Hoax Empire

Foto: marketeers.com


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 05 Januari 2018

Pada tahun 1970an, masyarakat Indonesia sempat digegerkan oleh berita hoax yang disebarkan oleh seorang misterius yang mengaku penjaga kuburan Nabi Muhammad Saw di Madinah. Berita hoax yang disebut-sebut berasal dari Syekh Ahmad itu tersebar luas melalui surat-surat berantai. Dalam surat itu, sebagaimana dicatat Panji Masyarakat (1976), terdapat ancaman bagi yang tidak menyebarkan akan tertimba musibah. Akibat panik, masyarakat kita saat itu pun melakukan penyebaran kabar hoax tersebut secara massal dan menjadi viral di zamannya.

Kegaduhan yang diciptakan oleh surat Syekh Ahmad saat itu telah sukses menciptakan kepanikan massal, sehingga Majelis Ulama Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Prof. Dr. Hamka pun harus mengeluarkan maklumat pada 19 Maret 1976 guna meredam kebingungan masyarakat.

Kutipan di atas hanya contoh kecil, bagaimana kabar bohong (hoax) dapat menguasasi emosi masyarakat sehingga berdampak pada persoalan psikologis. Artinya, sebuah kabar bohong bisa saja menciptakan kegembiraan-kegembiraan semu sekaligus ketakutan-ketakutan tak beralasan disebabkan peredarannya yang masif.

Penting pula diingat, bahwa kualitas hoax akan semakin dianggap bermutu (dianggap benar) jika dalam penyebarannya melibatkan kalangan intelektual  atau setidaknya mengaku intelektual, seperti halnya Syekh Ahmad yang mengaku sebagai penjaga kubur Nabi.

Pada era 70an saja berita hoax dapat tersebar masif, padahal belum didukung oleh teknologi seperti sekarang ini. Nah, bagaimana dengan zaman kita, di mana smartphone telah membanjiri seluruh pelosok tanah air?

Kita menyaksikan sendiri bahwa di zaman android seperti saat ini, penyebaran hoax telah menemukan momentumnya. Atau bahkan sedang menuju puncak kejayaannya.

Ulasan di atas juga hendak menegaskan bahwa sampai kapan pun hoax tetaplah hoax meskipun ditujukan untuk kebaikan semisal surat Syekh Ahmad agar orang-orang segera bertaubat dan meninggalkan perilaku maksiat. Artinya tidak ada alasan apa pun yang bisa digunakan untuk menjustifikasi penyebaran hoax di tengah masyarakat.

Hoax Membangun  

Baru-baru ini, Djoko Setiadi, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) seusai dilantik Presiden Jokowidodo, seperti dirilis detik.com (3/1/2018), mengatakan lembaganya akan turut berperan untuk membasmi hoax yang banyak bertebaran di media sosial.

Namun, kita dikejutkan dengan pernyataan yang bersangkutan terkait klasifikasi hoax. Menurut Setiadi, hoax ada yang positif dan negatif. Setiadi tidak mempermasalahkan jika hoax yang disebarkan itu bersifat membangun (kompas.com, 3/1/17).

Tanpa harus menunggu lama, pernyataan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara terkait hoax membangun pun mendapat respons dan kecaman dari publik. Anehnya, Setiadi justru mencoba mempertahankan pernyataannya dengan argumen yang jauh dari rasional. Ia meyakini bahwa hoax membangun memang memiliki wujud seperti memberikan masukan, ide dan saran konstruktif kepada pemerintah. Keanehan juga semakin menjadi-jadi pada saat Setiadi menyamakan hoax membangun dengan kritik.

Akibat keseleo lidah dan mendapat respons negatif dari publik, akhirnya Setiadi meminta maaf terkait pernyataannya yang cenderung menciptakan kebingungan baru bagi publik. Tapi anehnya, sikap Setiadi dalam meralat pernyataannya justru terlihat kekanak-kanakan dengan menyebut aksinya sebagai sebuah upaya mengetes reaksi publik. Dan anehnya lagi, seperti dicatat kompas.com (4/1/18), aksi keseleo lidah itu justru dianggap sukses oleh Setiadi karena pernyataannya mendapat tanggapan luas dari masyarakat.

Keadaan semakin runyam ketika aksi nyeleneh Kepala Badan Siber ini juga mendapat tanggapan dari Menteri Komunikasi dan Informatika yang menyebut tugas BSSN tidak terkait dengan hoax, tapi fokus pada keamanan siber (bbc.com, 4/1/18).

Di sini terlihat keteledoran seorang Kepala Siber yang terkesan tidak memahami dengan baik tupoksinya sehingga menjalar ke ranah yang berada di luar kewenangannya.

Merusak Akal Sehat

Di tengah teknologi komunikasi dan gencarnya arus informasi yang semakin tidak terbatas seperti sekarang ini, gelombang hoax pun semakin berembus menembus seluruh pelosok negeri.

Di sini dibutuhkan kearifan, tidak hanya dari pengguna media sosial yang semakin membeludak, tetapi juga dari pemerintah sendiri yang punya otoritas untuk menjaga kejernihan informasi agar tidak simpang siur.

Kesadaran untuk melawan hoax harus dimulai dari pemerintah sendiri dengan mengontrol setiap kebijakannya agar terbebas dari unsur-unsur pencitraan sehingga produk-produk hoax ala penguasa dengan tujuan politis dapat dicegah sejak dini. Artinya, jika penguasa sendiri terjebak dalam produksi hoax demi kepentingan politiknya, maka sangat naïf jika masyarakat dipaksa untuk anti hoax.

Sementara itu, kebebasan bereskspresi yang bergulir pasca reformasi pun telah dibajak oleh oknum-oknum tertentu yang kemudian turut berkontribusi dalam penyebaran hoax di tanah air.

Kemunculan beberapa media abal-abal yang tidak jelas sanad rawinya pun turut menyumbang kebingungan baru di tengah pengguna media sosial, di mana nalar kritis sama sekali terabaikan. Kabar-kabar bohong sedemikian bebasnya berseliweran melalui beranda-beranda media sosial yang kemudian diakses dengan mudahnya oleh segala usia, tanpa sekat.

Jika dicermati, negeri kita saat ini juga telah berada di ambang darurat hoax. Oleh sebab itu, pernyataan-pernyataan ngawur seperti diutarakan Kepala BSSN justru akan memberi peluang bagi penyebar hoax untuk mengepakkan sayapnya. Akhirnya larutlah kita dalam hempasan hoax yang tiada akhir.

Untuk itu, harus dibangun kesadaran semesta dari semua pihak, tak terkecuali pemerintah, agar pintu-pintu penyebaran hoax dapat ditutup rapat. Menciptakan hoax adalah kejahatan, menyebarkan hoax pun kejahatan. Demikian pula mengonsumsi hoax dengan meninggalkan nalar kritis pun sebuah kejahatan.

Dalam hal ini, kita harus sepakat bahwa menjustifikasi keberadaan hoax hasanah seperti dilakukan Kepala BSSN adalah tindakan yang absurd. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain, kecuali menolak segala bentuk hoax, meskipun terkesan positif.

Untuk menutup pintu hoax, kampanye literasi harus terus digalakkan. Media-media maenstream juga harus senantiasa selektif dalam menyebarkan informasi agar tidak terjebak dalam pusaran hoax.

Demikian pula dengan para pengguna media sosial juga harus menggunakan nalar kritisnya dalam menerima setiap informasi agar tidak tidak larut dalam berita-berita bohong. Wallahul Mustaan.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan. 


loading...

No comments