Predator Seks Pantas Dihukum Mati

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 6 April 2022

Foto: detik.com
Kita patut mengapresiasi keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang menjatuhkan vonis mati kepada pelaku kejahatan seksual, Herry Wirawan, yang telah memerkosa 13 santri beberapa waktu lalu. Keputusan ini sendiri memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bandung yang sebelumnya menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada terdakwa. Dalam putusan banding tersebut, hakim juga mewajibkan kepada terdakwa untuk membayar restitusi kepada para korban. Dalam konteks menegakkan keadilan bagi para korban, hukuman demikian sudah sangat tepat mengingat perbuatan pelaku yang masuk dalam kategori biadab dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Meskipun hukuman tersebut tidak akan mampu memulihkan trauma dan menjamin masa depan korban, namun dalam konteks hukuman, putusan tersebut sudah terbilang maksimal demi terjaganya martabat korban dan juga memberi efek jera kepada pelaku plus pelajaran kepada oknum pelaku kejahatan seksual lainnya yang masih berkeliaran di luar sana. Dalam hal ini, hakim telah berpihak pada keadilan dengan memosisikan tindakan pelaku sebagai kejahatan luar biasa yang telah mencabik-cabik martabat kemanusiaan dan merusak masa depan korban.

Namun anehnya, di tengah keputusan yang menggembirakan ini, ada pihak-pihak yang justru menolak putusan tersebut dengan dalih bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Penolakan putusan ini di antaranya disampaikan oleh Komnas Perempuan yang dengan tegas menolak hukuman mati karena dianggap bertentangan dengan norma internasional dan HAM. Menurut mereka putusan pembayaran restitusi kepada korban yang dibebankan kepada pelaku kejahatan seksual itu sudah memadai dan merupakan bentuk putusan maksimal, tanpa harus adanya hukuman mati.

Pernyataan demikian tentunya sangat kontradiktif dengan semangat penegakan hukum kepada para pelaku kejahatan seksual. Padahal, seperti dicatat kompas.com, sepanjang tahun 2021 telah terjadi 6.547 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga merilis laporan bahwa sepanjang tahun 2021 telah terjadi 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan di mana 15,2 persennya adalah kekerasan seksual. Menurut data BPS dalam rentang waktu 2016 sampai 2020 kasus perkosaan dan pencabulan meningkat 31 persen. Pada 2016 tercatat 5.237 kasus dan pada 2020 menjadi 6.872 kasus.

Di tengah kondisi kejahatan seksual yang demikian parahnya, Komnas Perempuan justru mengeluarkan statemen yang terkesan tidak bersimpati kepada para korban dan justru tampak bersimpati kepada pelaku kejahatan. Padahal tujuan utama lahirnya Komnas Perempuan adalah untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan menegakkan hak asasi perempuan Indonesia. Kehadiran Komnas Perempuan juga dimaksudkan untuk mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan juga melindungi hak-hak perempuan. Dengan demikian, pernyataan Komnas Perempuan yang menolak hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual adalah sikap ambigu di tengah maraknya aksi kejahatan seksual.

Di satu sisi, Komnas Perempuan bercita-cita melindungi hak-hak perempuan, namun di sisi lain justru bersikap “lemah lembut” kepada para pelaku kejahatan terhadap perempuan dengan dalih Hak Asasi Manusia. Padahal, justru tindakan pelaku kejahatan itulah yang telah melanggar HAM para korban dan merusak masa depan mereka. Beban traumatis ini akan terus mereka tanggung seumur hidup. Lantas bagaimana mungkin dengan alasan HAM para penjahat seksual itu dibebaskan dari hukuman mati dan hanya membayar restitusi? Terlebih lagi pelakunya adalah sosok yang seharusnya melindungi kehormatan para korban. Lalu di mana peran Komnas Perempuan dalam melindungi hak-hak perempuan? Bukankah ini kontradiktif?

Dalam hal ini Komnas Perempuan sudah semestinya mendukung putusan hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh hakim sebagai bentuk sikap empati kepada para korban. Sudah sangat jelas bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah pelanggaran HAM. Karena itu, “melindungi” pelaku dengan dalih norma internasional dan HAM adalah tindakan yang tidak tepat dan justru membuka peluang baru bagi kejahatan lainnya di masa depan.

Upaya Proteksi

Kejahatan seksual adalah salah satu kejahatan luar biasa yang sudah semestinya dilawan bersama karena kejahatan tersebut telah merusak harkat dan martabat manusia, khususnya perempuan. Karena itu segala upaya harus dilakukan agar kejahatan serupa ini tidak lagi terulang di masa depan. Upaya penegakan hukum adalah salah satu langkah tepat guna meminimalisasi perilaku ini di masa-masa mendatang. Selain itu, pengawasan dan kepedulian orangtua, lembaga pendidikan dan tokoh agama juga menjadi faktor yang tak kalah penting guna melindungi masa depan anak-anak, khususnya anak perempuan agar tidak menjadi mangsa predator seksual yang saban waktu berkeliaran di luar sana.

Dalam hal ini lembaga pendidikan, baik sekolah maupun pesantren harus selalu mendapat pengawasan dari pihak terkait, mengingat ada banyak sekali kasus pelecehan dan kejahatan seksual yang terjadi di tempat-tempat tersebut. Selain itu anak-anak juga harus dibekali pengetahuan yang cukup agar mereka bisa mendeteksi setiap potensi kejahatan seksual yang bakal terjadi terhadap mereka yang dalam banyak kasus kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat.


Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada

loading...

No comments