Perayaan HUT RI dan Nasionalisme Simbolis

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: romadecade


Bireuen, 12 Agustus 2019

Nasionalisme sebagai rasa kebangsaan sekaligus kecintaan kepada negara harus terus dipupuk oleh segenap anak bangsa. Adalah naïf jika ada warga negara yang tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap bangsanya. Dalam praktiknya, nasionalisme menemukan wujudnya dalam perilaku warga negara itu sendiri melalui sikap dan tindakan.

Sikap menjaga kebinekaan dan keberagaman, kesetiaan kepada ideologi Pancasila, toleransi antar umat beragama, kecintaan pada produk dalam negeri, pelestarian adat-istiadat dan minimalisasi tenaga kerja asing serta pemberdayaan tenaga kerja lokal adalah wujud aplikatif dari rasa nasionalisme. Melalui sikap inilah nasionalisme itu akan terus tumbuh dan berkembang.

Sebaliknya, perilaku koruptif dengan sendirinya dapat disebut sebagai “tidak nasionalis,” karena korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara. Demikian pula dengan kejahatan narkoba juga dapat dianggap sebagai bertentangan dengan nasionalisme karena ia merusak anak bangsa. Disadari atau pun tidak, perilaku tersebut akan menggerus rasa nasionalisme yang seharusnya dipupuk.

Kita membutuhkan nasionalisme substantif yang kemudian teraplikasi dalam sikap dan tindakan. Tentunya yang dimaksud adalah tindakan konstruktif demi kemajuan bangsa, bukan tindakan destruktif yang justru merusak tatanan. Nasionalisme substantif adalah nasionalisme yang memiliki wujud kongkret, bukan sebatas teori atau simbol-simbol yang menipu.

Nasionalisme tidak bisa dipahami hanya sebatas seremoni. Pemahaman sempit yang demikian akan berdampak pada kekalnya nasionalisme simbolis. Akibatnya, kita akan terus terpenjara dalam simbol-simbol nasionalisme yang kehilangan makna. Nasionalisme simbolis adalah nasionalisme abstrak yang tersibukkan dengan gemuruh “ritual,” tapi melupakan nilai.

Menurut penulis, Perayaan HUT RI pada setiap 17 Agustus adalah salah satu bentuk nasionalisme simbolis. Tentu yang dimaksud bukanlah upacara bendera dan pembacaan teks proklamasi yang memang penting sebagai refleksi sejarah, tapi kegiatan penunjang lainnya semisal karnaval. Penulis menilai acara karnaval dan berbagai bentuk hiburan pada “tujuh-belasan” tidak termasuk dalam kategori nasionalisme substantif, tapi hanya sebatas nasionalisme simbolis. Dengan kata lain, kualitas nasionalisme tidak bisa diukur pada acara-acara seremonial semacam ini.

Sejauh ini memang belum ada regulasi terkait acara-acara penunjang pada perayaan HUT RI. Sebagiannya muncul dari inisiatif masyarakat yang kemudian menjadi tradisi yang terus berulang sepanjang tahun. Salah satu argumen yang sering diajukan; acara tersebut sebagai wujud kegembiraan rakyat dan rasa syukur atas nikmat kemerdekaan. Uniknya, oleh sebagian oknum perayaan ini kemudian dianggap sebagai salah satu indikator nasionalisme. Menurut penulis penyimpulan ini kurang tepat karena perayaan hanya berada pada tataran nasionalisme simbolis, bukan nasionalisme substantif.

Persoalan lainnya adalah terkait pembiayaan perayaan HUT RI semisal karnaval dan beraneka lomba yang tidak memiliki sumber dana yang jelas. Selama ini di beberapa daerah, sumber pembiayaan ini justru berasal dari “kutipan” kepada masyarakat semisal PNS, kepala desa dan para pemilik usaha. Meskipun berdalih kesepakatan bersama, namun pengutipan dana dari masyarakat ini justru menyisakan masalah tersendiri.

Di kalangan PNS pengutipan semisal ini sering memberatkan, khususnya PNS golongan II dan III. Seperti diketahui, Dana BOS tidak diizinkan untuk digunakan dalam perayaan HUT RI sehingga PNS seperti guru dan kepala sekolah harus mengeluarkan uang pribadi.

Demikian pula kutipan dari kepala desa juga dapat memicu masalah, sebab dalam praktiknya mereka harus menggunakan dana desa yang kemudian disetor ke kecamatan. Hal yang sama juga dirasakan oleh pemilik usaha kecil semisal pemilik kios, di mana kutipan itu juga dianggap tidak wajar.

Khususnya di daerah, pengelolaan kutipan dana untuk perayaan HUT RI juga terkesan tidak transparan. Kondisi ini sering kali memunculkan aksi protes dari sebagian masyarakat.

Kita memang jarang menemukan protes dalam bentuk terbuka karena pengelolaan dana itu melibatkan Muspika di tingkat kecamatan. Namun di arus bawah, protes-protes kecil terhadap pengutipan itu kerap terjadi. Akibatnya, semangat nasionalisme yang ingin ditumbuhkan dalam setiap perayaan ini tentunya tidak pernah tercapai.

Yang menjadi persoalan selanjutnya; jika memang perayaan HUT RI dianggap sebagai agenda nasional yang bertujuan memupuk nasionalisme, lantas kenapa negara terlihat tidak serius menangani hal ini. Sampai saat ini tidak ada satu pun regulasi yang secara khusus membahas persoalan ini, padahal perayaan tersebut digelar setiap tahun.

Seharusnya, jika memang perayaan ini dianggap sebagai agenda serius, maka pemerintah harus mengalokasikan dana secara khusus agar “pengutipan” dari masyarakat dapat dihindari. Secara hukum, keberadaan regulasi akan memungkinkan dilakukan pengalokasian dana untuk Perayaan HUT RI, baik dalam APBN, maupun APBD.

Meskipun terkesan remeh, namun hal ini semestinya mendapat perhatian serius dari Presiden dan DPR agar Perayaan HUT RI yang meriah – dan cenderung euforia, tidak menyisakan persoalan di tengah masyarakat.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments