“Mafia Tramadol”



Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 02 Oktober 2023

Kematian Imam Masykur beberapa waktu lalu, yang melibatkan oknum TNI sebagai pelaku, telah berimplikasi pada dua hal. Pertama, menyembulnya memori kolektif masyarakat Aceh tentang “brutalitas” tentara di masa konflik, dan kedua, tersingkapnya sindikat obat-obatan ilegal. Dua hal yang saling berkelindan ini telah menyita perhatian publik, khususnya di Aceh. Di satu sisi peristiwa ini sempat mendorong terjadinya aksi “bullying” terhadap institusi TNI di media sosial, sementara di sisi lain, masyarakat Aceh juga merasa “dipermalukan” dengan pernyataan-pernyataan bernuansa “rasialisme” oleh sejumlah pihak terkait perdagangan obat-obatan ilegal.

Menyikapi hal ini, tokoh-tokoh Aceh yang duduk di Senayan juga tidak menunjukkan kebulatan sikap. Mereka seperti berjalan sendiri-sendiri dengan perspektif masing-masing yang saling bertentangan satu sama lain. Hal ini membuat publik di Aceh dilanda “kecemasan” dan “kebingungan.” Pro kontra terkait peristiwa ini juga terus menyeruak. Sebagian publik mengharapkan pihak TNI untuk fokus pada penegakan hukum dan tidak terjebak pada motif sehingga mengaburkan masalah, sedangkan sebagian lainnya mendesak aparat penegak hukum untuk membongkar habis sindikat obat ilegal yang melibatkan orang Aceh di sana.

Kasus Pembunuhan

Di awal-awal berita ini tersiar di media, sebagian besar masyarakat Aceh menyalurkan kemarahannya pada institusi TNI. Alasannya sederhana, karena tiga anggota TNI terlibat sebagai pelaku utama. Di sini, memori kolektif masyarakat Aceh tentang “kekejaman” aparat TNI di masa lalu (DOM dan Darurat Militer) kembali meletup. Hal ini menyebabkan munculnya tudingan negatif kepada TNI. Kondisi ini diperparah dengan narasi bernuansa “provokatif” yang tersebar liar di media sosial, khususnya TikTok, bahwa TNI kembali menabuh genderang perang dengan masyarakat Aceh. Padahal, tindakan itu dilakukan oleh oknum dan sama sekali tidak mewakili institusi TNI. Namun, di media sosial hal-hal semacam itu kurang mendapat perhatian, sebab netizen lebih mengedepankan emosi ketimbang berpikir rasional.

Syukur, narasi desktruktif itu tidak berlangsung lama. Terungkapnya identitas pelaku, di mana ketiga oknum TNI tersebut juga berasal dari Aceh, telah berkontribusi pada menurunnya tensi kemarahan publik kepada institusi TNI. Dalam hal ini, motif pembunuhan mulai dibicarakan, di mana perhatian publik mulai terbelah; tidak hanya menyasar tindakan pelaku, tapi juga aktivitas korban. Hal ini ditunjukkan dengan semakin ramainya perbincangan tentang “bisnis Tramadol” di media sosial, yang disebut-sebut menjadi pemicu aksi pemerasan dan penganiayaan yang berujung pembunuhan korban Imam Masykur.

Namun begitu, solidaritas terhadap korban terus terbentuk. Keberadaan media sosial berkontribusi besar pada terbentuknya solidaritas ini. Bahkan, di Aceh sendiri, rumah korban tak pernah sepi dikunjungi oleh sejumlah kalangan, mulai dari masyarakat biasa, aktivis, politisi sampai dengan tokoh-tokoh agama, di mana mereka mendesak pihak TNI untuk menghukum para pelaku dengan hukuman maksimal. Momen ini juga digunakan “sangat” baik oleh sejumlah oknum politisi lokal dengan menunjukkan keprihatinan pada keluarga korban.

Informasi terakhir, pihak TNI, sebagaimana dilansir kompas.com (5/9/23) juga sudah menyatakan persetujuan mereka agar kasus itu diadili melalui peradilan koneksitas. Tentu ada harapan besar dari masyarakat agar kasus ini dapat dituntaskan dan tidak menguap di tengah jalan. Hal ini bukan saja untuk kepentingan korban, tapi juga demi kredibilitas institusi TNI di mata publik, di mana, di usia reformasi yang semakin tua, aksi-aksi premanisme bernuansa militeristik yang melibatkan oknum TNI memang sudah sepatutnya diakhiri.

Mafia Tramadol

Kita semua sepakat bahwa penegakan hukum kepada para pelaku pembunuhan mestilah menjadi agenda utama guna tercapainya keadilan bagi keluarga korban. Artinya, motif terkait perdagangan obat ilegal jangan sampai mengaburkan kasus pembunuhan yang sudah terlihat terang. Dengan alasan apa pun, penghilangan nyawa orang lain tetap tidak bisa dibenarkan. Adalah tugas BPOM untuk mengawasi peredaran obat ilegal dan tugas kepolisian untuk melakukan penindakan secara prosedural. Dalam hal ini, institusi TNI mesti menertibkan anggotanya agar tidak melakukan hal-hal di luar kewenangannya.

Namun, di sisi lain, secara beriringan, sindikat perdagangan obat-obatan ilegal juga mesti dibongkar hingga ke akar-akarnya. Pernyataan beberapa tokoh Aceh di Jakarta setidaknya  bisa menjadi informasi awal untuk kemudian dikuak secara tuntas. Dalam hal ini, pernyataan mantan kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) TNI, Soleman B. Ponto yang menyebut korban juga terlibat dalam sindikat tersebut harus diselidiki lebih dalam. Selain itu, beredarnya sejumlah informasi di media sosial dan grup-grup WA terkait keterlibatan oknum organisasi masyarakat Aceh dalam kasus ini juga mesti disingkap agar persoalan menjadi terang.

Peredaran obat-obatan terlarang yang melibatkan orang Aceh sebenarnya bukan hal baru. Dua tahun sebelumnya sebagaimana dilansir sejumlah media, pihak kepolisian telah menangkap beberapa pelaku yang disinyalir sebagai pengedar dan penjual obat-obatan terlarang tersebut, di mana beberapa pelakunya adalah orang Aceh. Terlepas dari berbagai motif yang menjebak mereka dalam perilaku ini, yang jelas memperjual belikan obat-obat terlarang tetaplah kejahatan yang tidak boleh ditoleransi, di mana pelakunya harus dihukum sesuai aturan yang berlaku.

Stereotip

Penyelidikan kasus ini diharapkan tidak hanya berhenti pada pelaku perdagangan obat ilegal, tapi juga melacak siapa saja yang membekingi sindikat ini sehingga akan diketahui ke mana saja “uang haram” itu mengalir. Hal ini penting agar tidak terbangun stereotipe bahwa orang Aceh identik dengan perdagangan barang-barang terlarang semisal ganja, sabu-sabu dan saat ini: tramadol. Indikasi ke arah ini setidaknya terbaca dari pernyataan Soleman B. Ponto yang menyebut 60 toko penjual obat ilegal berkedok kosmetik di Jakarta semuanya melibatkan orang Aceh. Kita tentu tidak mau jika pernyataan ini menjadi stereotipe di kemudian hari. Karena itu, pihak kepolisian mesti mengungkap kasus ini seterang-terangnya.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 13 Oktober 2023.

loading...

No comments