Koruptor, Manusia “Bejat”


Oleh: Khairil Miswar

Foto: bbc.co.uk

Bireuen, 20 September 2017



Korupsi adalah masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini dan juga bangsa mana pun. Perilaku koruptif tidak hanya merugikan negara sebagai institusi kolektif, tetapi perilaku dimaksud juga merusak tatanan kehidupan sosial ekonomi warga negara dan bahkan korupsi juga turut menghancurkan moral individu pelaku itu sendiri.

Secara normatif, perilaku koruptif tidak hanya dilarang oleh konstitusi, tetapi ia juga dikecam oleh agama mana pun. Tidak ada satu pun dalil dan logika yang dapat digunakan untuk menjustifikasi perilaku koruptif, karena ia adalah sebuah wujud kebejatan moral dan sebuah penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Seorang koruptor tidak hanya menjadi musuh negara, tetapi ia juga musuh dari kemanusiaan itu sendiri.

Indonesia sebagai salah satu negara yang masyarakatnya hidup dalam peradaban ketimuran yang cenderung relegius dan mengamalkan nilai-nilai etik, menjaga kesantunan serta menjujung tinggi moralitas pun tak lepas dari bencana korupsi. Masyarakat Indonesia yang dikenal religius ternyata belum mampu mengejawantahkan ajaran agama dalam praktik sosial.

Agama masih terbatas pada simbol dan identitas belaka. Seperti disebut Madung (2013), maraknya korupsi di tengah pesatnya perkembangan agama di Indonesia adalah salah satu bukti konkret bahwa agama masih dihayati sebagai ritus kesalehan privat dan belum menjadi kekuatan moral di ruang publik.

Di sisi lain, pergantian orde dan bertukarnya masa ternyata belum mampu membasmi tindakan koruptif sebagaimana diimpikan anak negeri. Sampai dengan detik ini, korupsi belum mati dan tampaknya tidak akan pernah mati. Ia akan terus hidup dan berevolusi berganti rupa dari satu wujud ke wujud yang lain.

Perilaku koruptif telah menemukan wujudnya pada awal-awal kemerdekaan di bawah asuhan Orde Lama. Dan ketika Orde Lama tumbang, perilaku koruptif ternyata kembali dilanjutkan oleh Orde Baru dengan pola yang lebih modern. Dalam sejarah panjangnya, Orde Baru telah sukses menyemai bibit korupsi dengan sangat sistematis dan melahirkan kader-kader koruptor yang cukup profesional. Di bawah asuhan Orde Baru, korupsi menjadi penyakit akut karena berlangsung sistematis dan terpusat di bawah kepemimpinan politik “diktator.”

Runtuhnya Orde Baru pada 1998 telah melahirkan babak baru bagi Indonesia. Kepemimpinan rezim otoriter koruptif pun berganti dengan Orde Reformasi, sebuah orde yang diharapkan mampu membawa Indonesia ke puncak kejayaan dengan membasmi praktik korupsi sampai ke akar-akarnya. Tapi, realitasnya kelahiran Orde Reformasi hanya terbatas pada euforia demokrasi dan kebebasan, sedangkan aspek moral masih menjadi persoalan serius yang tak terurus dan bahkan nyaris tak tersentuh.

Bergulirnya reformasi hampir dua dekade ternyata belum mampu meredam perilaku koruptif dan bahkan kian merajalela. Meskipun Soeharto telah lengser dari kekuasaan, praktik korupsi masih saja diwarisi oleh sebagian anak bangsa dan bahkan terus dimodifikasi sehingga berlangsung masif. Jika pada masa Soeharto korupsi dilakukan terpusat, saat ini gerakan korupsi justru semakin luas dan terdistribusi sampai ke pelosok daerah. Korupsi di era reformasi terus beranak pinak di bawah kendali “dinasti” pemerintah daerah dan melibatkan sejumlah oknum secara berjamaah. Di titik ini, korupsi telah menemukan wujud baru dari tindakan personal menjadi “gerakan massal” yang kian masif.

