Para Penganggur

Oleh: Tin Miswary

Ilustrasi: Cartoonistgroup



Sudah hampir dua puluh tahun tidak ada penerima zakat di kampung kami, kecuali aku dan dua temanku. Ketika musim panen tiba, berton-ton zakat dari padi sampai ternak sering kali diekspor ke luar kampung setelah sebagian kecil dibagikan kepada kami yang tidak pernah habis kami makan sampai panen berikutnya. Orang-orang kampung kami tidak mengenal istilah kemiskinan dan bahkan kata-kata itu tidak pernah terucap sejak dua puluh tahun terakhir. Jika pun kemiskinan itu ada, maka kamilah orangnya.

Kecuali kami bertiga, semua warga kampung ini adalah pekerja keras yang cukup rajin. Sebagian warga kampung memiliki sawah minimal satu hektar perkepala keluarga. Sebagian lainnya yang tidak suka bertani memilih menjadi peternak, mulai dari ayam, itik, kambing, lembu sampai kerbau. Masing-masing mereka memiliki ternak puluhan sampai ratusan ekor. Selain petani dan peternak kaya, sebagian warga kampung kami juga menjadi pejabat penting dan pedagang besar di kota.

Tidak hanya areal sawah yang luas, di kampung kami juga terbentang padang rumput yang hijau. Kononnya padang rumput itu milik Ampon Gani, leluhur kampung kami. Padang rumput itu boleh dipakai siapa saja sampai langit digulung. Di padang rumput itulah segala ternak bermain dengan riang, bahkan sambil bercinta sesamanya. Sementara si gembala kaya memantau dari tepi sungai agar binatang berkaki empat itu tidak keluar kampung. Hewan-hewan itu dilepas ketika matahari sedikit meninggi dan akan kembali pulang ketika senja datang menyapa.

Tidak jauh dari padang rumput itu juga terhampar tanah luas, tempat ayam dan itik dikurung dalam kandang besar. Di tempat ini terdengar beragam suara, dari itik yang saban hari merepet sampai teriakan ayam yang tak henti berkokok. Di sini tidak ada musang, cerpelai apalagi biawak sehingga ayam dan itik bisa hidup nyaman sebelum akhirnya mati di mata pisau.

Apa yang aku ceritakan itu hanya sedikit dari kemegahan dan kemakmuran kampung kami. Ada banyak cerita manis lainnya yang enggan kukabarkan pada kalian, sebab cerita-cerita itu sama sekali tidak membuat aku dan dua temanku bahagia.

Meskipun kemegahan dan kemakmuran kampung kami terdengar sampai ke seberang Selat Malaka, namun aku dan dua temanku tetap saja dianggap sebagai benalu di kampung ini. Aku yang sering dipanggi si Yoeng dan dua temanku; si Beut dan si Beunu telah dicap sebagai pengangguran abadi di kampung kami. Hampir tidak ada seorang pun yang mau menyapa kami bertiga, kecuali pada acara pembagian zakat, itu pun hanya panggilan bernada sadis supaya kami segera mengangkut jatah zakat agar tidak menumpuk di meunasah. Ada pun ratusan tumpuk lainnya akan diangkut ke kampung seberang.

Walau pun di kampung ini aku dan dua temanku sama sekali tak dihargai dan sering dijadikan sebagai contoh buruk bagi anak-anak mereka yang malas bekerja, namun di luar kampung kami disambut dengan hormat. Tentu tidak aneh, sebab penampilan kami di luar kampung lebih mirip saudagar-saudagar kaya daripada penganggur dan pemalas – dua stempel yang sampai saat ini masih melekat di jidat kami.

Bagaimana tidak, hasil zakat dari panen yang melimpah ditambah sumbangan pejabat dan pedagang di kampung setiap tahun melebihi dari cukup untuk bekal hidup kami sampai sepuluh tahun ke depan. Jika sudah begini, untuk apa kami bekerja? Untuk menumpuk kekayaan? Buat siapa? Buat jadi rebutan anak cucu yang saling mengasah parang? Bahkan sebelum tanah kuburan kami sendiri kering? Agar mereka berperang sebelum malaikat habis bertanya dari mana harta itu kami dapat? Tidak! Kami akan tetap menganggur. Mungkin selamanya.

***

Seperti biasa, aku, si Beut dan Beunu memulai pagi dengan bermain dadu di sebuah rangkang ujung kampung. Di depan kami hamparan sawah membentang luas. Sekumpulan pipit berkepala putih terbang meliuk dan kemudian menyambar batang-batang padi untuk mencuri beberapa biji buliran kecil yang masih lunak. Mereka tidak mencuri banyak, hanya sekadar menyumpal perut yang ukurannya lebih kecil dari jempol bayi. Setelah kenyang ia pun terbang dan kembali esok hari. Tidak seperti cecungkuk berdasi yang mencuri aspal, semen, batu-bata, kerikil, pasir, tiang jembatan, kubah masjid dan entah apa lagi. Mereka mencurinya berkarung-karung untuk dimakan tujuh turunan. Tapi, pipit tidak melakukan itu.

Sementara pipit terus terbang dan turun sembari menyapa angin yang melambai, aku dan dua temanku masih saja larut dalam permainan dadu. Ini hanya permainan pengisi waktu dan tentu saja kami tidak berjudi, sebab berjudi akan membuat kekayaan kami semakin menumpuk. Dan ini berbahaya.

Matahari telah meninggi. Si Beut dan Beunu terlihat mulai menguap. Kemudian keduanya merebahkan tubuh di rangkang beralas bambu. “Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa sebaiknya kita keluar saja dari kampung ini, mencari kampung lain yang lebih damai?” Beunu mengajukan pertanyaan padaku sembari tangan kanannya mencoba menutup mulutnya yang terbuka lebar. “Ya, di kampung ini kita hanya menjadi bahan olok-olok yang selalu saja dipandang sinis,” tambah si Beut sambil matanya melirik ke arahku.

 “Tidak mungkin,” aku coba menimpali kedua temanku. “Nanti siapa yang akan menggali kubur ketika ada orang yang mati? Apa kita akan membiarkan jasad mereka dimakan burung? Bukankah pekerjaan ini telah menjadi bakti kita selama bertahun-tahun? Ketika salah satu dari mereka mati sementara yang lainnya sibuk bekerja di sawah, padang rumput dan di kota sehingga kampung menjadi sepi, bukankah kita yang mengurusi semuanya?

“Kalian tentu ingat ketika rumah Haji Kasim dimasuki pencuri, bukankah kita yang menangkap pencuri itu ketika semua warga telah lelap dalam tidurnya? Kalian ingat ketika janda Maryani ingin diperkosa, kita pula yang menyelamatkannya. Ketika kandang-kandang besar itu hampir habis dilalap api kita juga yang memadamkannya, sementara warga lain sibuk dan larut dalam pekerjaan mereka masing-masing.”

Mendengar ceramahku si Beut dan Beunu mencoba bangkit dan duduk bersandar di dinding rangkang. Mata keduanya mengarah padaku. “Ya benar, status pengangguran telah memberikan waktu yang cukup banyak bagi kita untuk menolong orang-orang. Kita selalu hadir di saat orang-orang terlihat sibuk,” kata Beunu sambil mukanya berpaling ke arah si Beut yang kemudian mengangguk.

“Entah bagaimana jadinya kampung ini jika kita bertiga ikut bekerja seperti mereka.” Setelah mendengar kalimat penutup dari si Beut, kami bertiga pun kembali rebah dan memejamkan mata untuk beberapa saat ditemani semilir angin dari utara. 

***

Hari ini di kota akan digelar pesta besar. Perkawinan putra Haji Kasim dan putri Ampon Baka. Karena tamu yang diundang ribuan orang, acara itu tidak mungkin dilangsungkan di kampung. Itu artinya seluruh warga kampung akan berangkat ke kota memenuhi undangan. Hanya kami bertiga yang tidak kebagian undangan karena stempel penganggur dan pemalas masih menancap kuat di jidat kami. Dengan demikian kami tidak layak mendapat undangan.

Pukul sepuluh pagi, kampung sudah kosong. Orang-orang telah pergi. Mereka akan berpesta-ria di kota. Kami melempar pandang ke utara, menyaksikan hamparan sawah yang sepi dan padang rumput yang lengang. Di bagian timur dan barat terlihat rumah-rumah mewah seperti kuburan. Sementara di selatan kandang-kandang besar riuh dengan gemuruh suara binatang yang terkurung.

“Hari ini kita tidak bisa bermain dadu,” kataku pada si Beut dan Beunu. “Kalian ingat lima tahun lalu kampung ini dimasuki perampok sementara kita sedang asyik bermain dadu di gubuk. Untung saja kita disadarkan oleh teriakan ayam dan itik yang merepet sehingga perampok itu dapat kita usir sebelum warga kembali ke kampung ini.”

Setelah memberi arahan kepada kedua temanku, kami pun berkeliling kampung. Aku membawa rotan panjang, si Beut menggenggam parang pendek dan Beunu membawa karung. Seperti lima tahun lalu, ketika ada kawanan perampok aku yang lebih dulu maju menggertaknya dengan rotan. Jika perampok terus membandel, maka giliran si Beut yang akan mengancam dengan parang. Tapi bila dua cara itu tidak mempan, kami akan menyergap mereka dan memasukkannya ke dalam karung yang dipegang Beunu. Dan si perampok akan menemukan keabadiannya dalam karung yang kami lempar ke sungai.

Kami terus berkeliling dengan mata menyisir ke kiri dan kanan. Setelah memastikan kondisi kampung benar-benar kondusif kami pun menuju utara. Aku dan si Beut merebahkan badan sejenak sementara Beunu berjaga-jaga sembari memasang telinga. Dia tidak boleh lelap, sebab sedetik saja matanya terpejam, petaka akan datang seketika.

Hari sudah siang. Matahari bersinar dengan terik. Tidak ada angin yang berembus meskipun rangkang dikelilingi hamparan sawah. Cuaca panas membuat aku dan si Beut terjaga. Sekarang giliran Beunu istirahat, tapi dia menolak. “Aku masih kuat,” kata Beunu dengan gagah sambil memegang karung yang dilipat.

Baru saja kami akan menggelar dadu sebab yakin suasana kampung masih aman, tiba-tiba saja asap membumbung tinggi dari arah barat disertai lidah api yang menjalar-jalar. Tanpa menunggu komando, Beunu berlari cukup kencang seolah kakinya tak menyentuh tanah. Setelah hilang beberapa menit Beunu pun kembali dengan napas terengah. “Rumah Haji Kasim terbakar.” Mendengar suara Beunu, aku dan si Beut pun melompat dari rangkang mencari benda apa saja yang bisa menampung air. Aku menemukan jeriken tua, si Beut botol aqua dan Beunu mencoba memasukkan air ke dalam karung.

“Ayo para penganggur, kita padamkan api itu!” Setelah memberi aba-aba aku pun memacu kaki kecilku tanpa peduli pada kerikil yang menusuk. Di belakangku si Beut dengan sigap mengikuti. Dan di belakang lagi tampak Beunu yang masih sibuk menuang air ke dalam karung yang tak pernah penuh.

Bireuen, 16 Juli 2019

Cerpen ini sudah terbit di Harian Serambi Indonesia.



loading...

No comments