The Power of Singklet Gaki
Oleh: Khairil Miswar
Banda Aceh, 04 Juli 2017
Mungkin tidak berlebihan jika ada segelintir pihak yang menuding kita sebagai bangsa peniru. Kita boleh saja tidak sepakat dengan tudingan ini, tapi hampir setiap waktu kita berhadapan dengan realitas teumiree (meniru). Contoh paling aktual mungkin dapat kita saksikan sendiri dalam dunia musik Aceh. Dengan pengecualian beberapa kelompok musik etnik, hampir sebagian besar lagu-lagu Aceh merupakan copy paste dari musik India dengan hanya mengubah syair dalam bahasa Aceh. Sehingga tidak heran jika seorang penyanyi bisa mengeluarkan empat sampai lima album dalam setahun.
Perilaku teumiree tentu tidak hanya terjadi dalam dunia musik Aceh, tetapi juga merambah dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kita. Sepintas, memang tidak ada yang salah dengan kebiasaan teumiree, apalagi jika yang ditiree (ditiru) tersebut sesuatu yang baik. Tetapi jika dikaji “beberapa pintas”, tradisi ini justru dapat menghilangkan identitas – karena tanpa sadar kita telah menjelma menjadi sosok yang lain – yang pada hakikatnya bukan lagi kita. Padahal Allah telah memberikan kita akal sebagai penuntun agar kita tidak terjebak dalam kebiasaan temire.
Di Aceh sendiri berkembang sejenis hadih maja: “hanjeut temire tapi meuguree” (tidak boleh hanya meniru, tapi harus berguru). Hadih maja ini berisi pesan moral bahwa kebiasaan meniru secara membabi buta akan mengurung kita dalam ketidaktahuan yang abadi. Oleh sebab itu kita diarahkan untuk meugure agar kita memperolah sebuah pemahaman yang utuh.
HAMKA dalam salah satu tulisannya juga pernah berpesan agar kita tidak menjadi Pak Turut yang kerjanya hanya menurut (meniru), karena pada hakikatnya Pak Turut adalah binatang ternak. Perumpamaan binatang ternak yang digunakan HAMKA bermakna jahil, karena proses menurut dan meniru cenderung menepikan peran akal.
Secara psikologis, kekaguman seseorang terhadap idolanya dapat memunculkan sikap meniru guna memperteguh sebuah kekaguman. Dengan demikian, tidak heran ketika ada sebagian da’i yang sampai saat ini masih meniru gaya bicara Zainuddin MZ. Demikian pula dengan para tokoh muda yang “menjiplak” gaya orasi Soekarno. Bahkan dalam kondisi ekstrim, ada sebagian pengagum yang rela melakukan operasi plastik agar wajahnya mirip dengan sang Idola. “Kegilaan” ini di antaranya pernah dilakukan oleh seorang warga Filipina, Herbert Chavez yang menghabiskan dana puluhan juta agar wajahnya mirip Superman.
Baru-baru ini, jagad maya Aceh juga sempat dihebohkan dengan praktik teumiree yang dilakukan oleh sebagian netizen di media sosial. Dalam seminggu terakhir, banyak beredar foto dari beberapa netizen dengan gaya singklet gaki (menyilangkan kaki). Kononnya, “kelatahan massal” ini muncul dalam rangka meniru gaya yang dilakukan oleh Gubernur Aceh terpilih (Irwandi Yusuf) dan juga wakilnya (Nova Iriansyah).
Bahkan riwayat tentang singklel gaki style sempat diberitakan secara khusus oleh Serambi Indonesia (04/07/17). Dalam ulasannya, SI menyebut kehebohan singklet gaki style tersebut dipopulerkan oleh Irwandi Yusuf. Akhirnya, dengan bantuan peradaban maya, singklet gaki style menjadi viral dan ditiru oleh para pengagumnya. Seperti telah disinggung di atas bahwa fenomena ini adalah sebuah perwujudan kekaguman yang telah memuncak.
