Tragedi Samalanga dan Runtuhnya Ke’arifan
Oleh: Khairil Miswar
Sumber Foto: superiorglove.com |
Bireuen, 23 Oktober 2017
Area Masjid Taqwa Muhammadiyah di Sangso Samalanga dibakar OTK. Demikian tajuk berita beberapa media online di Aceh. Kabar pembakaran area masjid ini pun berembus cepat berkat bantuan media sosial. Beberapa foto pembakaran juga beredar luas tak terbendung. Hampir semua netizen menjadi reporter yang bergerak cepat layaknya jurnalis andal.
Akibat tragedi tersebut, berbagai tanggapan pun bermunculan sehingga membelah para komentator pada dua kutub yang saling bertentangan. Di media sosial, beberapa akun terlihat “mendukung” pembakaran masjid milik salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Sementara, beberapa akun facebook milik kader Muhammadiyah terlihat melakukan “perlawanan” dan meminta kepada penegak hukum agar menangkap para pelaku – yang baik sadar atau pun tidak telah melakukan kesalahan “terbesar” dalam hidupnya dengan membakar rumah ibadah – tempat para hamba bermunajat kepada Tuhannya.
Uniknya lagi, sebagian kalangan justru terlihat mencoba mengalihkan perdebatan terkait aksi pembakaran yang notabene adalah kriminal ke dalam perdebatan “semantik.” Pola ini dapat terbaca dengan jelas ketika beberapa netizen mencoba mengingkari tindakan pembakaran masjid dengan menyebut “tidak ada pembakaran mesjid”, tapi hanya pembakaran “tiang masjid” dan “rangkang.”
Secara psikologis, pola pengalihan ini dapat diasumsikan sebagai upaya meredam aksi protes dari kader Muhammadiyah yang terlihat gencar. Namun demikian, pola ini justru mempertegas telah terjadinya tindakan kriminal, sehingga bukannya redam, gerak protes pun semakin meluas.
Strategi debat semantik ini menjadi tidak efektif dalam menurunkan tensi protes dari Muhammadiyah. Lagi pula debat semantik ini terlihat tidak menarik sebab menyalahi logika umum. Artinya, jika membakar masjid dianggap sebagai sebuah kejahatan, maka membakar bagian-bagian tertentu dari masjid seperti tiang, dinding, atap, lantai atau bahkan gembok sekali pun adalah kejahatan serupa.
Untuk itu kita tidak perlu terjebak dalam red herring (kerancuan logika). Mengingkari pembakaran masjid hanya karena masjidnya belum selesai dibangun adalah sebuah delusi.
Kondisi ini sama saja seperti seorang penjahat yang berteriak di pengadilan bahwa dia tidak memukul korban, tapi hanya mematahkan tangannya. Sama pula dengan kesaksian seseorang yang mengingkari telah membunuh manusia dan mengaku hanya membunuh bayi. Dengan demikian, pola debat semantik yang coba ditawarkan oleh sebagian oknum guna menjustifikasi aksi pembakaran di Samalanga lebih tepat disebut sebagai lelucon yang tak lucu.
Muhammadiyah di Aceh
Tragedi yang menimpa areal Mesjid Taqwa di Samalanga seolah mengantarkan sebuah pesan sederhana bahwa Muhammadiyah ditolak di Aceh. Tesis ini turut diperkuat dengan tragedi sebelumnya yang menimpa Mesjid Taqwa Muhammadiyah di Juli yang juga sempat memantik ketegangan. Tapi, dalam tinjauan historis, tesis ini tidak sepenuhnya benar. Artinya, penolakan terhadap Muhammadiyah hanya dilakukan oleh segelintir oknum, bukan konsensus masyarakat Aceh secara kolektif.
Muhammadiyah telah melebarkan sayapnya ke Aceh sejak era 1920an di kawasan Aceh Selatan. Muhammadiyah masuk ke Aceh melalui para pendatang dari Sumatera Barat dan juga hasil usaha pelajar-pelajar Aceh yang menuntut ilmu di tanah Padang. Pada tahun 1930an seperti dicatat Ismail Suny (1982), cabang Muhammadiyah juga telah berdiri di Labuhan Haji.
