Berguru Pada Ade Armando

Sumber: Media Indonesia

Bireuen, 15 April 2022

Oleh: Khairil Miswar 

Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam, Penulis Buku Islam Mazhab Hamok

Ade Armando, seorang pegiat media sosial yang juga dosen Universitas Indonesia diamuk massa saat berlangsungnya demonstrasi di gedung DPR RI pada 11 April lalu. Informasi ini langsung saja viral di media sosial yang kemudian dipenuhi dengan gambar dan rekaman video yang memperlihatkan Ade Armando babak belur dihajar massa. Tidak hanya mendapat kekerasan fisik, sosok yang dikenal kontroversial itu juga sempat “dilecehkan” melalui upaya “penelanjangan” yang dilakukan massa. Menyikapi pemberitaan tersebut beragam komentar pun berhamburan di media sosial. Uniknya, foto beberapa orang yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan juga sempat viral. Anehnya lagi salah seorang yang fotonya sempat viral dan dituding sebagai pelaku justru telah melakukan klarifikasi bahwa ia tidak berada di TKP saat kejadian berlangsung. Aneh memang, tapi demikianlah media sosial memainkan perannya dengan begitu cepat meskipun kerap tak akurat.

Segelintir pihak beranggapan bahwa insiden yang menimpa Ade Armando hanyalah strategi pengalihan isu untuk mengaburkan tujuan demonstrasi sebenarnya, di mana dalam faktanya kemudian, hampir semua media dipenuhi dengan pemberitaan tentang sosok Ade Armando dan insiden yang menimpanya. Dengan kata lain, isu terkait tuntutan mahasiswa yang didengungkan dalam demonstrasi justru redam dan kurang mendapat ruang dalam pemberitaan. Faktanya sejumlah media tampak fokus mengulas insiden dan perburuan pelaku pengeroyokan dan hampir tidak ada media yang merilis tuntutan para mahasiswa. Kondisi demikian menyebabkan munculnya anekdot yang menyebut “demo mahasiswa gagal menurunkan presiden dan hanya mampu menurunkan celana Ade Armando.”

Menyikapi aksi kekerasan itu, sebagian pihak lainnya tampak menyayangkan kehadiran Ade Armando di lokasi demonstrasi dengan menyebut keberadaannya sebagai tidak tepat sehingga memicu provokasi yang berakhir dengan insiden. Hal ini sebabkan karena Ade Armando sendiri telah dianggap oleh sebagian publik sebagai buzzer pemerintah, meskipun belakangan ini ia juga kerap melontarkan kritik kepada pemerintah dan sempat menyatakan dukungannya kepada mahasiwa yang melakukan aksi, namun massa yang telah terprovokasi tentunya tidak dapat dibendung.

Akibat insiden tersebut, sejumlah kalangan menilai bahwa aksi mahasiswa telah disusupi oleh pihak-pihak tertentu sehingga memunculkan aksi anarki yang menimpa Ade Armando dan beberapa aparat kepolisian yang berupaya melakukan penyelamatan. Terlepas benar tidaknya asumsi ini, namun banyak pihak yang menyayangkan kejadian tersebut, apalagi terjadi di bulan suci Ramadan. Dalam hal ini Ade Armando banyak mendapat pembelaan dan dukungan dari sebagian kalangan, di antaranya beberapa kader partai politik, ormas dan pejabat negara. Namun demikian, sejumlah kalangan lainnya justru menyatakan “kegembiraannya” atas insiden yang menimpa Ade Armando dengan dalih sebagai “balasan” atas “kesalahan-kesalahannya” selama ini. Di antara yang berkomentar adalah Gus Nuril sebagaimana dikutip suarabanten.id. Menurutnya Allah telah menghinakan Ade Armando sebagai manusia dan dia juga sempat menyebut bahwa Ade Armando nyaris saja berlebaran di neraka.

Sosok Kontroversial

Bagi pegiat media sosial, Ade Armando bukanlah sosok asing. Ia kerap melontarkan celotehan-celotehan kontroversial di media sosial. Terkadang ia menyindir kelompok tertentu menggunakan narasi-narasi tendensius yang kerap memicu reaksi keras dari publik. Ade Armando juga terkenal dengan komentar-komentar “miringnya” terhadap ajaran agama tertentu sehingga memantik emosi sebagian kalangan, khususnya umat Islam.

Jika disimak, sebagian narasi-narasi yang dilontarkan oleh Ade Armando di media sosial memang sangat sensitif dan menyinggung perasaan kelompok tertentu. Sebagai seorang intelektual, Ade Armando bukannya melemparkan gagasan atau pikiran yang bisa didiskusikan, tapi justru memunculkan wacana-wacana “provokatif” untuk menghakimi dan mengejek kelompok tertentu. 

Narasi-narasi Ade Armando sama sekali tidak membuka ruang diskusi yang produktif tapi malah memperkeruh suasana. Gugatan-gugatan yang ia sampaikan bukan lagi berada dalam koridor penafsiran keagamaan, tapi justru terkesan menggugat kebenaran agama, atau lebih tepatnya melecehkan ajaran agama yang dianut oleh mayoritas publik di Indonesia. Kondisi demikianlah yang membuat Ade Armando menjadi sosok antagonis di mata mayoritas publik.

Selain itu, hampir semua komentar yang ia munculkan hanya berbentuk celotehan singkat bernada tendensius. Seharusnya sebagai intelektual, jika pun ia ingin berbeda pendapat dengan mayoritas publik, ia bisa menyusun pemikiran kritisnya secara ilmiah dan utuh sehingga gagasan itu menjadi layak didiskusikan dalam konteks akademis. Namun sayangnya, Ade Armando tidak pernah melakukan itu. Di sini terlihat jelas bahwa komentar-komentar yang ia lontarkan memang tidak dimaksudkan untuk objek diskusi dalam bingkai akademis, tapi hanya sebatas untuk memancing emosi publik.

Jika disimak, apa yang dilakukan oleh Ade Armando belakangan ini sama sekali berbeda dengan strategi yang pernah dibangun oleh Ulil Abshar Abdala di masa-masa sebelumnya. Meskipun sosok disebut terakhir juga pernah membuat heboh jagat pemikiran Islam di Indonesia, namun ia (Ulil) melakukannya dengan cukup baik. Terlepas kita sepakat atau tidak dengan pemikiran Ulil masa itu, namun dalam faktanya Ulil mampu menyajikan narasi-narasi kritisnya melalui argumen-argumen yang berbasis ilmiah, bukan hanya dengan komentar singkat seperti yang dilakukan Ade Armando saat ini.

Selain itu, sosok Ulil yang memiliki basic agama yang kuat, oleh sebagian pihak juga dianggap memiliki “otoritas ilmiah” untuk mengajukan pemikiran-pemikiran kritisnya kepada publik, terlepas apakah kemudian pemikiran itu diterima atau ditolak, tapi yang jelas ia melakukannya dengan tekun dan berbasis keilmuan. Kondisi ini berbeda dengan Ade Armando yang sama sekali tidak dikenal memiliki basic keilmuan dalam bidang keagamaan sehingga pemikiran-pemikiran kritisnya terhadap ajaran agama tentunya sama sekali tidak memiliki “legal standing” alias tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, selama ini Ade Armando telah masuk dalam ruang perdebatan di mana ia sama sekali tidak memiliki otoritas ilmiah. Konsekuensinya pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Ade Armando selama ini menjadi tidak layak didiskusikan dan justru pernyataan-pernyataan tersebut bisa menjurus kepada penodaan agama.

Kekerasan Massa

Di negara modern, kekerasan dalam bentuk apapun dengan dalih apapun tentunya tidak bisa ditolerir, sebab ia adalah pelanggaran hukum. Namun demikian, dalam kasus Ade Armando, insiden tersebut tidak bisa dilihat hanya sebagai kekerasan belaka, sebab di belakangnya ada banyak sekali rentetan peristiwa yang saling terkait sehingga kasus ini pun menjadi kompleks dan harus dilihat secara holistik. 

Pada 2017, akibat pernyataannya Ade Armando pernah menjadi tersangka kasus penistaan agama. Namun sayangnya kasus ini kemudian kabur dan tidak jelas kelanjutannya hingga saat ini sehingga muncul anggapan bahwa Ade Armando kebal hukum karena dianggap memiliki kedekatan dengan penguasa. Bisa jadi kondisi inilah yang membuat amarah publik semakin memuncak sehingga berakhir pada insiden yang tidak diharapkan. Lemahnya penegakan hukum terhadap sosok seperti Ade Armando bisa saja menjadi pemicu ketidakpercayaan publik pada hukum yang ada sehingga hukum rimba pun berjalan secara insidental dan tanpa direncanakan. Wallahu a’lam.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments