Nasib Palestina dan Ambiguitas Negara Arab
Ilustrasi: stevesalaita |
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 27 Maret 2021
Sejauh ini tidak ada yang bisa menebak sampai kapan persoalan Palestina akan selesai secara beradab dan tuntas secara politik. Solusi dua negara yang terus menerus didengungkan dari dulu belum juga menemukan titik temu, di mana Israel dengan kecongkakannya terus saja melakukan “kolonialisasi” terhadap tanah Palestina dan aneksasi yang semakin meluas. Ironisnya, Palestina tidak saja “dijajah” oleh Israel, tapi juga terkesan “diabaikan” oleh negara-negara Arab yang notabene adalah saudara terdekat mereka. Kebijakan Donald Trump yang sukses membujuk negara-negara Arab untuk normalisasi hubungan dengan Israel adalah palu godam yang menganhantam cita-cita Palestina merdeka.
Namun demikian, menyalahkan negara-negara Arab secara mutlak juga kurang adil, karena setiap negara memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga mereka pun terjebak dalam dilema; antara mendahulukan kepentingan nasionalnya atau memprioritaskan Palestina. Di sinilah kemudian ambiguitas itu bermula.
Sejauh ini telah ada enam negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Mesir adalah negara Arab pertama yang berdamai dengan Israel pada 1979 dan dikuti Yordania pada 1994. Pada 2020, kebijakan ini diikuti oleh Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko yang terbaru. Adapun negara mayoritas Muslim non Arab pertama yang menjalin hubungan dengan Israel adalah Kosovo.
Beberapa negara Arab yang menjalin hubungan dengan Israel dilandasi oleh kepentingan nasional masing-masing negara dan juga kepentingan keamanan regional seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab dan Bahrain dan juga persoalan “pengampunan” seperti Sudan dan soal teritorial seperti Maroko.
Secara politik, keputusan normalisasi dengan Israel yang dilakukan Uni Emirat Arab dan Bahrain dilandasi oleh ketakutan bersama terhadap pengaruh Iran di Timur Tengah yang dianggap mengancam keamanan regional. Adapun kebijakan normalisasi Sudan dilatari oleh tawaran “hadiah” dari Pemerintahan Trump bahwa Sudan akan dihapus dari daftar negara sponsor terorisme. Bagi AS, keberhasilan “merayu” Sudan memiliki keuntungan politik tersendiri karena penolakan terhadap hak hidup Isreal oleh Liga Arab pada 1967 berlangsung di Khartoum, Sudan.
Adapun normalisasi yang dilakukan Maroko, secara politik adalah bentuk negosiasi dengan AS, di mana jika Maroko bersedia memperbaiki hubungan dengan Israel, maka AS akan mengakui klaim negara itu atas wilayah Sahara Barat yang disengketakan, yang merupakan bekas koloni Spanyol di Afrika Utara. Maroko sendiri menjadi negara Arab keenam yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebelumnya Maroko juga pernah menjalin hubungan politik tingkat rendah dengan Israel di era 1990-an.
Sementara itu, meskipun bukan negara Arab, Kosovo, tidak saja menjalin hubungan dengan Israel, tapi justru mengambil langkah yang lebih kontroversial dengan membuka kedutaannya di Yerussalem yang menjadikan negara itu sebagai negara Muslim pertama yang mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Zionis Israel. Kosovo secara resmi membuka kedutaannya di Yerussalem pada awal Maret 2021.
Hal ini dilakukan Kosovo sebagai imbalan politik dan balas budi atas pengakuan Israel terhadap kemerdekaan Kosovo. Sikap Kosovo ini mendapat kritik dari beberapa negara Muslim lainnya seperti Yordania dan Turki. Sayangnya dalam waktu bersamaan, Turki yang dalam banyak kesempatan sering mengutuk tindakan Zionis terhadap Palestina, namun negara itu memiliki hubungan komersil yang cukup baik dengan Israel dan baru-baru ini, seperti dilaporkan Middle East Monitor, Presiden Erdogan mengaku ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan Israel.
Kecaman terhadap Kosovo juga diembuskan beberapa negara Eropa karena negara itu telah memberikan saham pada hilangnya harapan Palestina untuk menjadikan Yerussalem sebagai ibu kota negara mereka di masa depan. Sebelumnya, pada Desember 2020, dua puluh empat Anggota Parlemen Eropa juga telah menandatangani petisi yang meminta Israel untuk mencabut blokade di Gaza yang sudah berlangsung selama 14 tahun.
Sementara itu, Amerika Serikat secara meyakinkan, sesuai dengan suara mayoritas senat tampaknya akan tetap mempertahankan kedutaan besarnya di Yerussalem. Dalam hal ini, tampaknya Joe Biden akan tetap mengikuti jejak pendahulunya, Donald Trump. Dengan kata lain, sangat kecil kemungkinan bagi Biden untuk mencabut keputusan Trump – Presiden AS pertama yang telah mengakui Yerussalem sebagai ibu kota Israel pada 2018 lalu. Meskipun sebagian besar negara memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun mereka tidak membuka kedutaan di Yerussalem yang diduduki Israel pasca perang Arab-Israel pada 1967. Sejauh ini, selain AS, negara yang membuka kedutaan besar di Yerussalam adalah Guatemala – dan terbaru Kosovo.
Sementara itu Al-Arabiya melaporkan bahwa Arab Saudi, negara paling berpengaruh di Timur Tengah, dimulai sejak era Raja Abdul Aziz al-Saud sampai dengan detik ini masih tegas menyatakan komitmennya untuk membantu perjuangan Palestina dan menolak berdamai dengan Israel sebelum hak-hak Palestina terpenuhi. Namun demikian sejumlah media Barat mengembangkan rumor bahwa negara itu memberikan dukungan diam-diam kepada sekutu Arabnya di Timur tengah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Tapi, secara faktual, selama Raja Salman masih hidup, kemungkinan normalisasi dengan Israel adalah mustahil. Mungkin kondisi akan berbeda jika nantinya, Mohammed bin Salman, yang saat ini menjabat sebagai Putra Mahkota menjadi Raja di Arab Saudi. Namun informasi terbaru menyebut bahwa desas-desus terkait pertemuan Mohammed bin Salman dengan Netanyahu, seperti dikutip Reuters telah dibantah pihak Arab Saudi menjelang akhir tahun lalu.
Bantahan serupa juga dilakukan Pakistan. Perdana Menteri Pakistan sebagaimana dilansir The New Arab (21/12/2020) membantah isu yang menyebut bahwa negara itu juga ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan menegaskan bahwa mereka tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum tercapainya hak-hak Palestina.
Uniknya, meskipun menjalin hubungan dengan Israel, negara-negara dimaksud, baik negara Arab maupun mayoritas Muslim seperti Kosovo, masih tetap berkomitmen pada perjuangan rakyat Palestina dan bahkan dengan tegas menyatakan mendukung Palestina merdeka dengan Yerussalem sebagai ibukota masa depan.
Selain terkait dengan ambiguitas negara Arab dan juga negara mayoritas Muslim, ketidakjelasan nasib Palestina juga terletak dalam internal mereka sendiri, khususnya dalam dua kelompok besar, Hamas dan Fatah, di mana pada November lalu Hamas mengutuk kebijakan Fatah yang memilih melanjutkan kerjasama keamanan dengan Israel. Cukup rumit, bukan?
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada.
Post a Comment