Tasawuf Yang Salah Dipahami (Resensi Buku)

Oleh: Khairil Miswar 

Tasawuf Terakhir

Bireuen, 29 Desember 2020

Judul Buku    : Tasawuf Terakhir

Penulis        : Miswari

Penerbit    : Zahir Publishing

ISBN        : 978-623-7707-76-9

Tebal        : xxi + 400 hlm

Tahun Terbit    : Oktober 2020


Dalam sejarah peradaban Islam tasawuf kerap disebut-sebut sebagai gerakan anti duniawi dan salah satu penyebab kemunduran Islam. Di masa-masa awal klaim ini dikampanyekan oleh kaum fuqaha yang saat itu tampil sebagai penentang utama pemikiran esoterik ini. Penolakan serupa juga dilakukan oleh para filsuf, di mana tasawuf dituduh sebagai aliran pemikiran yang mengesampingkan eksistensi akal. Di masa-masa selanjutnya, khususnya abad modern, klaim ini juga masih berlanjut, di mana para modernis juga menyebut tasawuf sebagai tidak sesuai dengan spirit kemodernan. Berawal dari penolakan-penolakan itu, tasawuf kemudian diposisikan sebagai “tersangka utama” dari kemunduran umat Islam yang pernah mencapai kejayaannya ketika bersentuhan dengan alam pikir Yunani.


Salah satu hal yang memicu pemosisian tasawuf sebagai biang kemunduran adalah adanya anggapan bahwa tasawuf anti terhadap rasionalitas. Artinya pemikiran-pemikiran tasawuf dianggap tidak rasional karena terlalu mengandalkan perasaan dan pengalaman keagamaan dan mengesampingkan nalar yang dalam banyak hal telah menjadi inti dari paradigma berpikir para fuqaha, filsuf dan kaum modernis dewasa ini. Karena itu, penyerangan demi penyerangan terhadap tasawuf terus muncul dari masa ke masa.


Padahal, jika merujuk pada kenyataan historis, klaim bahwa tasawuf menyebabkan kemunduran, anti rasionalitas dan mementingkan kesalehan individual (anti duniawi) tidak selamanya benar. Faktanya, di masa lalu, tasawuf juga terlibat dalam gerakan perubahan sosial politik. Pada abad ke 19 misalnya, beberapa kelompok tasawuf juga terlibat dalam aksi melawan kolonialisme Eropa di berbagai belahan dunia, seperti Somalia, Nigeria, Aljazair dan Sinegal. Hal ini menandakan bahwa tasawuf tidak selamanya dapat diidentikkan dengan kelompok-kelompok yang menghindari kehidupan duniawi dan menyepi di gua-gua.


Baca Juga: Dakwah Seorang Sedadu


Hal lainnya yang kerap menimbulkan kesalahpahaman terhadap tasawuf adalah dengan adanya pemikiran-pemikiran “ganjil” yang sulit dipahami masyarakat awam sehingga dianggap membahayakan akidah. Salah satu yang terkenal adalah ucapan Al-Hallaj yang berbunyi “Ana al-Haq” yang memantik kemarahan kaum fuqaha sehingga tokoh sufi itu pun dieksekusi mati. Sosok sufi lainnya yang dikenal kontroversial adalah Ibnu Arabi yang mengemukakan konsep wahdatul wujud, sebuah paham yang menyebut tidak ada wujud selain wujud Tuhan. Ucapan-ucapan aneh yang dikenal sebagai shatahat dalam sejarahnya juga telah menjadi salah satu faktor yang memunculkan penolakan kepada tasawuf.


Guna memahami kebingungan yang kerap muncul dalam dunia tasawuf, buku yang ditulis Miswari dengan tajuk “Tasawuf Terakhir” dapat menjadi salah satu referensi dalam menangkap dan memaknai ungkapan-ungkapan yang sering muncul dalam dunia tasawuf yang selama ini sering salah dipahami masyarakat awam dan bahkan para fuqaha.


Dalam pengantarnya untuk buku ini, Muhammad Nur Jabir, Direktur Rumi Institute menulis: “Tasawuf Terakhir akan memudahkan kita memahami dasar-dasar pemikiran dunia tasawuf dan sufi. Buku ini menjelaskan kaidah-kaidah penting dalam pemikiran tasawuf dengan bahasa yang mudah dipahami…” Sementara Nani Widiawati, seorang peneliti tasawuf mengatakan buku Tasawuf Terakhir menampilkan corak tasawuf falsafi dan memuat kegelisahan sosio-antropoligis dan politis sehingga buku ini tidak terlepas dari dinamika kontekstual.


Dalam buku ini, Miswari menjelaskan bahwa para ‘urafa memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits sehingga mereka memiliki sikap yang berbeda dengan masyarakat umum. Hal inilah yang memunculkan kesalahpahaman para ulama terhadap ajaran tasawuf (hal xxiii-xxiv). Miswari juga menegaskan bahwa sikap para sufi sangat ditentukan oleh pengalaman spiritualnya yang unik dan khas sehingga jika dikemukakan kepada orang lain akan menimbulkan kebingungan karena kesulitan mereka menangkap makna yang dimaksud para sufi (xxiv).


Buku yang ditulis Miswari ini secara umum membahas tentang tasawuf falsafi yang merupakan perpaduan antara pemikiran mistis dengan pemikiran rasional dengan mempertemukan aspek tasawuf dan filsafat. Tasawuf falsafi berbeda dengan tasawuf akhlaki atau tasawuf amali yang lebih berorientasi pada amalan-amalan untuk membentuk akhlak atau perilaku seseorang. Dengan kata lain, tasawuf falsafi berada dalam ruang diskursus, di mana pengalaman-pengalaman mistis itu kemudian diperbincangkan secara filosofis.


Baca Juga: Nasionalisme dari Pinggir


Dengan mengutip Corbin, Miswari menulis: “Ketika jiwa telah melampaui indra, imajinasi dan inteleksi, maka segala identitas menjadi lenyap. Yang disadari jiwa hanyalah wujud tunggal. Dalam kondisi demikian, ‘aku’ dan ‘Engkau’ yang sebelumnya dianggap sebagai dualitas menjadi tak terindentifikasi. Dalam kondisi yang disebut fana ini, tersadari bahwa wujud adalah tunggal” (hal. 3).


Menggunakan penjelasan ini, Miswari menyimpulkan bahwa kondisi fana inilah yang membuat Al-Hallaj mengeluarkan pernyataan “ganjil” (shatahat) karena saat itu ia tidak bisa lagi membedakan antara eksistensi dirinya dan eksistensi Tuhannya sehingga keluarlah kalimat Ana Al-Haq. Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa apa yang diucapkan Al-Hallaj adalah berdasarkan pengalaman pribadinya yang unik sehingga menjadi tidak tepat ketika pengalaman itu disampaikan kepada orang lain yang tidak pernah mengalami hal serupa.


Di sinilah kebingungan itu berawal dan kemudian berujung pada penolakan terhadap alam pikir tasawuf yang dianggap menyesatkan karena secara lahiriah tampak bahwa Al-Hallaj telah menyebut dirinya sebagai Tuhan atau setidaknya menyamakan eksistensinya dengan Tuhan. Secara tekstual, pernyataan Al-Hallaj juga mengesankan bahwa dia telah menyatu dengan Tuhan; paham yang sama sekali tidak bisa diterima dalam pemikiran maenstream.


Terlepas dari berbagai perdebatan tentang para sufi dan dunianya, buku yang ditulis Miswari ini dapat menjadi salah cara untuk memahami alam pikir tasawuf lebih dalam. Disajikan dengan bahasa sederhana dan renyah, buku ini bisa dibaca oleh siapa saja dari latar belakang manapun, tentunya dengan membiarkan minda sedikit terbuka dan tidak dilandasi kebencian.

Selain itu, posisi Miswari sebagai salah seorang pengkaji tasawuf dan filsafat yang telah menghasilkan sejumlah buku bertema filsafat dan saat ini sedang menyelesaikan Program Doktoral bidang Filsafat Islam di UIN Syarif Hidayatullah juga memberi nilai tersendiri bagi keabsahan dan otoritas buku ini dalam memperbincangkan dunia tasawuf menggunakan pendekatan akademik.


Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan

Tasawuf Terakhir

loading...

No comments