Polemik UAS

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: semaranginside


Bireuen, 24 Agustus 2019

Dalam beberapa tahun belakangan ini, umat Islam Indonesia sempat terkagum-kagum dengan seorang da’i muda asal Riau yang pernah belajar di Mesir dan Maroko. Da’i muda yang dikenal dengan Ustaz Abdul Somad atau yang lebih populer dengan panggilan UAS itu telah menyemarakkan semangat Keislaman sebagian umat Islam di tanah air. Dalam konteks lebih luas, UAS yang tampil humoris dan santun juga telah sukses menyita perhatian publik dari berbagai kalangan, baik kelas arus bawah yang bermukim di pedesaan, maupun kelas menengah ke atas yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan.

Ditinjau dari sejarah kemunculannya, fenomena UAS tentunya tidak bisa dipisahkan dari keberadaan media sosial. Artinya, media sosial memiliki kontribusi besar dalam mengangkat nama UAS ke pentas nasional sehingga ia dikenal hampir di seluruh penjuru tanah air. Video-video ceramahnya yang terekam di youtube – yang pada awalnya hanya diakses secara terbatas – juga turut melambungkan nama UAS setelah video-video itu tersebar luas di media sosial. Terakhir, posisinya yang mengisi sebuah acara jelang buka puasa di salah satu TV swasta nasional juga semakin mempertegas talenta yang ia miliki.

Pola ceramah UAS yang terbilang “populis” dan memilih menghindari perbincangan furu’iyah antarmazhab menjadikannya diterima oleh komunitas Muslim mana pun di Indonesia.

Seperti kita saksikan sendiri, meskipun UAS memiliki latar belakang tradisionalis, namun kehadirannya juga disambut oleh kalangan modernis. Kepopuleran dalam lintas komunitas itulah yang membuat sosok UAS semakin kukuh di mata publik, khususnya umat Islam.

UAS juga disebut-sebut sebagai “cahaya baru” bagi umat Islam Indonesia di era milenial. Bahkan ada sebagian kalangan yang menyebut UAS sebagai “Hamka Muda” dan pujian-pujian serumpun lainnya. Bukan saja itu, popularitas UAS juga tidak hanya bermain di level masyarakat dewasa, tapi anak-anak usia sekolah pun terbilang cukup “akrab” dengan sosok UAS. Namanya disebut banyak orang dan dia diundang berceramah ke mana-mana dengan penonton yang membeludak.

Dugaan Penistaan Agama

Baru-baru ini kabar tak sedap pun menimpa ulama muda ini. Dia dituding melakukan penistaan terhadap simbol agama Kristen. Kononnya peristiwa itu terjadi tiga tahun lalu dalam pengajian di sebuah masjid di Pekanbaru. Dari video yang beredar terlihat UAS menjawab pertanyaan seorang jamaah seperti lazimnya pengajian. Tanpa diduga jawaban yang diberikan UAS kemudian memicu protes dari sebagian kalangan, khususnya umat Kristiani.

Dalam video itu UAS menyebut Salib sebagai setan karena ada jin kafir yang bersarang di dalamnya melalui patung-patung. Nah, untuk melihat persoalan ini secara utuh ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

Pertama, pengajian tersebut berlangsung di masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam. Kemudian, pertanyaannya diajukan oleh orang Islam kepada UAS yang juga beragama Islam. Sebagai Muslim, tentunya UAS akan memberikan jawaban sesuai keyakinan yang dipegangnya. Terlebih lagi dia adalah seorang penceramah yang pastinya memiliki kewajiban untuk memberikan penjelasan kepada umat yang bertanya.

Kondisi akan berbeda jika penjelasan itu diberikan di tempat-tempat umum di luar tempat ibadah. Dan seperti kita yakini bahwa di tempat-tempat ibadah agama lain, seperti gereja juga berlangsung kejadian serupa, di mana seorang pendeta, misalnya, juga akan memberikan jawaban sesuai ajaran Kristen kepada umat Kristiani yang bertanya tentang Muhammad atau Al-Qur‘an.

Kedua, dalam konteks teologis; perbincangan terhadap simbol dan doktrin agama lain adalah diskusi yang wajar belaka. Adalah lumrah ketika para teolog dari agama A kemudian mengkritisi teologi agama B. Demikian pula sebaliknya. Hal itu dilakukan sebagai upaya memperteguh keimanan masing-masing dengan cara menemukan kelebihan dari agama yang dianutnya.

Kemudian, diskusi teologis juga tidak semata-mata mempertentangkan antara satu agama dengan agama lain, tapi sering pula diskursus itu berkembang dalam konteks intra-agama. Dalam Islam misalnya, kita mengenal perdebatan antara Asy‘ariyah dan Mu‘tazilah. Hal demikian juga terjadi dalam Kristen sehingga melahirkan berbagai sekte di sana.

Sebagai contoh adalah diskusi soal Trinitas. Beberapa faksi Kristen menyatakan bahwa Trinitas adalah ajaran penting dalam Kristen. Tetapi, seorang reformis Kristen asal Italia, Fautus Socinus (1539-1604) misalnya, seperti dikutip Karen Amstrong (2001), justru menyebut doktrin Trinitas sebagai penyimpangan dan sebuah fiksi imajiner yang tak dapat diterima akal. Dari sini kita ketahui bahwa diskusi semacam itu tidak secara serta-merta dapat dianggap sebagai penistaan karena masing-masing pihak memiliki argumen.

Ketiga, ditinjau dari konteks kajian; sosok UAS tidak fokus dalam isu perbandingan agama. Dia lebih banyak berbicara tentang persoalan internal yang dihadapi umat Islam. Jika pun sesekali kajiannya menyerempet kepada hal-hal lain, pada umumnya kondisi itu terjadi secara insidental dan tidak direncanakan. Setidaknya sampai saat ini belum ditemukan kajian UAS yang fokus membahas Kristen, Hindu, Budha, Konghucu atau agama-agama lainnya.

Kenyataan itu berbeda dengan kehadiran penceramah-penceramah populer lainnya semisal Ustaz Yahya Waloni. Hampir dalam semua ceramahnya ustaz tersebut terlihat fokus “membedah” ajaran Kristen. Terlebih lagi dia mengaku sebagai mantan pendeta sehingga kajiannya pun menjadi menarik. Jika ingin dibandingkan, tentunya dugaan penistaan yang dituduhkan kepada UAS tidak ada apa-apanya dibanding ceramah-ceramah Waloni yang secara frontal menyasar ke inti ajaran Kristen. Namun seperti telah disinggung, kajian-kajian serupa itu adalah wajar jika dilakukan dalam lingkungan internal masing-masing agama.

Seandainya ceramah UAS dipaksakan dengan tuduhan penistaan agama, maka seluruh buku-buku teologi dan perbandingan agama juga harus diperkarakan di muka hukum, sebab ia memuat pembahasan-pembahasan sensitif yang bisa saja dianggap sebagai penistaan jika dihadapkan pada UU Penistaan Agama. Akhirnya seluruh masjid dan gereja juga harus ditutup agar tidak ada lagi kajian yang mengandung muatan dialektika teologis. Jika sudah begitu, maka agama akan beku dan sepi dari perbincangan sehingga ketaatan pun pergi.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments