Apa Karya dan Riwayat Terpendam (Bagian III)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 02 Agustus 2017

Foto: http://aceh.tribunnews.com

Pada umumnya tokoh-tokoh pergerakan politik di tanah air, tak terkecuali Aceh, akan memilih tinggal di pusat kota seperti halnya ibu kota provinsi, ketika memasuki masa-masa pensiun. Fakta terbaru dapat kita saksikan pasca ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005 – di mana saat itu ramai tokoh-tokoh GAM yang memilih menetap di Banda Aceh, Jakarta dan bahkan ada yang tetap enjoy berada di luar negeri. Di antara faktor yang mendorong mereka untuk menetap di pusat-pusat kota adalah alasan keamanan.

Berbeda dengan tokoh-tokoh politik lainnya, Zakaria Saman (Apa Karya) memilih untuk menetap di tanah kelahirannya pasca terwujudnya perdamaian di Aceh. Apa Karya yang dilahirkan di Keumala 71 tahun lalu tetap memilih tanah lahirnya Keumala sebagai tempat berteduh di “episode terakhir” kehidupannya. Bagi Apa Karya, kembali ke tanah kelahiran adalah pilihan tepat guna bersatu kembali dengan masyarakat – yang di masa-masa perjuangan – telah rela memberikan bantuan demi tercapainya cita-cita politik yang diperjuangkannya.

Pada awal-awal perdamaian, banyak pihak, khususnya dari para petinggi GAM yang merasa khawatir dengan keselamatan Apa Karya – yang kala itu bersikukuh untuk menetap di Keumala. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi, sebab lokasi Keumala lumayan jauh dari ibu kota provinsi sehingga upaya proteksi terhadap keamanan tokoh GAM ini menjadi sulit.

Status Apa Karya sebagai mantan Menteri Pertahanan GAM juga menjadi alasan tersendiri timbulnya kecemasan dari sebagian elit GAM lainnya sehingga mereka menginginkan Apa Karya untuk menetap di Banda Aceh. Tapi, Apa Karya adalah sosok yang “keras kepala”, dan sepertinya ia tidak peduli dengan kekhawatiran dari sahabat-sahabatnya – keinginannya untuk menetap di Keumala sudah final – tidak dapat diganggu gugat.

Ketika Partai Aceh terbentuk, meskipun tersibukkan dengan berbagai kegiatan kepartaian di Banda Aceh, setelah tugas-tugasnya selesai, Apa Karya tetap saja kembali ke Keumala. Kondisi Apa Karya yang bolak-balik Banda Aceh – Keumala saat itu juga menimbulkan kecemasan dari kalangan pengurus Partai Aceh (PA), di mana keselamatan Apa Karya dalam perjalanan sulit dipantau. Tapi, Apa Karya sepertinya telah menguburkan rasa takut sehingga persoalan keamanan sama sekali tidak ia hiraukan.

Menurut mantan staf khusus Menteri Pertahanan GAM, Azmi Abubakar, ada beberapa faktor yang menyebabkan Apa Karya bersikeras untuk menetap di tanah kelahirannya, Keumala. Menurut Azmi, Apa Karya ingin tetap hidup dan bergaul bersama masyarakat. Hal ini diakui sendiri oleh Apa Karya ketika saya dan Azmi berkunjung ke rumahnya di Keumala. Salah satu sebab yang mendorong Apa Karya untuk membangun rumah besar di Keumala, adalah untuk memudahkannya menerima masyarakat yang berkunjung

Apa Karya ingin menghabiskan hari-hari tuanya bersama masyarakat yang selama ini telah turut menyokong perjuangannya. Bagi Apa Karya, hidup di kota justru akan menjauhkan kita dari masyarakat, padahal selama ini kita berjuang untuk mereka. Dengan hidup di Keumala, menurut Apa Karya, dirinya bisa berbaur dan terlibat langsung dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan.

Adapun faktor lainnya terkait dengan kebesaran Keumala. Menurut Azmi, sikap Apa Karya yang memilih Keumala sebagai tempat bermastautin juga didasari oleh kebesaran Keumala di masa lalu. Seperti diketahui, Keumala pernah menjadi pusat Kerajaan Aceh ketika Montasik berhasil ditaklukkan Belanda. Penaklukan terhadap Montasik kala itu menyebabkan keamanan Indrapuri yang sebelumnya dipilih sebagai ibu kota kerajaan menjadi terancam. Akhirnya Sultan Aceh dan para petinggi Kerajaan memilih Keumala sebagai ibu kota baru pada 1879.

Tidak hanya itu, di Keumala juga pernah hidup seorang ulama bangsawan yang cukup terkenal di Aceh, Tuwanku Raja Keumala. Menurut Azmi, fakta-fakta sejarah terkait kebesaran Keumala ini juga turut berpengaruh bagi Apa Karya untuk menetap di Keumala. “Mungkin ada keinginan dari Apa (sebutan khas Zakaria Saman) untuk kembali membesarkan Keumala”, kata Azmi. 

Setelah menyimak beberapa alasan Apa Karya yang ngotot ingin hidup di kampung, saya teringat kepada sosok Abu Dawud Beureueh, seorang ulama pejuang yang juga pernah bersitegang dengan Jakarta dan memimpin perlawanan Darul Islam pada era 1953. Pasca turun gunung, Abu Beureueh juga pernah ditawarkan sebuah rumah oleh Kolonel M. Yasin di Lamprit Banda Aceh. Saat itu, Abu Beureueh menolak pemberian rumah mewah tersebut dan memilih menetap di Beureuenun.

Di episode terakhir hidupnya, Abu Dawud Beureueh menghabiskan waktunya di Mesjid Baitul A’la Lil Mujahidin untuk menerima tamu dan berdiskusi dengan masyarakat. Dan ulama besar ini juga dimakamkan di Kota Beureuenun, tepatnya di lingkungan Mesjid Baitul A’la Lil Mujahidin. Di sisi ini, saya melihat ada kesamaan antara Apa Karya dan sosok Abu Beureueh yang tetap memilih kembali ke kampung halaman. 

Bersambung…

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments