Tokoh Agama dan Hasrat Seksual

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: myhomeworkwriters


Bireuen, 08 Oktober 2019

Kasus kejahatan seksual terhadap anak terus saja terjadi sampai saat ini. Sepanjang tahun 2019, KPAI telah mencatat sejumlah kasus pencabulan dan pelecehan seksual yang dialami anak di sekolah yang dilakukan guru dan kepala sekolah (kpai.go.id, 04/05/2019). Kejahatan seksual terhadap anak berlangsung mulai dari lingkungan keluarga sampai lembaga pendidikan. Dua tempat yang seharusnya memberi proteksi kepada anak, tapi justru menjadi “tidak aman” bagi anak.

Lembaga pendidikan yang notabene merupakan medium untuk pembentukan karakter anak tidak selamanya bersih dari praktik-praktik immoral yang dilakoni oleh oknum tertentu. Bagi oknum-oknum dimaksud, lembaga pendidikan justru menjadi tempat paling “aman” untuk menyalurkan hasratnya yang selama ini terpendam. Terlebih lagi yang menjadi korban adalah anak – yang dalam kenyataanya belum memiliki sensitivitas terhadap organ seks yang dimilikinya. Kondisi inilah yang kemudian memudahkan para “predator anak” dalam menjalankan aksinya.

Pada kenyataannya, kejahatan seksual bukan hal baru yang lahir di abad modern, tapi praktik ini telah menemani perjalanan sejarah manusia sepanjang masa. Kejahatan ini terus membiak dan menyebar melintasi hampir semua peradaban yang ada. Kejahatan seksual terus menemukan wujudnya di setiap jengkal bumi; mulai dari negara paling konservatif sampai negara paling modern sekali pun. Sampai saat ini kejahatan ini masih menjadi benalu bagi kemanusiaan.

Mirisnya lagi, kejahatan seksual juga melibatkan oknum tokoh-tokoh agama. Tokoh yang di mata awam publik dianggap suci dan terbebas dari perilaku menyimpang. Tokoh yang dikagumi dan dianggap sebagai panutan, penuntun dan pembuka jalan ke surga. Nyatanya oknum tokoh agama yang selalu mengajarkan moralitas kepada pengikutnya ini juga tak terlepas dari hasrat seksual yang kemudian bermuara pada kejahatan seksual.

Salah satu kasus mencengangkan adalah pengakuan pemimpin Gereja Katolik, Paus Fransiscus beberapa waktu lalu. Dia membuat pengakuan bahwa para pastor telah mengeksploitasi para biarawati menjadi budak seks di sebuah biara di Perancis. Kononnya persoalan ini telah meracuni gereja sejak 1980-an (bbc.com, 21/02/19).

[Lazada Program] Sepatu Sneakers Pria Casual Santai Jogging Running Olahraga Futsal Kets Slip On the best quality Kuliah Kerja Hangout Import - Bayar Di Tempat ( COD )
Rp. 180.000

Di Indonesia sendiri, kasus kejahatan seksual yang melibatkan oknum tokoh agama juga kerap terjadi. Pada 2017 seorang pimpinan dayah (pesantren) di Aceh Utara dilaporkan telah melakukan pelecehan seksual terhadap santri perempuan (pikiranmerdeka.co, 21/09/17). Pada 2018, kasus dugaan pencabulan juga terjadi di sebuah pesantren di Lampung Timur yang melibatkan pengasuh pesantren tersebut (jawapos.com, 28/01/18). Pada Februari 2019, seorang pemilik pesantren di Takengon, Aceh Tengah, juga ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan terhadap santrinya sendiri (kompas.com, 27/2/2019).  Belum lama ini, publik juga dikejutkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di Lhokseumawe seperti dirilis kompas.com (12/07/19). Pelecehan seksual ini  melibatkan seorang pimpinan dayah dan seorang guru mengaji. Keduanya diduga mencabuli 15 orang santri melalui oral seks. Berdasarkan pengakuannya kepada pihak kepolisian, aksi bejat itu sudah berlangsung sejak 2018.

Baru-baru ini kita kembali dikejutkan dengan praktik serupa yang melibatkan oknum tokoh agama di Aceh. Seperti dilansir serambinews.com (07/10/19), seorang oknum guru mengaji di Langsa ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus asusila terhadap anak di bawah umur. Kabarnya oknum tokoh agama itu diduga telah mencabuli anak usia lima tahun.

Di Aceh sendiri kasus pelecehan seksual ini terbilang cukup tinggi (kumparan.com, 24/07/18). Pada 2015 seperti dilansir merdeka.com (01/02/15), Aceh menduduki peringkat pertama aksi kejahatan seksual di Indonesia yang kemudian disusul Jawa Timur dan Jawa Barat.

Kejahatan Seksual Oknum Tokoh Agama

Terlibatnya oknum tokoh-tokoh agama dalam kejahatan seksual menjadi bukti bahwa syahwat dan nafsu sama sekali tidak mengenal strata sosial dan kadar intelektualitas seseorang. Kejahatan ini bisa dipraktikkan oleh siapa saja, tak terkecuali oknum tokoh-tokoh agama yang dianggap sebagai penafsir ayat-ayat Tuhan. Bahkan peluang melakukan kejahatan seksual terus terbentang, tergantung niat dan kesempatan yang dimiliki pelaku.

Berbeda dengan kejahatan seksual yang melibatkan kalangan non-religius, kejahatan seksual yang melibatkan oknum tokoh agama tampak sulit diberantas dan bahkan cenderung tertutup. Sejauh ini, tidak banyak kasus kejahatan seksual dengan pelaku oknum tokoh agama yang berhasil diungkap ke publik. Akibatnya kejahatan ini dapat terus berlangsung tanpa terendus dan bahkan mungkin tidak disadari oleh korbannya.

Salah satu faktor yang menyebabkan penyimpangan oknum tokoh agama sulit terungkap adalah kultus. Dalam kehidupan sosial-religi, oknum tokoh agama sering kali dianggap sebagai manusia “suci” yang kemudian bermuara pada pengkultusan dari umat. Pengkultusan ini dengan sendirinya akan memosisikan oknum tokoh agama sebagai sosok tanpa cela. Dalam kondisi ekstrem, publik awam justru meyakini bahwa setiap laku oknum tokoh agama adalah representasi dari ajaran Tuhan.

Seperti diketahui, praktik kultus ini juga berkembang di sebagian lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya di lembaga pendidikan tradisional semisal pesantren. Dalam tradisi pesantren, praktik “kultus” terhadap para guru masih bertahan sampai saat ini. Tentu tidak hanya di pesantren, pengkultusan dalam bentuk yang lain juga menemukan wujudnya dalam lembaga pendidikan modern.

[Lazada Program] Delta Sepatu Coklat Gurun 8 inchi DB 5450 S Outdor Original ( COD)
Rp. 299.000

Dalam kaitannya dengan kejahatan seksual, ditinjau dari perspektif psikologis, pengkultusan ini dapat “menekan” korban, khususnya anak, sehingga mereka tidak berdaya melawan permintaan oknum gurunya. Kondisi akan bertambah parah ketika oknum tokoh agama yang notabene adalah guru si anak mengunakan doktrin-doktrin keagamaan untuk menjustifikasi kejahatannya. Bagi korban yang notabene adalah murid (santri) dari oknum tokoh agama tersebut tidak memiliki pilihan lain selain sami‘na wa atha‘na (kami dengar dan kami patuh).

Secara lebih tegas dapat dinyatakan bahwa dalam lingkungan pendidikan keagaamaan semisal pesantren (dayah) atau balai pengajian, para santri berada dalam posisi tersubordinasi dan tidak berdaya di hadapan guru-gurunya. Ditambah lagi dengan doktrin berupa ancaman durhaka dan hilangnya keberkahan ilmu jika tidak menuruti permintaan guru. Santri yang tidak terbiasa dengan sikap kritis tentunya akan menerima bulat-bulat doktrin ini.

Peluang kejahatan ini akan semakin besar jika korbannya adalah anak-anak di bawah umur yang tidak mengenal pendidikan seks. Dalam hal ini anak-anak belum memahami fungsi organ seks yang dimilikinya sehingga mudah dikelabui oleh oknum tokoh agama yang menjelma sebagai predator. Kondisi ini akan memberi peluang bagi oknum tokoh agama untuk menyalurkan syahwat mereka tanpa ada rasa khawatir sedikit pun.

Dalam kondisi inilah kejahatan seksual oleh oknum tokoh agama akan selalu ditutupi “kabut,” karena anak (murid) tidak memiliki keberanian untuk melaporkan tindakan asusila tersebut kepada orangtuanya. Hal ini secara umum disebabkan oleh ketidakmengertian anak akan kejahatan seksual yang dialaminya dan juga tertutupnya ruang komunikasi antara anak dan orangtua.

Penegakan Hukum

Lembaga pendidikan, khususnya pesantren, sebagai medium pembelajaran dan pembentukan karakter bagi anak semestinya steril dari anasir-anasir jahat semisal pelecehan seksual. Di lembaga ini anak harus benar-benar terproteksi dari kelakuan oknum-oknum immoral yang dapat merusak harapan dan masa depan mereka.

Di luar itu, penegakan hukum juga harus benar-benar diterapkan secara maksimal dan tanpa pandang bulu. Khususnya kasus di Aceh baru-baru ini semestinya aparat kepolisian menggunakan undang-undang perlindungan anak agar menimbulkan efek jera bagi pelaku. Meskipun Aceh memiliki lex specialis dengan adanya Qanun Jinayat yang mengancam 90 kali cambuk bagi pelaku, namun demi tegaknya keadilan, penggunanan undang-undang perlindungan anak adalah pilihan paling tepat.

Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa Medan. 


loading...

No comments