Secara resmi, Konsul Pertama Muhammadiyah di Aceh dijabat oleh Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong dan kemudian digantikan oleh Teuku Cut Hasan Meuraxa. Pada awalnya, kader-kader Muhammadiyah di Aceh didominasi oleh kalangan bangsawan (uleebalang). Hal ini terbilang wajar, sebab kaum intelegensia Aceh kala itu memang ramai dari kalangan bangsawan. Namun demikian hal ini tidak menghalangi berkembangnya ide-ide pembaharuan yang dibawa Muhammadiyah ke seluruh Aceh.
Bahkan Sjamaun Gaharu (Ramadhan KH, 1995) mengisahkan pada saat berdirinya PUSA pada 1939, sempat berkembang desas-desus bahwa organisasi ulama yang dipimpin Abu Muhamamd Dawud Beureueh tersebut bertujuan mengimbangi perkembangan Muhammadiyah di Aceh. Pengakuan Sjamaun Gaharu ini mengindikasikan bahwa saat itu Muhammadiyah memang telah diterima cukup baik oleh masyarakat Aceh, meskipun pengaruhnya tidak sekuat PUSA yang dalam praktiknya juga membawa gagasan-gagasan pembaharuan seperti halnya Muhammadiyah.
Sementara itu, Ismuha dalam artikelnya “Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah” (Taufik Abdullah, Ed, 1983) menyebut pemikiran Muhammadiyah pada awalnya tidak diterima oleh masyarakat Aceh, sebab tokoh-tokoh Muhammadiyah saat itu bukan ulama. Masyarakat Aceh, menurut Ismuha tidak bersedia menerima pemikiran yang berbeda dengan ajaran yang disampaikan oleh para ulama tradisional. Sebaliknya, dalam penilaian Ismuha, gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dibawa Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di bawah kontrol Tgk. Muhammad Dawud Beureueh lebih bijaksana dengan tidak meremehkan amalan yang sudah mengakar dalam tradisi masyarakat Aceh.
Apa yang disampaikan Ismuha, bahwa Muhammadiyah tidak mendapat tempat dan tokoh-tokohnya di Aceh bukan berasal dari ulama tidak sepenuhnya benar, kecuali pada masa awal-awal perkembangannya.
Amran Zamzami, yang juga terdaftar sebagai anggota Pemuda Muhammadiyah Blang Pidie periode 1942-1943, dalam biografinya (Sugiono MP, 1985), menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang mendapat tempat dalam masyarakat Aceh.
Selain itu, bergabungnya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiey dalam organisasi warisan K.H. Ahmad Dahlan ini telah pula mementahkan kesimpulan Ismuha yang menyebut tidak ada ulama dalam kepengurusan Muhammadiyah di Aceh.
Runtuhnya Kearifan
Dalam hadih maja Aceh dikenal istilah le abeuk le lintah (banyak payau banyak lintah). Hadih maja ini menyampaikan pesan bahwa setiap orang memiliki perbedaan pandangan. Berpijak pada hadih maja ini, sudah sepatutnya kita saling menghormati dan mengarifi setiap perbedaan sehingga tidak berujung pada permusuhan, apalagi kekerasan.
Endatu moyang kita juga telah mengajarkan agar kita tidak merasa dengki terhadap keberhasilan orang lain. Hal ini di antaranya tercermin dalam hadih maja: “Muka-muka meutameh aden, gop meukawen jih meujaga” (muka seperti tiang berlumpur, orang yang kawin dia berjaga. Artinya sebuah sikap yang merasa cemburu atas keberhasilan orang lain. Sikap cemburu tidak pada tempatnya ini tentunya akan melahirkan tindakan-tindakan destruktif seperti terjadi di Samalanga.
Ale digop leusong digop, geutanyo meutop hana karena (alu kepunyaan orang, lesung kepunyaan orang, kita bertikam tanpa sebab). Hadih maja ini mengajak kita agar tidak gemar mencampuri urusan orang lain. Kegemaran mencampuri urusan orang lain dalam praktiknya akan melahirkan ketegangan-ketegangan yang tidak perlu antar sesama kaum muslimin. Mari bersikap arif.
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
loading...
Post a Comment