Pada 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) telah memetakan kasus korupsi di Indonesia sejak periode Januari 2016 sampai Juni 2016, di mana sepanjang periode tersebut, sebanyak 210 kasus ditangani dan 500 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh 3 institusi penegak hukum (detik.com, 28/08/16). Mahkamah Agung juga memaparkan jumlah perkara korupsi di lembaga peradilan sepanjang 2016 yang mencapai 453 perkara dan menempati urutan kedua setelah kasus narkotik. Perkara korupsi kali ini tak hanya menjerat pejabat namun juga pegawai peradilan yang notabene adalah penegak hukum. MA mencatat bahwa selama 2016, setidaknya 13 pegawai peradilan mulai dari hakim, panitera, hingga staf pengadilan diduga terlibat suap (cnnindonesia.com, 29/12/16).

Beberapa waktu lalu, Indonesia kembali geger dengan terbongkarnya kasus korupsi E-KTP dengan anggaran yang cukup fantastis, 5,9 triliun. Kasus ini dikabarkan telah melibatkan banyak pihak, di mana puluhan anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 disebut-sebut menerima fee. Peneliti ICW seperti dilansir detik.com (11,03/17) menyebut kasus E-KTP sebagai salah satu kasus terbesar yang pernah ditangani KPK.

Baru-baru ini, KPK sudah tiga kali menangkap beberapa kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi. Sebagian kalangan menyebut kasus OTT yang menimpa beberapa kepala daerah sebagai bentuk “kegagalan” Mendagri dalam melakukan pengawasan sehingga terdengar suara sumbang agar Tjahyo Kumolo mengundurkan diri.

Minus Moral

Secara psikologis, perilaku koruptif tidak hanya disebabkan oleh faktor kesempatan dan kebutuhan, tetapi juga ditunjang oleh kondisi mental si pelaku itu sendiri. Kegemaran mengambil yang bukan haknya, baik dalam kehidupan keluarga dan lingkungan kerja, misalnya, akan mendorong seseorang untuk berperilaku koruptif.

Perilaku koruptif tidak muncul tiba-tiba, tapi ia berproses dari tindakan-tindakan kecil dalam lingkungan yang terbatas dan kemudian kesuksesan-kesuksesan melakukan tindakan korupsi dalam skala kecil tersebut akan melahirkan motivasi bagi si pelaku untuk melakukan tindakan korupsi yang lebih besar.

Perilaku koruptif salah satunya disebabkan oleh kondisi mental yang minus moral sehingga penanganannya tidak akan pernah tuntas jika hanya menggunakan pendekatan hukum, tetapi juga dibutuhkan pendekatan psikologis, sosiologis dan pendekatan keagamaan.

Namun demikian, pendekatan-pendekatan dimaksud tentunya tidak mungkin diterapkan kepada mereka-mereka yang memang telah memilih jalan hidup sebagai koruptor. Seperti kata HAMKA, “Jika kita tidak mampu mengubah perilaku generasi hari ini yang sudah cenderung rusak, maka kita harus berusaha mengubah perilaku para pemuda agar mereka tidak ikut rusak di kemudian hari.”

Korupsi adalah sebuah petaka, saya yakin kita semua sepakat dengan statemen ini. Oleh sebab demikian, maka tugas terbesar generasi hari ini adalah menciptakan sebuah kondisi sosial yang bebas dari korupsi agar generasi muda terhindar, dan bahkan membenci perilaku koruptif.

Harus ditumbuhkan kesadaran kepada generasi muda bahwa tindakan korupsi adalah perbuatan yang sangat hina dan bahkan menjijikkan. Ditinjau dari sudut pandang moral, korupsi sama hinanya dengan perbuatan zina, dan bahkan tindakan korupsi memiliki daya rusak yang lebih luas, tidak hanya individu pelaku, tapi juga mengorbankan masa depan seluruh anak bangsa.

Mari bergerak lawan korupsi!

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan 



loading...

No comments