Manusia dan Kekejaman
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 17 September 2023
Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness menulis bahwa, ada dua bentuk agresi pada manusia: agresi defensif dan agresi jahat. Agresi dalam bentuk pertama juga ada pada binatang dalam bentuk insting. Agresi ini muncul ketika kepentingan hayati hewan tersebu terancam. Ada pun agresi kedua (agresi jahat), yaitu kekejaman, hanya dimiliki oleh makhluk bernama manusia. Dalam beberapa kasus agresi model ini cenderung tidak memiliki tujuan yang jelas, dan hanya sebatas dorongan nafsu.
Lebih lanjut
Fromm (2015) menjelaskan bahwa manusia tidak sama dengan binatang. Manusia
adalah satu-satunya primata yang sanggup membunuh spesiesnya sendiri tanpa
alasan yang jelas, baik alasan biologis maupun ekonomis. Uniknya manusia
mendapatkan kepuasan dari aksinya tersebut. Selain itu, kekejaman yang dimiliki
manusia bukanlah dorongan insting (untuk bertahan hidup), melainkan suatu
hasrat yang berasal dari eksistensi total manusia. Dengan kata lain,
kekejaman dalam bentuk penyiksaan tidak dimiliki oleh binatang dan merupakan
agresi khas manusia.
Untuk
menggambarkan agresi jahat ini, Fromm juga menolak pernyataan Hobbes yang
mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain. Fromm menegaskan bahwa
sebuas-buasnya serigala, mereka tidak menyerang spesiesnya sendiri. Mereka
hanya menyerang spesies lain dalam rangka mempertahankan diri (defensif).
Karena itu, penggunaan nama “serigala” sebagai simbol kekejaman dan
keberingasan adalah tidak tepat.
Demikian
juga dengan tuduhan “primitif” terhadap perilaku kekejaman juga tidak didukung
oleh fakta-fakta yang ada. Ada banyak riset yang menyebut bahwa masyarakat
primitif adalah masyarakat yang sangat menghindari perang. Mereka tidak
melakukan penyerangan terhadap pihak lain kecuali jika mereka sendiri yang
diserang; dalam hal ini masyarakat primitif melakukan upaya defensif.
Menurut
sejumlah riset, intensitas perang justru lebih banyak ditemui dalam masyarakat
yang telah memiliki peradaban. Dengan kata lain, dibanding masyarakat primitif,
masyarakat modern memiliki lebih banyak alasan untuk berperang atau menyerang
pihak lain. Ekonomi, sosial dan politik adalah beberapa contoh alasan yang bisa
mendorong satu pihak menyerang pihak lain. Alasan-alasan semisal ini tentunya
tidak dimiliki oleh masyarakat primitif.
Kekuasaan
Hal lain
yang bisa mendorong manusia melakukan kekejaman terhadap sesamanya adalah
kekuasaan. Dalam hal ini, kekuasaan acap kali menjadi “energi” untuk
melumpuhkan pihak yang lebih lemah. Perasaan superior ini kerap dipraktikkan
kepada pihak yang lebih lemah sebagai bentuk show of power. Kondisi ini pastinya tidak ditemui dalam kehidupan
binatang atau masyarakat primitif. Hanya manusia modern yang memiliki imajinasi
demikian. Karena itu, apa yang dikemukan Fromm menjadi benar belaka.
Apa yang
diungkapkan Fromm dapat ditemui dalam berbagai kasus kejahatan HAM seperti
terjadi pada era DOM di Aceh. Ada banyak rupa penyiksaan yang sulit
dibayangkan, namun benar-benar terjadi. Dalam konteks kekinian, kekejaman
hampir serupa juga bisa disaksikan dalam sejumlah aksi kriminal yang marak
terjadi di tanah air.
Kasus
pembunuhan yang diawali penyiksaan dan terkadang berujung pada multilasi dengan
sangat jelas menggambarkan sisi destruktif yang dimiliki manusia.
Kedestruktifan dalam hal penyiksaan ini sama sekali tidak ditemui dalam
kasus-kasus yang melibatkan binatang. Artinya binatang tidak memiliki cukup
“kreativitas” untuk melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap korbannya;
berbeda dengan manusia yang dibekali dengan hasrat dan imajinasi sehingga ia
mampu melakukan tindakan brutal dan sadis.
Pembunuhan
yang diiringi dengan penganiayaan terhadap salah seorang warga Aceh di Jakarta
yang kabarnya dilakukan oknum Paspampres baru-baru ini adalah contoh terbaru
tentang bagaimana penyiksaan oleh dan kepada manusia dilakukan. Dari video yang
beredar terlihat korban dipecut dan dipukuli hingga babak-belur dan
berdarah-darah sampai akhirnya meninggal dunia.
Kasus
penyiksaan yang menimpa Imam Masykur tersebut bukanlah yang pertama. Tahun lalu
seorang ART asal Jawa Tengah, disirami air panas, diikat dan diborgol di
kandang anjing. Pelakunya adalah majikannya sendiri. Penyiksaan yang tidak
kalah brutal juga dialami Hermanto di Sumatera Selatan, di mana pelakunya
adalah oknum polisi setempat. Korban meninggal dunia setelah mengalami lengan sebelah
kanan, hidung, bibir atas dan bawah pecah, leher patah, tangan kanan patah, dan
jari kelingking patah. Sadis.
Dehumanisasi
Dalam
konteks psikologis, salah satu faktor yang mendorng seseorang melakukan
penyiksaan adalah kemarahan. Kondisi emosi tersebut memang kerap membuat
manusia kalap sehingga kesadaran kemanusiaannya menjadi hilang. Dalam kondisi
itulah agresi jahat muncul dan kemudian bermuara pada tindakan-tindakan di luar
nalar.
Bert
Klandermans (2005) mengatakan bahwa kemarahan adalah emosi yang diekspresikan
oleh orang-orang yang menganggap pihak lain sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab atas situasi yang tidak dikehendaki. Penjelasan Klandersmans
ini ingin menegaskan bahwa dorongan amarah dan kemarahan bisa memicu seseorang
untuk melakukan “pembasmian” terhadap sosok yang dianggap sebagai sumber
masalah bagi eksistensi dirinya.
Agar
aksi kekejaman tersebut bisa berlangsung tanpa adanya rasa bersalah, para pelaku
akan terlebih dulu menegasikan unsur-unsur kemanusiaan dari korban yang menjadi
target kekerasan. Dalam hal ini, Hardiman (2005) mengemukakan bahwa martabat
korban kekerasan kerap dinistakan ke taraf hewan, sebagai mangsa dan benda.
Dalam hal ini korban terlebih dulu didehumanisasikan (dibukan-manusiakan), atau
dilucuti atribut-atribut kemanusiaannya sehingga menjadi objek yang kemudian
dipandang sebagai ancaman. Dengan demikian, si pelaku tidak lagi berpikir bahwa
dia sudah melakukan kekejaman atas sesamanya, tapi kepada objek asing yang
memang patut dihancurkan. Dalam hal ini korban kekerasan tidak lagi
diidentifikasi sebagai manusia, tapi sebagai musuh, maling, saingan bisnis,
dukun santet, komunis, aliran sesat dan label-label lainnya.
Memanusiakan Manusia
Pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia memang sudah terkesan klasik dan klise. Namun, tidak ada cara lain selain menumbuhkan kembali unsur-unsur kemanusiaan dalam diri kita masing-masing agar tindakan-tindakan kekejaman terhadap sesama dapat diminimalisasi. Mungkin pendekatan keagamaan bisa menjadi salah satu solusi untuk menumbuhkan kesadaran ini. Karena itu, peran tokoh-tokoh agama menjadi penting. Solusi lain adalah penegakan hukum yang keras dan tanpa ampun terhadap pelaku kekerasan (pembunuhan dan penganiayaan). Namun, realitas penegakan hukum di negeri ini membuat kita sedikit pesimis.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada pada 20 September 2023
Post a Comment