Kematian Kashoggi dan Kebebasan Pers
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 26 Oktober 2018
Dugaan pembunuhan terhadap jurnalis berkebangsaan Arab Saudi, Jamal Kashoggi yang terjadi baru-baru ini telah sukses menyita perhatian publik internasional. Sebagian kalangan menyebut insiden ini sebagai “kejahatan besar” terhadap dunia jurnalistik dan sekaligus “ancaman” bagi kebebasan pers. Seperti dikabarkan media, Kashoggi diduga dibunuh ketika ia berada dalam Konsulat Arab Saudi di Turki. Akibat insiden tersebut, Arab Saudi pun mendapat kecaman dari dunia internasional.
Pemerintah Turki seperti dikutip beberapa media bahkan menuduh Arab Saudi berada di balik aksi pembunuhan sadis tersebut. Negara yang dipimpin Erdogan ini juga mengaku memiliki bukti audio dan video yang menunjukkan bahwa agen intelijen Saudi terlibat dalam pembunuhan Kashoggi di gedung konsulat Arab Saudi. Tekanan terhadap Saudi juga datang dari Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada dan beberapa negara Eropa lainnya dengan meminta penjelasan Saudi terkait pembunuhan tersebut.
Jurnalis senior Amerika Serikat, Kevin Sullivan, dalam tulisannya di The Washington Post (washingtonpost.com, 22/10/18), tampak mengerucutkan perhatiannya kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman yang disebutnya sebagai sosok “antikritik.” Kevin menyatakan bahwa pemerintah Arab Saudi telah lama mengecam aksi kritik terhadap kerajaan dan upaya tersebut semakin intensif di bawah kontrol Muhammad bin Salman yang bertanggung jawab terhadap keamanan nasional di Saudi.
Beberapa kritikus Amerika Serikat seperti disebut Kevin juga menuntut dilakukan penyelidikan yang lebih serius guna memastikan berbagai dugaan keterlibatan Muhammad bin Salman dalam pembunuhan Kashoggi yang selama ini juga dikenal sebagai kolumnis di The Washington Post. Penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemungkinan Muhammad bin Salman memerintahkan operasi rahasia kepada para wartawan yang sering mengkritik kebijakannya.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah mendapat kecaman internasional, para pejabat Arab Saudi yang juga dikutip Washington Post, telah mengakui bahwa Jamal Kashoggi dibunuh oleh agen mereka. Arab Saudi menyebut pembunuhan tersebut sebagai “operasi nakal” yang menyalahi prosedur. Akibat tindakan tersebut 18 orang telah ditangkap, lima pejabat dipecat, termasuk dua pejabat yang dikenal dekat dengan Muhammad bin Salman (washingtonpost.com, 22/10/18).
Menyikapi kematian Kashoggi, Pangeran Muhammad bin Salman juga telah memberi komentarnya seperti dikutip Arab News. Muhammad mengatakan bahwa keadilan akan menang dalam kematian Jamal Khashoggi. Dia menyatakan insiden tersebut sangat menyakitkan dan menjijikkan sehingga tidak alasan untuk membenarkannya. Dalam keterangan yang diriis arabnews.com (25/10/18), Muhammad juga menyebut bahwa ada pihak yang ingin mengambil keuntungan untuk merusak hubungan Arab Saudi dan Turki dalam insiden Kashoggi.
Ancaman Kebebasan Pers
Kita sepakat bahwa pembunuhan terhadap jurnalis adalah kejahatan yang membungkam kebebasan pers. Kejahatan terhadap pers adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, karena jurnalis adalah mata dunia. Namun demikian, kita melihat ada gelagat “aneh” terkait gencarnya kecaman dunia internasional terhadap Arab Saudi pasca terbunuhnya Jamal Kashoggi.
Ada kesan bahwa insiden yang menimpa Jamal Kashoggi telah dibarengi oleh kepentingan politik dengan memosisikan Arab Saudi sebagai “satu-satunya” negara yang tidak memberikan perlindungan kepada pers. Padahal, Kashoggi bukanlah satu-satunya jurnalis yang terbunuh. Seperti diketahui, pembunuhan terhadap jurnalis juga terjadi di belahan dunia lainnya, tak terkecuali di Eropa.
Sebelum kematian Kashoggi terendus, kita sempat dihebohkan dengan kematian seorang wartawan wanita asal Bulgaria, Viktoria Marinova. Wartawan investigasi tersebut diperkosa dan kemudian dibunuh. Seperti dirilis beberapa media, Victoria Marinova ditemukan tewas setelah sebelumnya melakukan penyelidikan dugaan korupsi yang melibatkan dana Uni Eropa.
Pembunuhan terhadap wartawan juga terjadi di Bangladesh. Seorang wartawan televisi di Bangladesh, Subarna Nodi, ditemukan tewas dibunuh di kediamannya. Dia dibunuh oleh sejumlah orang tak dikenal (kompas.com). Seperti dirilis jawapos.com (13/10/18), pada tahun 2018 saja sejumlah 27 wartawan telah dibunuh di beberapa negara.
Informasi lebih rinci tentang pembunuhan wartawan di seluruh dunia dapat diakses melalui situs RSF (rsf.org). RSF sendiri adalah organisasi independen yang berbasis di Paris.
Dalam laporan organisasi ini, pada tahun 2017 sebanyak 65 wartawan, termasuk jurnalis profesional, jurnalis warga, dan pekerja media terbunuh di seluruh dunia. Dua puluh enam orang dari mereka tewas ketika melakukan kegiatan jurnalistik. Di antara korban dinyatakan tewas dalam serangan udara, bombardir artileri dan dalam aksi bunuh diri.
Masih menurut RSF, pada 2017 tiga puluh sembilan jurnalis lainnya dibunuh melalui penargetan sebagai bentuk ancaman karena tulisan mereka mengancam kepentingan politik, ekonomi, atau kejahatan kriminal. Pada tahun 2016, sejumlah 60% wartawan dibunuh berdasarkan target sebagai sebuah bentuk pembungkaman terhadap pers RSF mencatat bahwa tahun 2017 merupakan tahun paling mematikan bagi jurnalis profesional selama 14 tahun terakhir. Beberapa negara seperti Afghanistan, Irak dan Suriah adalah tempat paling “angker” bagi wartawan. Sementara untuk kategori negara yang tidak dalam kondisi perang, Meksiko adalah negara paling mematikan bagi para wartawan pada tahun 2017.
Ulasan di atas setidaknya dapat menjadi gambaran bagi kita semua bahwa ancaman kebebasan pers tidak hanya terjadi di Arab Saudi, tetapi juga berlangsung di negara Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya. Dengan demikian menjadi “aneh” jika tekanan dunia Barat hanya tertuju kepada Arab Saudi. Seperti diketahui, pemberitaan di media-media Barat tentang kematian Kashoggi terkesan “tendensius.”
Sikap Barat, khususnya Amerika Serikat terkait kematian Kashoggi tentunya tidak melulu harus dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia dan advokasi mereka terhadap kebebasan pers dengan menafikan kepentingan politik Amerika terhadap Timur Tengah. Secara politik, kematian Kashoggi adalah tiket “gratis” bagi Amerika Serikat untuk “mengekalkan” pengaruhnya di Timur Tengah, di mana Saudi menjadi “negara kunci” yang memegang kendali politik di negara Teluk, khususnya dalam mengimbangi kekuatan Iran dan juga perlawanan terhadap terorisme. Dalam hal ini, Amerika Serikat tentu harus mampu memastikan Arab Saudi yang selama ini menjadi “mitranya” untuk tidak bersikap “nakal.”
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Foto: egyptindependent.com |
Bireuen, 26 Oktober 2018
Dugaan pembunuhan terhadap jurnalis berkebangsaan Arab Saudi, Jamal Kashoggi yang terjadi baru-baru ini telah sukses menyita perhatian publik internasional. Sebagian kalangan menyebut insiden ini sebagai “kejahatan besar” terhadap dunia jurnalistik dan sekaligus “ancaman” bagi kebebasan pers. Seperti dikabarkan media, Kashoggi diduga dibunuh ketika ia berada dalam Konsulat Arab Saudi di Turki. Akibat insiden tersebut, Arab Saudi pun mendapat kecaman dari dunia internasional.
Pemerintah Turki seperti dikutip beberapa media bahkan menuduh Arab Saudi berada di balik aksi pembunuhan sadis tersebut. Negara yang dipimpin Erdogan ini juga mengaku memiliki bukti audio dan video yang menunjukkan bahwa agen intelijen Saudi terlibat dalam pembunuhan Kashoggi di gedung konsulat Arab Saudi. Tekanan terhadap Saudi juga datang dari Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada dan beberapa negara Eropa lainnya dengan meminta penjelasan Saudi terkait pembunuhan tersebut.
Jurnalis senior Amerika Serikat, Kevin Sullivan, dalam tulisannya di The Washington Post (washingtonpost.com, 22/10/18), tampak mengerucutkan perhatiannya kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammad bin Salman yang disebutnya sebagai sosok “antikritik.” Kevin menyatakan bahwa pemerintah Arab Saudi telah lama mengecam aksi kritik terhadap kerajaan dan upaya tersebut semakin intensif di bawah kontrol Muhammad bin Salman yang bertanggung jawab terhadap keamanan nasional di Saudi.
Beberapa kritikus Amerika Serikat seperti disebut Kevin juga menuntut dilakukan penyelidikan yang lebih serius guna memastikan berbagai dugaan keterlibatan Muhammad bin Salman dalam pembunuhan Kashoggi yang selama ini juga dikenal sebagai kolumnis di The Washington Post. Penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemungkinan Muhammad bin Salman memerintahkan operasi rahasia kepada para wartawan yang sering mengkritik kebijakannya.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah mendapat kecaman internasional, para pejabat Arab Saudi yang juga dikutip Washington Post, telah mengakui bahwa Jamal Kashoggi dibunuh oleh agen mereka. Arab Saudi menyebut pembunuhan tersebut sebagai “operasi nakal” yang menyalahi prosedur. Akibat tindakan tersebut 18 orang telah ditangkap, lima pejabat dipecat, termasuk dua pejabat yang dikenal dekat dengan Muhammad bin Salman (washingtonpost.com, 22/10/18).
Menyikapi kematian Kashoggi, Pangeran Muhammad bin Salman juga telah memberi komentarnya seperti dikutip Arab News. Muhammad mengatakan bahwa keadilan akan menang dalam kematian Jamal Khashoggi. Dia menyatakan insiden tersebut sangat menyakitkan dan menjijikkan sehingga tidak alasan untuk membenarkannya. Dalam keterangan yang diriis arabnews.com (25/10/18), Muhammad juga menyebut bahwa ada pihak yang ingin mengambil keuntungan untuk merusak hubungan Arab Saudi dan Turki dalam insiden Kashoggi.
Ancaman Kebebasan Pers
Kita sepakat bahwa pembunuhan terhadap jurnalis adalah kejahatan yang membungkam kebebasan pers. Kejahatan terhadap pers adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, karena jurnalis adalah mata dunia. Namun demikian, kita melihat ada gelagat “aneh” terkait gencarnya kecaman dunia internasional terhadap Arab Saudi pasca terbunuhnya Jamal Kashoggi.
Ada kesan bahwa insiden yang menimpa Jamal Kashoggi telah dibarengi oleh kepentingan politik dengan memosisikan Arab Saudi sebagai “satu-satunya” negara yang tidak memberikan perlindungan kepada pers. Padahal, Kashoggi bukanlah satu-satunya jurnalis yang terbunuh. Seperti diketahui, pembunuhan terhadap jurnalis juga terjadi di belahan dunia lainnya, tak terkecuali di Eropa.
Sebelum kematian Kashoggi terendus, kita sempat dihebohkan dengan kematian seorang wartawan wanita asal Bulgaria, Viktoria Marinova. Wartawan investigasi tersebut diperkosa dan kemudian dibunuh. Seperti dirilis beberapa media, Victoria Marinova ditemukan tewas setelah sebelumnya melakukan penyelidikan dugaan korupsi yang melibatkan dana Uni Eropa.
Pembunuhan terhadap wartawan juga terjadi di Bangladesh. Seorang wartawan televisi di Bangladesh, Subarna Nodi, ditemukan tewas dibunuh di kediamannya. Dia dibunuh oleh sejumlah orang tak dikenal (kompas.com). Seperti dirilis jawapos.com (13/10/18), pada tahun 2018 saja sejumlah 27 wartawan telah dibunuh di beberapa negara.
Informasi lebih rinci tentang pembunuhan wartawan di seluruh dunia dapat diakses melalui situs RSF (rsf.org). RSF sendiri adalah organisasi independen yang berbasis di Paris.
Dalam laporan organisasi ini, pada tahun 2017 sebanyak 65 wartawan, termasuk jurnalis profesional, jurnalis warga, dan pekerja media terbunuh di seluruh dunia. Dua puluh enam orang dari mereka tewas ketika melakukan kegiatan jurnalistik. Di antara korban dinyatakan tewas dalam serangan udara, bombardir artileri dan dalam aksi bunuh diri.
Masih menurut RSF, pada 2017 tiga puluh sembilan jurnalis lainnya dibunuh melalui penargetan sebagai bentuk ancaman karena tulisan mereka mengancam kepentingan politik, ekonomi, atau kejahatan kriminal. Pada tahun 2016, sejumlah 60% wartawan dibunuh berdasarkan target sebagai sebuah bentuk pembungkaman terhadap pers RSF mencatat bahwa tahun 2017 merupakan tahun paling mematikan bagi jurnalis profesional selama 14 tahun terakhir. Beberapa negara seperti Afghanistan, Irak dan Suriah adalah tempat paling “angker” bagi wartawan. Sementara untuk kategori negara yang tidak dalam kondisi perang, Meksiko adalah negara paling mematikan bagi para wartawan pada tahun 2017.
Ulasan di atas setidaknya dapat menjadi gambaran bagi kita semua bahwa ancaman kebebasan pers tidak hanya terjadi di Arab Saudi, tetapi juga berlangsung di negara Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya. Dengan demikian menjadi “aneh” jika tekanan dunia Barat hanya tertuju kepada Arab Saudi. Seperti diketahui, pemberitaan di media-media Barat tentang kematian Kashoggi terkesan “tendensius.”
Sikap Barat, khususnya Amerika Serikat terkait kematian Kashoggi tentunya tidak melulu harus dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia dan advokasi mereka terhadap kebebasan pers dengan menafikan kepentingan politik Amerika terhadap Timur Tengah. Secara politik, kematian Kashoggi adalah tiket “gratis” bagi Amerika Serikat untuk “mengekalkan” pengaruhnya di Timur Tengah, di mana Saudi menjadi “negara kunci” yang memegang kendali politik di negara Teluk, khususnya dalam mengimbangi kekuatan Iran dan juga perlawanan terhadap terorisme. Dalam hal ini, Amerika Serikat tentu harus mampu memastikan Arab Saudi yang selama ini menjadi “mitranya” untuk tidak bersikap “nakal.”
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment