Kejahatan dan Tradisi Maaf yang Kebablasan

Foto: MDA National


Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 03 September 2023

Bicara tentang keluhuran budi bangsa Indonesia, ada dua istilah yang kerap kali kita dengar. Pertama, kita adalah bangsa pemaaf, dan kedua asas kekeluargaan. Dua frasa ini (bangsa pemaaf dan asas kekeluargaan) seolah sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial bangsa kita. Ada banyak ketimpangan dan kejahatan yang kemudian bisa terselesaikan hanya dengan asas kekeluargaan yang dilandasi oleh keyakinan (atau mungkin keangkuhan?) bahwa kita adalah bangsa pemaaf.

Di Aceh, kita mengenal tradisi “peusijuek” yang dalam kebudayaan orang Aceh bukan saja sebagai praktik “ucapan selamat” atau “keberkahan,” tapi juga kerap digunakan sebagai sebuah medium untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai. Dalam hal ini, ritual peusijuk telah dianggap sebagai instrumen penting dalam upacara pemaafan terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan kepada kita, atau sebaliknya, kesalahan kita pada orang lain. Melalui acara ini semua kesalahan dan kejahatan itu seperti dinegasikan dan kedua pihak pun bersalaman dan kemudian berpelukan sembari mengukuhkan bahwa “kita adalah saudara.”

Tidak ada yang bisa membantah bahwa perilaku demikian adalah sangat terpuji. Kita tahu, praktik tersebut bukan saja berasal dari budaya nenek moyang di masa lalu, tapi ia juga berangkat dari ajaran agama yang memang menganjurkan pemeluk-pemeluknya untuk saling memaafkan. Islam sebagai agama yang dianut turun-temurun oleh mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh, memang kerap memberi sinyal tentang mulianya sikap memaafkan, dan bahkan Nabi sendiri sering mempraktikkan perilaku ini ketika menghadapi orang-orang yang membencinya.

Bangsa Pemaaf

Akhir-akhir ini ada banyak sekali kasus kekerasan di Indonesia yang berakhir damai setelah kedua pihak menempuh “jalur kekeluargaan.” Contoh terbaru adalah kasus penganiayaan seorang siswa di Pidie yang sempat viral beberapa waktu lalu. Ketika video itu beredar, semua pihak mengutuk kekerasan tersebut. Namun, ujung-ujungnya kedua keluarga menyatakan berdamai, di mana pihak korban tidak lagi meneruskan kasus ke jalur hukum, dan pihak pelaku membayar sejumlah kompensasi. Di sini, mediator pastinya mendapat aplaus karena dianggap berhasil mendamaikan keduanya.

Dua tahun lalu (2021) kekerasan terhadap anak berusia 13 tahun di Aceh Utara yang melibatkan orang dewasa sebagai pelaku juga berujung damai. Saat itu korban dituduh mencuri tabungan masjid dan lalu si pelaku yang notabene adalah perangkat desa setempat mengikat tangan serta leher korban dan kemudian korban diarak dengan dalih sebagai efek jera agar dia tidak mengulangi lagi perbuatannya. Uniknya kekerasan yang menyisakan trauma pada korban ini justru terselesaikan melalui “jalur kekeluargaan.” Andai saja pemaafan itu diberikan kepada si anak yang diduga mencuri mungkin masih bisa dipahami sebab kejahatan yang ia lakukan masuk dalam kategori kejahatan ringan, dan pelakunya pun masih di bawah umur. Dalam hal ini, pemaafan akan memberi ruang bagi si anak untuk memperbaiki diri. Namun, yang tidak masuk akal adalah pemaafan kepada pelaku penganiayaan yang mana pelaku tersebut adalah orang dewasa yang juga perangkat desa. Hal ini sedikit ironis, sebab tindakan penganiayaan adalah kejahatan berat yang sudah semestinya dihukum, bukan justru dimaafkan. Tapi, asas kekeluargaan tampaknya sukses meleburkan pertimbangan tersebut.

Dua kasus tersebut hanya sekadar contoh dari banyak kasus lainnya yang terjadi di Indonesia, khususnya di Aceh, di mana pemaafan dianggap sebagai solusi paling bijak—sekali lagi—guna mengukuhkan diri bahwa kita adalah bangsa pemaaf. Namun, sejauh mana dampak pemaafan ini berkolerasi pada perubahan perilaku atau terhadap intensitas kejahatan di masa depan tampaknya tidak pernah dipikirkan. Dan, apakah pemaafan yang terkadang bukan pada tempatnya ini dapat mengubah keadaan (meminimalisasi kejahatan) juga tak menjadi pertimbangan.

Perulangan Kejahatan

Tanpa bermaksud menegasikan keutamaan-keutamaan pemaafan, realitas kekinian menunjukkan hal berbeda, di mana pemaafan yang kebablasan kerap memberi peluang kepada pelaku kejahatan untuk mengulangi hal serupa di masa depan. Kenyataan-kenyataan ini dapat dilihat dari sejumlah kasus yang disajikan media, kasus yang kian menyemak dari hari ke hari, di mana praktik kejahatan seperti kekerasan, penganiayaan, bullying dan pelecehan seksual terus saja berulang. Dalam hal ini, kasus-kasus yang sama terus bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Tidak ada yang berubah, kecuali pelaku, tempat dan waktu; sementara perilaku (kejahatan) tetap sama.

Baru-baru ini kasus terbaru kembali muncul. Seorang siswa SMA Modal Bangsa mengalami luka memar dan pendarahan di bagian kepala yang menurut pemberitaan media disebabkan oleh aksi pengeroyokan dan bullying dari kakak kelas. Informasi terakhir, orangtua korban telah melaporkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian setelah sebelumnya menunggu niat baik dari para pelaku. Pernyataan orangtua korban yang dilansir media tentang “menunggu niat baik pelaku” mengesankan bahwa ada potensi ruang maaf bagi para pelaku, walau kemudian ia memilih melaporkan (mungkin karena lelah menunggu). Karena itu, sulit bagi kita untuk menebak, apakah kasus ini juga akan berakhir pada pemaafan yang dilandasi “asas kekeluargaan” atau tetap dilanjutkan ke jalur hukum. Namun, yang jelas, jika kasus ini nantinya juga mengambil jalur yang sama (pemaafan), maka bersiap-siaplah dengan rentetan kasus yang akan tumbuh membiak di hari-hari berikutnya.

Keadilan bagi Korban

Disadari atau pun tidak, pemaafan yang kebablasan memungkinkan munculnya kecenderungan dari para pelaku kejahatan untuk terus mengulang kekerasan dan lalu meminta maaf, dan lalu korban dan publik memaafkannya secara kolektif dengan dalih “asas kekeluargaan.” Dalam kasus-kasus kejahatan ringan, hal demikian mungkin tidak terlalu menjadi masalah—sembari memberi dorongan bagi pelaku untuk berubah. Namun, dalam kejahatan kekerasan, penganiayaan, bullying, pelecehan seksual, apalagi pembunuhan, pemaafan bukanlah cara yang bijak; mengingat korban mengalami cacat fisik, trauma psikologis dan bahkan, dalam beberapa kasus kehilangan nyawa.

Selain itu, kekerasan dan bullying yang korbannya adalah anak-anak bukan tidak mungkin akan melahirkan dampak jangka panjang berupa luka batin yang akan ditanggungnya seumur hidup, di mana penyembuhan luka batin ini bukanlah perkara mudah. Si korban akan memendam energi negatif semisal perasaan dendam yang apabila tidak terbalaskan akan membuat luka batinnya semakin menganga. Dalam hal ini, tindakan pemaafan terhadap pelaku yang umumnya muncul dari keluarga korban (bukan korban) justru akan menghilangkan keadilan bagi korban.

Karena itu, penggunaan asas kekeluargaan dan pemaafan yang kebablasan dalam kasus kejahatan berat seperti kekerasan ada baiknya dievaluasi kembali dengan dua asalan, Pertama, untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban, dan kedua, agar kejahatan tak lagi berulang. Jika hal ini diabaikan—hanya agar kita disebut sebagai bangsa pemaaf—maka berhentilah mengutuk kekerasan yang akan beranak-pinak di masa depan dan bersiap-siaplah mengurut dada. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia pada 7 September 2023

loading...

No comments