatan Modi sehingga ia pun terbebas dari tuntutan hukum. Kenyataan ini seolah memberi kesan bahwa hubungan Narendra Modi dengan komunitas Muslim India memang terbilang renggang sehingga potensi diskriminasi pun terbuka lebar.
Selain itu, dilihat dari perspektif sosilogis, munculnya ketegangan di India yang melibatkan nasionalis Hindu juga dilatari oleh faktor budaya dan identitas. Dengan kata lain, seperti dilansir sejumlah media, ada kekhawatiran dari penduduk beragama Hindu bahwa imigran Muslim akan menguasai tanah mereka dan kemudian juga berpotensi mengganggu lahan pekerjaan mereka. Bukan tidak mungkin, Modi “sengaja” memanfaatkan kondisi ini untuk memperteguh keberadaan nasionalisme Hindu di India sehingga ia pun melakukan amandemen UU yang dianggap bisa meminimalisasi pengaruh Muslim di India.
Sikap Negara Muslim
Sejauh ini belum ada satu pun negara Muslim di dunia yang tampak serius menyikapi insiden di India. Salah satu alasan klasik yang menjadi pertimbangan diamnya negara-negara Muslim adalah karena hal tersebut dianggap sebagai persoalan domestik. Jika dicermati, persoalan UU dan amandemen UU memang persoalan domestik, tapi kekerasan terhadap Muslim di sana tentunya tidak bisa dianggap sebagai hanya soal domestik belaka, karena soal kemanusian adalah persoalan umat manusia yang melintasi negara dan kebudayaan.
Selain itu, kegaduhan di India tidak bisa dilihat secara parsial bahwa insiden di sana hanya dilatari oleh ketegangan sosial politik. Dengan kata lain, isu agama juga bermain di sana, di mana Muslim menjadi sasaran kekerasan – yang dengan demikian potensi “huru-hara” sektarian di masa depan akan semakin terbuka. Karena itu, sudah seharusnya negara-negara Muslim menunjukkan solidaritasnya terhadap nasib umat Islam di India. Mungkin Indonesia bisa memulai aksi solidaritas ini.
Ilustrasi: AA |
Bireuen, 3 Maret 2020
Belum lama ini, di tengah hiruk-pikuk penyebaran virus Corona di China, kita juga dikejutkan dengan aksi penyerangan terhadap Muslim India yang kabarnya dilakukan oleh aktvis Hindu radikal yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban, khususnya dari kelompok Muslim. Seperti dikabarkan media, konflik ini diawali oleh kebijakan politik pemerintah India yang melakukan amandemen terhadap UU Kewarganegaraan.
UU baru tersebut diamandemen dari UU Kewarganegaraan tahun 1955 yang kemudian perubahannya disahkan pada 12 Desember 2019. Kabarnya, sebelum diamandemen, UU ini menjadi dasar hukum untuk memenjara atau mendeportasi seluruh imigran ilegal tanpa melihat agama mereka. Artinya, UU lama benar-benar berpegang pada prinsip “sekular” dan sama sekali tidak mengatur soal agama para imigran, di mana seluruh imigran dilarang menjadi warga negara India, tanpa melihat agama mereka. Dalam hal ini, UU lama tentunya lebih moderat dan bisa diterima oleh semua pihak, karena yang menjadi sasaran UU adalah imigran ilegal, bukan penganut agama tertentu.
Namun sayangnya, UU yang diamandemen tersebut kemudian berubah menjadi diskriminatif terhadap penganut agama tertentu, dalam hal ini agama Islam. Dalam UU yang baru disebutkan bahwa pemerintah India akan mempercepat pemberian kewarganegaraan untuk warga dari enam agama seperti Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi dan Kristen dengan syarat para imigran dimaksud berasal dari negera tetangga India seperti Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan yang datang ke India sebelum tahun 2015.
Menurut beberapa sumber seperti dikutip sejumlah media, dalam UU baru tersebut, pemerintah India tidak mencatumkan agama Islam sebagai agama bagi imigran yang diperbolehkan menjadi warga negara. Fakta inilah yang kemudian menimbulkan protes dari Muslim India karena UU tersebut terkesan diskriminatif. Secara tegas terlihat bahwa UU baru ini telah menjadikan agama sebagai dasar bagi kewarganeraaan seseorang, di mana agama Islam dikecualikan dari cakupan UU. Padahal, UU sebelumnya tidak pernah menjadikan agama sebagai syarat kewarganegaraan. Akibatnya beberapa pengamat menyebut pemerintahan India saat ini sudah meninggalkan prinsip “sekular” dan melangkah pada prinsip negara “teokratis” dengan menjadikan agama sebagai landasan.
Di India sendiri UU baru ini ditentang oleh kelompok oposisi. Aksi penolakan juga datang dari sejumlah masyarakat India dengan cara melakukan demonstrasi. Seperti dicatat merdeka.com, ribuan orang termasuk mahasiswa di Universitas Jamia Millia Islamia melakukan unjuk rasa menentang UU baru tersebut. Bahkan kabarnya Badan Hak Asasi Manusia PBB juga turut menyuarakan keprihatinan atas UU Kewarganegaraan India yang dinilai diskriminatif terhadap Muslim.