Aboe Bakar dkk (1985: 885) dalam Kamus Aceh-Indonesia menjelaskan bahwa kata singklet berarti sengkelit, membelit dan sengkarut. Dengan demikian, singklet gaki dapat dipahami sebagai perbuatan menyilangkan kaki. Singklet gaki ini sendiri tidak hanya dilakukan dalam posisi berdiri sebagaimana dipraktekkan Irwandi Yusuf, tetapi bisa pula dilakukan dalam posisi duduk.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, praktik singklet gaki sering dilakukan dalam keadaan santai atau sedang beristirahat. Kita tentu sering menyaksikan para penghuni kedai kopi yang menikmati suasana santai dengan singklet gaki.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana orang Aceh melihat singklet gaki? Pada umumnya aksi singklet gaki yang dilakukan di hadapan teman-teman sebaya tidak memunculkan kesan apa-apa dan cenderung dipandang biasa saja, apalagi jika kita sama-sama melakukan singklet gaki bareng.
Kondisi ini akan berbeda ketika aksi singklet gaki dipraktikkan di hadapan orang tua atau pun orang-orang terhormat. Aksi singklet gaki di hadapan orang-orang dimaksud cenderung dianggap tidak sopan, apalagi jika dilakukan dalam posisi duduk. Tidak jarang kita akan “diteror” jika melakukan singklet gaki di hadapan mereka. “Kaputren gaki, bek hana adab” (turunkan kaki, tidak ada adab), demikian kalimat “teror” yang sering kita dengar ketika aksi singklet gaki dilakukan di tempat yang salah.
Bahkan ketika masih kecil, sebagian kita sering diperingatkan agar tidak singklet gaki ketika tidur. Ada satu keyakinan dari sebagian masyarakat Aceh bahwa singklet gaki ketika tidur akan mengundang petaka. Di antara contoh yang sering diajukan, ketika bermimpi dikejar hantu, kita tidak bisa berlari karena gaki meusingklet.
Dari sini, dapat dipahami bahwa aksi singklet gaki cenderung multi tafsir. Terkadang singklet gaki sering disimbolkan sebagai sikap tenang. “Bek le kasingklet gaki, teuntra kaditamong (jangan santai lagi, tentara sudah masuk). Aktivitas singklet gaki juga sering dimaknai sebagai kondisi ketidakwaspadaan dan bermalas-malasan. “Ujeun raya, pu lom kasingklet gaki, kakuet laju padee” (hujan lebat, jangan lagi santai, cepat kumpulkan padi). Dan dalam kenyataan sosial masyarakat Aceh, singklet gaki cenderung dimaknai secara negatif dan sering dihubungkaitkan dengan nilai-nilai kesopanan.
Nah, terlepas dari khilafiyah pemaknaan, kira-kira ada apa di sebalik the power of singklet gaki Irwandi? Tentu ada ragam jawaban yang akan muncul ketika pertanyaan ini diajukan. Dan yang pasti, penafsiran terhadap singklet gaki ala Irwandi hanya diketahui oleh Irwandi sendiri, sementara kita hanya bisa menebak-nebak dengan ragam asumsi.
Kita hanya bisa berharap, pasca dilantik hari ini (05/07/17), Irwandi akan menggunakan segenap kekuatan dan keunikan yang dimilikinya untuk membangun Aceh lima tahun ke depan. Semoga saja gaya singklet gaki yang sempat menjadi viral tersebut hanya sekedar hiburan belaka dan bukan simbol “kemalasan” atau pun “sinyal” untuk bersantai ria. Dan jika merujuk kepada pola kepemimpinannya pada periode 2006-2011, maka hampir dapat disimpulkan bahwa Irwandi bukan tipikal beu-o seu-iet (malas-jinak?), tapi ia adalah seorang pekerja.
Dengan gaki meusingklet, Irwandi harus terus berpacu dengan waktu agar janji-janji di musim kampanye dapat terealisasi sebelum masa kepemimpinannya berakhir. Dan sebaliknya, pasca pelantikan hari ini, para tim sukses justru harus meninggalkan aksi singklet gaki sebagai sebuah “tabiat” dengan memposisikan diri sebagai benalu yang merusak harapan masyarakat Aceh. Selamat bertugas Kapitan!
Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend
loading...
Post a Comment