Panggung Dakwah dan “Budaya” Caci Maki
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 14 April 2015
Ilustrasi: Sumber: www.kaskus.co.id Ilustrasi ini memang "kurang etis", tapi terpaksa dipakai juga agar cepat paham. |
Meskipun kata dakwah telah sangat fasih diucapkan masyarakat Indonesia, tak terkecuali Aceh, namun kata tersebut bukanlah bahasa asli Indonesia. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang diadopsi dan diserap dalam pembendaharaan kata Indonesia. Akar kata dakwah adalah da’a – yad’u – du’aa an – (da’watan). Kata kerja da’a berarti mengajak atau menyeru, adapun mashdar dari kata da’a yaitu da’watan bermakna seruan. Kata mashdar inilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dan lazim disebut dengan dakwah.
Dalam pemahaman sebagian masyarakat Aceh, kata dakwah yang semestinya memiliki makna luas – telah “dipersempit” hanya kepada ceramah agama yang berlangsung di atas panggung atau podium. Indikasi penyempitan makna ini dapat dilihat dalam penggunaan kata-kata dakwah dalam kehidupan sehari-hari. Ketika mendengar istilah dakwah, sebagian besar masyarakat kita langsung tertuju pikirannya kepada sebuah acara yang dilangsungkan di tempat-tempat tertentu, seperti lapangan bola kaki, halaman mesjid dan juga di pekarangan dayah.
Di samping itu, khususnya di kampung-kampung, ketika memasuki buleun mulod (bulan maulid) akan terlihat pemandangan yang tidak kalah uniknya, di mana acara dakwah akan diumumkan oleh “mobil keliling”. Biasanya panitia dakwah akan menggunakan mobil pick-up yang di belakangnya ramai anak-anak untuk berkeliling kampung guna “mengkampanyekan” acara dakwah yang akan digelar di desanya. Dalam mobil tersebut ada seorang “orator”– sebut saja begitu, yang biasanya duduk di depan, samping sopir. Sang “orator” dengan menggunakan pengeras suara bertugas untuk mengumumkan acara dakwah yang akan berlangsung. Kalimat kunci “paling populer” yang sering diucapkan oleh “orator pengumuman” adalah: "Kaum muslimin dan muslimat, syedara-syedara, kaom mak dan kaom ayah. Kunjungilah beramai-ramai dakwah Islamiyah yang akan dilaksanakan nanti malam di desa… dalam rangka memperingati maulid Nabi Besar Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dengan pembicaraan tunggal teungku…” Demikianlah potongan pengumuman yang lazim terdengar dari mobil pengumuman keliling di kampung-kampung. Menariknya lagi pada saat “orator” mobil keliling beristirahat (jeda), biasanya akan diselingi dengan lagu-lagu kasidah.
Kembali kepada statement saya di awal tulisan, bahwa dalam pemahaman sebagian masyarakat Aceh, istilah dakwah telah dipersempit maknanya hanya kepada “dakwah panggung”. Padahal, makna dakwah tidak-lah sesempit itu. Segala bentuk khutbah, baik khutbah Jum’at dan khutbah hari raya juga dakwah. Seorang anak manusia yang mengajak kawannya untuk shalat, itu-pun dakwah pula. Seorang istri membangunkan suaminya saat shubuh untuk berjama’ah di mesjid juga bagian dari dakwah. Singkat cerita, segala bentuk ajakan (seruan) kepada kebaikan adalah dakwah. Dan dalam pengertian terbatas, kita semua adalah “pendakwah”. Wallahu A’lam.
Model Dakwah di Aceh
Kajian tentang dakwah memang sudah sangat sering ditulis orang, namun topik ini tetap hangat untuk diperbincangkan. Sebelumnya saya juga sudah pernah menulis topik serumpun ini dalam beberapa tulisan, di antaranya “Ciptakan Dakwah Sehat” di Harian Aceh (2011) dan “Fenomena Dakwah di Aceh” dalam Majalah Santunan Kemenag Aceh (2011). Meskipun tulisan serupa ini sudah banyak dan “bertaburan” di media, baik cetak maupun online, namun perbincangan terkait dakwah tetap menarik dikupas.
Sekedar mempertegas istilah agar tidak bias sehingga menimbulkan multitafsir yang akan berakhir pada lahirnya kesimpulan keliru, maka istilah dakwah dalam tulisan ini saya batasi pada definisi dakwah yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Aceh – yaitu dakwah panggung.