Insiden paling memilukan seperti dirilis Kompas.com, terjadi pada akhir Februari dengan pecahnya kerusuhan di New Delhi yang menewaskan 42 orang. Bentrokan tersebut mengalami eskalasi ketika Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berkunjung selama dua hari. Kejadian berawal ketika kelompok pendukung UU memprotes blokade dari massa penentang. Tak lama kemudian, aksi pelemparan batu terjadi dan kekerasan sektarian pun dimulai sehingga korban berjatuhan.
Kegaduhan di India semakin memuncak dan meluas pasca adanya keinginan dari Pemerintah untuk menerbitkan Daftar Warga Negara Nasional (NRC) yang akan diberlakukan di seluruh negeri. Daftar tersebut akan mencakup para imigran gelap yang tidak mengantongi dokumen sebagai bukti bahwa nenek moyang mereka tinggal di India. BBC.com mengabarkan bahwa Daftar Warga Negara Nasional yang sudah diterbitkan di Negara Bagian Assam telah membuat sekitar 1,9 juta orang masuk dalam dalam daftar tidak memiliki kewarganegaraan.
Dalam kekalutan itu, Perdana Menteri India, Narendra Modi, yang didukung oleh nasionalis Hindu justru menampik tuduhan diskriminatif dalam UU Kewarganegaraan yang baru disahkan tersebut. Modi menuduh musuh-musuh politiknya telah menyebarkan kebohongan sehingga menimbulkan protes di India. Menurutnya, Muslim tidak perlu cemas dengan UU tersebut karena Muslim yang lahir di wilayah India atau bernenek-moyang India tidak tercakup dalam bahasan UU dimaksud.
Modi juga mempertegas bahwa UU Kewarganegaraan bermaksud memberikan amnesti kepada pendatang ilegal dari negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Pakistan dan Afghanistan dengan syarat mereka bukan Muslim, tapi mereka harus berasal dari kelompok minoritas di negara asal mereka, sementara agama mayoritas di tiga negara tetangga tersebut adalah Islam. Modi juga berdalih ingin membantu korban yang dipersekusi di negara asal mereka.
Namun demikian, pembelaan Modi ini menjadi kontradiktif jika dikaitkan dengan persekusi yang dialami oleh etnis Rohingya, di mana mereka juga menjadi minoritas di negara asal. Seharusnya, jika konsisten, Modi juga mesti memberi perlindungan kepada mereka untuk bisa menjadi warga negara India, meskipun mereka beragama Islam, sebab yang menjadi standar dari UU tersebut adalah minoritas di negara asal.
Jika dilihat lebih jauh, Modi sendiri dalam karier politiknya pernah dianggap terlibat dalam kematian lebih dari seribu Muslim di India pada 2002, ketika ia menjabat sebagai Menteri Besar di Gujarat. Menurut sejumlah sumber, Modi dianggap bertanggungjawab atas tragedi itu dan bahkan ia dituding membiarkan kekerasan terjadi. Namun sayangnya pengadilan tidak berhasil membuktikan keterlibatan Modi sehingga ia pun terbebas dari tuntutan hukum. Kenyataan ini seolah memberi kesan bahwa hubungan Narendra Modi dengan komunitas Muslim India memang terbilang renggang sehingga potensi diskriminasi pun terbuka lebar.
Selain itu, dilihat dari perspektif sosilogis, munculnya ketegangan di India yang melibatkan nasionalis Hindu juga dilatari oleh faktor budaya dan identitas. Dengan kata lain, seperti dilansir sejumlah media, ada kekhawatiran dari penduduk beragama Hindu bahwa imigran Muslim akan menguasai tanah mereka dan kemudian juga berpotensi mengganggu lahan pekerjaan mereka. Bukan tidak mungkin, Modi “sengaja” memanfaatkan kondisi ini untuk memperteguh keberadaan nasionalisme Hindu di India sehingga ia pun melakukan amandemen UU yang dianggap bisa meminimalisasi pengaruh Muslim di India.
Sikap Negara Muslim
Sejauh ini belum ada satu pun negara Muslim di dunia yang tampak serius menyikapi insiden di India. Salah satu alasan klasik yang menjadi pertimbangan diamnya negara-negara Muslim adalah karena hal tersebut dianggap sebagai persoalan domestik. Jika dicermati, persoalan UU dan amandemen UU memang persoalan domestik, tapi kekerasan terhadap Muslim di sana tentunya tidak bisa dianggap sebagai hanya soal domestik belaka, karena soal kemanusian adalah persoalan umat manusia yang melintasi negara dan kebudayaan.
Selain itu, kegaduhan di India tidak bisa dilihat secara parsial bahwa insiden di sana hanya dilatari oleh ketegangan sosial politik. Dengan kata lain, isu agama juga bermain di sana, di mana Muslim menjadi sasaran kekerasan – yang dengan demikian potensi “huru-hara” sektarian di masa depan akan semakin terbuka. Karena itu, sudah seharusnya negara-negara Muslim menunjukkan solidaritasnya terhadap nasib umat Islam di India. Mungkin Indonesia bisa memulai aksi solidaritas ini.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment