Menanti Birokrasi Syariah
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 12 Februari 2018
Menyimak perkembangan isi-isu terkini di Aceh, muncul kesan bahwa semangat penegakan syariat Islam di Aceh terus menanjak. Memang dibutuhkan riset khusus guna mendapatkan kesimpulan akurat terkait asumsi ini. Namun indikator ke arah ini dapat kita saksikan sendiri dari berbagai fenomena sosial keagamaan yang muncul akhir-akhir ini.
Bangkitnya ghirah keagamaan akhir-akhir ini tentunya akan berdampak pada semakin menguatnya spirit sebagian masyarakat Aceh untuk menegakkan syariat Islam di Aceh. Bahkan uniknya, isu-isu syariat Islam juga terbilang “laris manis” di panggung politik dalam beberapa tahun terakhir. Isu-isu serupa ini tentunya akan mampu memikat emosi publik pada saat kontestasi politik sedang berlangsung.
Baru-baru ini geliat penegakan syariat Islam juga terlihat dalam aksi penertiban terhadap kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Dikabarkan, aksi penertiban LGBT terheboh terjadi di Aceh Utara yang melibatkan Kapolres. Aksi penggrebekan dan penertiban sejumlah salon tersebut pun viral di media sosial. Belasan waria diamankan dan kemudiaan dilakukan pembinaan oleh Kapolres Aceh Utara.
Tanpa harus menunggu lama, aksi penangkapan terhadap waria ini pun menjadi isu nasional. Beberapa media nasional tampak ikut nimbrung mengulas aksi yang melibatkan Kapolres Aceh Utara tersebut. Tindakan Kapolres ini mendapatkan dukungan dari sejumlah kalangan di Aceh. Tapi sebagian pihak juga melancarkan kritiknya dengan dalih kemanusiaan.
Belum lagi kejadian di Aceh Utara hilang di memori publik, perhatian masyarakat Aceh pun tertuju ke Aceh Besar. Seperti dikabarkan media, Bupati Aceh Besar telah melayangkan surat kepada sejumlah maskapai penerbangan yang mendarat di Aceh agar para pramugarinya menggunakan jilbab dan pakaian muslimah. Bupati menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan guna menghormati penegakan syariat Islam di Aceh.
“Mengurung Syariat”
Sejak awal penerapannya, syariat Islam di Aceh masih saja terkurung dalam aspek-aspek tertentu saja. Artinya, sampai saat ini penegakan syariat Islam di Aceh belum bergerak ke arah “kaffah”, meskipun slogan ini terus diulang-ulang saban waktu. Ada banyak ruang dalam kehidupan sosial di Aceh yang ternyata “minus” syariat. Persoalan regulasi adalah alasan klasik yang terus saja digunakan sebagai alat untuk menepis kekosongan ini.
Diakui atau pun tidak, gelora syariat Islam masih saja terkurung dalam ruang maisir, khalwat, khamar, pakaian wanita dan baru-baru ini merambah ke LGBT. Sementara di ruang publik lainnya, syariat Islam benar-benar “tidak hadir”, atau mungkin “diusir.” Kondisi ini tentunya memberi peluang kepada pihak-pihak yang anti penegakan syariat Islam untuk menuding bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih saja diskriminatif.
Ketika tudingan ini diembuskan, tentunya kita merasa tersinggung. Tapi sayangnya tudingan-tudingan tersebut justru dijadikan sebagai ajang “konfrontasi”, bukan sebagai bahan evaluasi. Artinya, tudingan-tudingan negatif itu masih saja disikapi secara emosional tanpa mencoba melakukan upaya-upaya strategis guna menutup ruang kritik dengan menyuburkan syariat Islam dalam segala lini kehidupan.
Syariat Islam dalam Birokrasi
Sampai dengan detik ini, meskipun belum ada riset, hampir dapat dipastikan bahwa syariat Islam sama sekali belum mampir dalam ruang birokarasi di Aceh. Artinya, birokrasi di Aceh masih saja “sekuler” dalam pengertian belum “tersyariatkan.” Hal ini bisa kita saksikan sendiri dengan melakukan observasi kecil-kecilan di beberapa kantor pemerintah.
Untuk melahirkan birokrasi syariah, hal pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan kesadaran bersyariat di kalangan aparatur negara, sebab merekalah yang menjadi tonggak terlaksananya birokrasi yang baik. Segala bentuk pelanggaran syariat Islam sekecil apa pun harus dihilangkan dalam lingkaran birokrasi guna melahirkan birokrat yang tidak hanya cerdas, tapi juga bersih. Dalam hal ini, setiap kepala daerah di Aceh (gubernur, bupati, walikota dan camat) adalah leader yang bertanggung jawab menciptakan birokrasi syariah di wilayahnya masing-masing.
Penegakan syariat Islam dalam ruang birokrasi mencakup banyak hal, di antaranya kedisiplinan aparatur, hubungan atasan dan bawahan, mekanisme pengangkatan pejabat, persoalan honorarium, pergaulan antar aparatur dan pelayanan publik. Dengan melakukan “syariatisasi” terhadap beberapa aspek dimaksud, maka birokrasi syariah akan terwujud dengan sendirinya.
Dalam pengangkatan pejabat seperti kepala dinas di lingkungan pemerintah daerah misalnya, hendaknya dilakukan sesuai aturan dengan pertimbangan prestasi, bukan sebagai kompensasi politik dari kepala daerah sehingga tidak ada pihak yang terzalimi. Sebab kezaliman juga pelanggaran terhadap syariat. Prinsip-prinsip syariat juga harus ditegakkan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif, di mana program dan perencaaan keuangan yang disusun benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak, bukan “bagi-bagi kue” antara legislatif dan eksekutif, sebab praktik “bagi-bagi kue” sebagaimana telah lazim terjadi juga melanggar ketentuan syariat.
Demikian juga dalam melakukan pelayanan terhadap publik pun harus didasari oleh kesadaran syariat dengan menghilangkan praktik “pungli” sekecil apa pun. Selain itu, nilai-nilai syariat juga harus ditegakkan dalam hubungan antara aparatur negara (atasan dan bawahan). Artinya tindakan atasan yang “memeras” bawahan dengan “ancaman” tertentu misalnya, juga bagian dari pelanggaran syariat Islam, sebab syariat Islam menolak keras segala bentuk pemerasan.
Hal lainnya yang sering terabaikan dalam lingkungan birokrasi adalah praktik “bagi hasil yang tidak pada tempatnya.” Praktik ini lazimnya terjadi dalam penentuan pemenang dalam tender proyek tertentu. Sudah “mutawatir” diketahui publik, bahwa dalam prosesi pemenangan ini hampir selalu diwarnai oleh “transaksi fee” dengan jumlah persentase yang sudah disepakati. Praktik-praktik semacam ini meskipun telah dianggap sebagai “tradisi” juga termasuk dalam kategori pelanggaran syariat Islam. Tapi sayangnya, bentuk-bentuk pelanggaran syariat dalam dunia birokrasi sama sekali kurang menjadi perhatian dengan dalih ketiadaan regulasi.
Semoga saja beberapa kepala daerah di Aceh yang selama ini terkesan pro kepada penegakan syariat Islam segera menginisiasi terlaksananya birokrasi syariah di wilayah yang dipimpinnya. Tentunya akan sangat tidak lucu jika ada oknum kepala daerah yang berani mengirimkan surat kepada maskapai penerbangan terkait jilbab misalnya, tetapi ia menjadi “kecut” menerapkan syariat dalam birokrasi yang dipimpinnya.
Dengan terciptanya birokrasi syariah, maka akan membuka jalan bagi penegakan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh. Lahirnya birokrasi syariah adalah salah satu indikator keseriusan pemerintah dan aparatur negara sehingga syariat tidak hanya terjebak dalam teoritik belaka, tapi juga praktik.
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
Foto: mochamber.com |
Bireuen, 12 Februari 2018
Menyimak perkembangan isi-isu terkini di Aceh, muncul kesan bahwa semangat penegakan syariat Islam di Aceh terus menanjak. Memang dibutuhkan riset khusus guna mendapatkan kesimpulan akurat terkait asumsi ini. Namun indikator ke arah ini dapat kita saksikan sendiri dari berbagai fenomena sosial keagamaan yang muncul akhir-akhir ini.
Bangkitnya ghirah keagamaan akhir-akhir ini tentunya akan berdampak pada semakin menguatnya spirit sebagian masyarakat Aceh untuk menegakkan syariat Islam di Aceh. Bahkan uniknya, isu-isu syariat Islam juga terbilang “laris manis” di panggung politik dalam beberapa tahun terakhir. Isu-isu serupa ini tentunya akan mampu memikat emosi publik pada saat kontestasi politik sedang berlangsung.
Baru-baru ini geliat penegakan syariat Islam juga terlihat dalam aksi penertiban terhadap kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Dikabarkan, aksi penertiban LGBT terheboh terjadi di Aceh Utara yang melibatkan Kapolres. Aksi penggrebekan dan penertiban sejumlah salon tersebut pun viral di media sosial. Belasan waria diamankan dan kemudiaan dilakukan pembinaan oleh Kapolres Aceh Utara.
Tanpa harus menunggu lama, aksi penangkapan terhadap waria ini pun menjadi isu nasional. Beberapa media nasional tampak ikut nimbrung mengulas aksi yang melibatkan Kapolres Aceh Utara tersebut. Tindakan Kapolres ini mendapatkan dukungan dari sejumlah kalangan di Aceh. Tapi sebagian pihak juga melancarkan kritiknya dengan dalih kemanusiaan.
Belum lagi kejadian di Aceh Utara hilang di memori publik, perhatian masyarakat Aceh pun tertuju ke Aceh Besar. Seperti dikabarkan media, Bupati Aceh Besar telah melayangkan surat kepada sejumlah maskapai penerbangan yang mendarat di Aceh agar para pramugarinya menggunakan jilbab dan pakaian muslimah. Bupati menegaskan bahwa hal ini dimaksudkan guna menghormati penegakan syariat Islam di Aceh.
“Mengurung Syariat”
Sejak awal penerapannya, syariat Islam di Aceh masih saja terkurung dalam aspek-aspek tertentu saja. Artinya, sampai saat ini penegakan syariat Islam di Aceh belum bergerak ke arah “kaffah”, meskipun slogan ini terus diulang-ulang saban waktu. Ada banyak ruang dalam kehidupan sosial di Aceh yang ternyata “minus” syariat. Persoalan regulasi adalah alasan klasik yang terus saja digunakan sebagai alat untuk menepis kekosongan ini.
Diakui atau pun tidak, gelora syariat Islam masih saja terkurung dalam ruang maisir, khalwat, khamar, pakaian wanita dan baru-baru ini merambah ke LGBT. Sementara di ruang publik lainnya, syariat Islam benar-benar “tidak hadir”, atau mungkin “diusir.” Kondisi ini tentunya memberi peluang kepada pihak-pihak yang anti penegakan syariat Islam untuk menuding bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih saja diskriminatif.
Ketika tudingan ini diembuskan, tentunya kita merasa tersinggung. Tapi sayangnya tudingan-tudingan tersebut justru dijadikan sebagai ajang “konfrontasi”, bukan sebagai bahan evaluasi. Artinya, tudingan-tudingan negatif itu masih saja disikapi secara emosional tanpa mencoba melakukan upaya-upaya strategis guna menutup ruang kritik dengan menyuburkan syariat Islam dalam segala lini kehidupan.
Syariat Islam dalam Birokrasi
Sampai dengan detik ini, meskipun belum ada riset, hampir dapat dipastikan bahwa syariat Islam sama sekali belum mampir dalam ruang birokarasi di Aceh. Artinya, birokrasi di Aceh masih saja “sekuler” dalam pengertian belum “tersyariatkan.” Hal ini bisa kita saksikan sendiri dengan melakukan observasi kecil-kecilan di beberapa kantor pemerintah.
Untuk melahirkan birokrasi syariah, hal pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan kesadaran bersyariat di kalangan aparatur negara, sebab merekalah yang menjadi tonggak terlaksananya birokrasi yang baik. Segala bentuk pelanggaran syariat Islam sekecil apa pun harus dihilangkan dalam lingkaran birokrasi guna melahirkan birokrat yang tidak hanya cerdas, tapi juga bersih. Dalam hal ini, setiap kepala daerah di Aceh (gubernur, bupati, walikota dan camat) adalah leader yang bertanggung jawab menciptakan birokrasi syariah di wilayahnya masing-masing.
Penegakan syariat Islam dalam ruang birokrasi mencakup banyak hal, di antaranya kedisiplinan aparatur, hubungan atasan dan bawahan, mekanisme pengangkatan pejabat, persoalan honorarium, pergaulan antar aparatur dan pelayanan publik. Dengan melakukan “syariatisasi” terhadap beberapa aspek dimaksud, maka birokrasi syariah akan terwujud dengan sendirinya.
Dalam pengangkatan pejabat seperti kepala dinas di lingkungan pemerintah daerah misalnya, hendaknya dilakukan sesuai aturan dengan pertimbangan prestasi, bukan sebagai kompensasi politik dari kepala daerah sehingga tidak ada pihak yang terzalimi. Sebab kezaliman juga pelanggaran terhadap syariat. Prinsip-prinsip syariat juga harus ditegakkan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif, di mana program dan perencaaan keuangan yang disusun benar-benar untuk kepentingan rakyat banyak, bukan “bagi-bagi kue” antara legislatif dan eksekutif, sebab praktik “bagi-bagi kue” sebagaimana telah lazim terjadi juga melanggar ketentuan syariat.
Demikian juga dalam melakukan pelayanan terhadap publik pun harus didasari oleh kesadaran syariat dengan menghilangkan praktik “pungli” sekecil apa pun. Selain itu, nilai-nilai syariat juga harus ditegakkan dalam hubungan antara aparatur negara (atasan dan bawahan). Artinya tindakan atasan yang “memeras” bawahan dengan “ancaman” tertentu misalnya, juga bagian dari pelanggaran syariat Islam, sebab syariat Islam menolak keras segala bentuk pemerasan.
Hal lainnya yang sering terabaikan dalam lingkungan birokrasi adalah praktik “bagi hasil yang tidak pada tempatnya.” Praktik ini lazimnya terjadi dalam penentuan pemenang dalam tender proyek tertentu. Sudah “mutawatir” diketahui publik, bahwa dalam prosesi pemenangan ini hampir selalu diwarnai oleh “transaksi fee” dengan jumlah persentase yang sudah disepakati. Praktik-praktik semacam ini meskipun telah dianggap sebagai “tradisi” juga termasuk dalam kategori pelanggaran syariat Islam. Tapi sayangnya, bentuk-bentuk pelanggaran syariat dalam dunia birokrasi sama sekali kurang menjadi perhatian dengan dalih ketiadaan regulasi.
Semoga saja beberapa kepala daerah di Aceh yang selama ini terkesan pro kepada penegakan syariat Islam segera menginisiasi terlaksananya birokrasi syariah di wilayah yang dipimpinnya. Tentunya akan sangat tidak lucu jika ada oknum kepala daerah yang berani mengirimkan surat kepada maskapai penerbangan terkait jilbab misalnya, tetapi ia menjadi “kecut” menerapkan syariat dalam birokrasi yang dipimpinnya.
Dengan terciptanya birokrasi syariah, maka akan membuka jalan bagi penegakan syariat Islam secara kaffah di bumi Aceh. Lahirnya birokrasi syariah adalah salah satu indikator keseriusan pemerintah dan aparatur negara sehingga syariat tidak hanya terjebak dalam teoritik belaka, tapi juga praktik.
Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia
loading...
Post a Comment