Sebagaimana telah kita saksikan, ada banyak dakwah di Aceh, di antaranya dakwah mulod untuk memperingati maulid, dakwah Israk Mi’raj, dakwah 1 Muharram untuk menyambut tahun baru Islam dan berbagai dakwah lainnya. Dari beberapa dakwah yang telah disebut, dakwah mulod menduduki peringkat pertama ditinjau dari durasi waktu pelaksanaannya. Di Aceh, dakwah mulod biasanya berlangsung selama tiga bulan. Bahkan ada yang menggabungkan dakwah mulod dengan dakwah israk mi’raj. Penggabungan dua dakwah ini tentunya sah-sah saja jika ditinjau dari penghematan anggaran. Cuma saja kita berharap agar tidak ada dakwah mulod di bulan Ramadhan. Meskipun kalimat terakhir sedikit norak, tapi kalimat ini sering dijadikan bahan ulok oleh sebagian masyarakat. “Mulod kalinyoe meusige ngon puasa”, demikianlah kalimat ulok yang sering terdengar di kampung-kampung. Entah apa maksudnya, wallahu a’lam.
Trend Caci Maki
Tujuan utama dari dakwah adalah mengajak orang-orang untuk bertaqwa kepada Allah ‘Azza Wajalla. Untuk mencapai tujuan ini mestilah dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana dan penuh hikmah, sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam selaku penghulu para Rasul dan penutup para Nabi telah pula mengajarkan kita untuk berdakwah dengan bijak. Berdakwah dengan lemah lembut bukan berarti mengenyampingkan ketegasan. Demikian pula berdakwah dengan tegas tidak bisa dimaknai bahwa kita harus keras dan kasar.
Kalau kita mau jujur dan tidak bersikap apologik (membela diri), tentunya kita (saya dan anda) akan sampai pada kata “sepakat” bahwa masih ada da’i (penceramah) di Aceh yang “mulut” dan lidahnya” bermasalah. Pada saat berdakwah, yang terucap dari mulutnya hanyalah kata-kata kotor sehingga memunculkan “bau amis” yang menusuk “hidung” dan telinga para pendengar. Tapi anehnya, para pendengar justru bersorak-sorai dan bertepuk tangan setiap kali kata-kata “busuk” muncul dari mulut si da’i. Aneh memang, tapi, ya begitulah “kami” di Aceh.
Jika dicermati, sedikit sekali ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang keluar dari mulut si da’i. Jika pun ada, itu pun seratus banding satu. Satu ayat dibaca “seribu” caci mengalir, satu hadits diucap “sejuta” makian dihembus. Akhirnya bercampur-baurlah kalam Allah dan hadits Nabi dengan caci maki ala da’i. Anehnya, ada segelintir anak manusia yang menganggap bahwa cacian dan makian tersebut sebagai simbol keberanian dan ketegasan seorang da’i. “Teungku nyan gawat, bek mayang, asai hana pah geuteunak saja” (teungku ini hebat, jangan main-main, asal salah langsung dimaki), demikianlah sepotong kalimat yang dijadikan “dalil” untuk membenarkan si da’i.
Agar tulisan ini tidak menjadi fitnah, baiklah saya sebutkan beberapa contoh kalimat bau amis yang pernah saya dengar sendiri. Di antara kata-kata itu adalah: kaplat, paleh, haramjadah, ta’eut dan sejumlah kata lainnya yang serumpun itu.
Ditinjau dari perspektif manapun, kata-kata kotor dalam dakwah tidak-lah pantas diucapkan oleh seorang da’i yang sejatinya adalah “corong” kebenaran. Di sisi lain perlu pula diingat, bahwa lazimnya masyarakat kita juga membawa serta anak-anaknya untuk mendengar dakwah, tentunya bahasa-bahasa “bau amis” yang digunakan “da’i gadungan” tersebut tidak baik untuk perkembangan bahasa anak.
Saya yakin, pasti ada yang “ngamuk” baca tulisan ini, tapi ini adalah fakta, bukan bualan. Jujur itu penting, tidak perlu membela diri. Sebuah kesalahan meskipun datangnya dari “alim besar” maka ia tetap-lah kesalahan. Demikian pula kebenaran, meskipun datangnya dari “budak hitam” dari Habsyi, ia tetap-lah kebenaran. Jika ada sahabat yang tidak sepakat silahkan tulisan ini dibantah secara sehat, tanpa caci maki. Wallahu A’lam.
loading...
Post a Comment