Meredam Perilaku Bullying di Sekolah

Gambar: NIH


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 19 September 2023

Secara teoritik, bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti baik secara verbal, fisik maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya (Sejiwa dalam Zakiyah dkk, 2017). Salah satu karakteristik yang membedakan bullying dengan kekerasan lainnya adalah pada aksi yang dilakukan secara berulang sehingga menimbulkan trauma pada korban (Aini, 2018). Dalam konteks psikologis bullying melibatkan pelaku dengan posisi “lebih kuat” yang kemudian melakukan pemaksaan, kekerasan dan dominasi kepada sosok yang dianggap “lemah.” Dalam hal ini, korban bullying biasanya berasal dari sosok “marginal” yang diposisikan sebagai subordinat oleh pelaku yang agresif dan impulsif. Biasanya pelaku bullying adalah sosok yang populer dan memiliki kekuatan secara fisik dan juga memiliki hasrat untuk mendominasi, sementara korban umumnya terdiri dari sosok-sosok yang lemah dan kurang percaya diri. Ketidakseimbangan kepribadian inilah yang kemudian memberi peluang bagi muncul dan bertahannya aksi bullying oleh dan terhadap anak di sekolah.

Menurut Zakiyah (2017), dampak dari tindakan bullying dapat memunculkan masalah kesehatan bagi korban, baik secara fisik maupun mental seperti depresi. Sementara menurut Hana dan Suwarti (2019), dalam konteks psikologis, korban bullying akan mengalami beberapa dampak psikologis yaitu dampak kognitif (kehilangan konsentrasi belajar), dampak afeksi (sedih, marah, malu dan dendam) dan dampak konatif (membalas dendam). Dampak-dampak dimaksud tentunya bisa merusak mentalitas dan masa depan korban.

Perilaku bullying dapat muncul di mana saja, baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan sosial. Faktor yang melatarinya pun demikian, bisa dari keluarga, iklim sekolah dan juga kondisi lingkungan. Dalam keluarga, seorang anak yang kerap dimarahi dan mendapat kekerasan dari orangtua akan berpotensi menjadi sosok agresif yang akan melimpahkan kemarahan dan kekesalannya kepada teman-teman sebaya. Demikian pula di sekolah; tidak adanya rasa aman dan lemahnya pengawasan dari guru juga akan melahirkan anak-anak yang suka membully teman-temannya. Hal serupa juga disebabkan oleh lingkungan yang minus empati dan kurang komunikatif yang selalu memosisikan anak-anak sebagai sosok subordinat.

Dalam konteks kekinian, aksi bullying juga turut dipengaruhi oleh perkembangan media sosial yang semakin masif. Aksi-aksi kekerasan dan aksi prank yang kerap ditonton anak melalui layar gadget dalam kondisi tertentu juga bisa memicu agresivitas anak, di mana tindakan bullying tersebut akan dianggap sebagai tren dan lelucon belaka. Secara psikologis, kondisi yang berlarut-larut seperti ini bisa menumbuhkan sikap antipati dari anak di kemudian hari.

Beberapa Langkah Pencegahan 

Untuk pencegahan bullying dalam keluarga dapat dilakukan setiap orangtua dengan cara membangun hubungan dialogis dan terbuka dengan anak. Sikap empati, peduli kepada sesama dan percaya diri mesti ditanamkan sejak dini oleh orangtua. Sikap-sikap demikian mestinya diajarkan melalui keteladanan dari orangtua itu sendiri. Sebisa mungkin orangtua tidak memosisikan anak sebagai subordinat agar anak merasa dihargai sehingga nantinya ia pun bisa menghargai teman-temannya.

Di lembaga pendidikan, aksi bullying dapat diminimalisasi melalui perbaikan iklim sekolah. Semakin baik iklim sekolah akan berdampak pada semakin rendah potensi bullying. Sebaliknya semakin buruk iklim sekolah, maka akan semakin tinggi pula potensi bullying (Magfirah dan Rachmawati, tt). Karena itu setiap sekolah berkewajiban menumbuhkan sikap empati anak melalui program-program humanis yang diiringi dengan bimbingan khusus kepada anak yang terlihat agresif dan menegaskan bahwa sekolah melarang perilaku bullying. Jika ini tidak dilakukan, maka anak pelaku bullying akan merasa tindakannya mendapat legitimasi akibat pembiaran yang dilakukan pihak sekolah. Demikian pula bagi anak yang menjadi korban bullying juga mesti diberikan pendampingan dan rehabilitasi psikologis guna meminimalisasi dampak buruk seperti depresi dan bunuh diri. Rehabilitasi psikologis ini diharapkan bisa menumbuhkan kembali rasa percaya diri korban.

Di lingkungan sosial, pencegahan perilaku bullying dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif, komunikatif dan ramah anak sehingga sikap empati, peduli dan saling menghargai akan tumbuh dengan sendirinya.

Upaya Damai

Mencermati sejumlah kasus bullying dan kekerasan antarsiswa akhir-akhir ini, secara umum penyelesaian yang dipilih adalah upaya damai, di mana pihak korban memaafkan pelaku. Di sini pihak sekolah kerap mendorong kedua pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cara kekeluargaan. Dalam aksi “kekerasan ringan,” upaya semacam ini tentu tidak menjadi masalah. Namun, dalam aksi bullying dan kekerasan yang menyebabkan korban (anak) mengalami tekanan mental, cacat fisik atau pun luka parah, apalagi sampai menyebabkan kematian, tentu tidak bisa diselesaikan dengan asas kekeluargaan.

Dalam hal ini, anak yang terlibat sebagai pelaku bullying mesti diberi hukuman, baik hukuman yang bersifat pendidikan seperti dikeluarkan dari sekolah, atau, jika perlu hukuman pidana. Hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera agar pelaku tidak lagi mengulangi perbuatan tersebut, dan juga untuk memberi penguatan pada korban, bahwa ia tidak sendirian. Penguatan kepada korban adalah hal terpenting dan mesti menjadi prioritas agar dia tidak menyimpan dendam dan kebencian yang dapat mengubah perilakunya sebagai sosok agresif di masa depan.

Artikel ini telah terbit di Harian Analisa pada 20 Oktober 2023.


loading...

No comments