Predator Anak dan Pentingnya Pendidikan Seks
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 22 Juli 2019
Pelecehan, penyimpangan dan kekerasan seksual bukanlah hal baru yang muncul di abad modern. Perilaku tersebut telah tumbuh dan berkembang seiring perkembangan manusia di muka bumi. Sebagai contoh insiden pemerkosaan; ia bukanlah kreativitas orang-orang modern tetapi jejak-jejaknya dapat ditemukan dalam kehidupan masa lampau. Demikian pula dengan penyimpangan seksual semisal sodomi juga memiliki akar historis yang panjang dalam sejarah kemanusiaan.
Kenyataan tersebut dengan sendirinya membantah klaim sebagian kalangan bahwa kejadian itu adalah ekses dari kemodernan. Di zaman teknologi informasi seperti sekarang ini juga muncul “tudingan” dari sebagian pihak bahwa generasi sekarang lebih parah dari generasi dahulu. Tudingan ini tentunya tidak seluruhnya benar sebab kejahatan itu sudah pernah eksis di masa lampau. Perbedaannya hanya pada asupan informasi dan kemudahan melakukan aksi.
Dulu, pelecehan, penyimpangan dan kekerasan seksual terjadi di hutan belantara, di puncak-puncak gunung atau di semak-semak perkampungan, sekarang kejadian serupa dapat terjadi di hotel berbintang, angkutan umum, trotoar jalan atau bahkan di lembaga pendidikan.
Perbedaannya hanya terletak pada lokasi dan tempat kejadian itu berlangsung, bukan pada substansi kejahatan. Demikian pula dari aspek informasi; dulu berbagai penyimpangan seksual yang terjadi di tempat-tempat yang jauh dan hanya menjadi “konsumsi” masyarakat setempat akibat terlokalisasinya informasi; sementara saat ini dengan peradaban teknologi informasi yang sedang mencapai puncaknya, segala bentuk penyimpangan seksual dapat diakses dengan mudah melalui layar android.
Ulasan di atas tidak bermaksud menegasikan berbagai penyimpangan seksual yang tampak “subur” di zaman ini, tapi justru ingin mempertegas bahwa rupa-rupa penyimpangan itu hanyalah pengulangan dengan aktor, korban, waktu dan lokasi yang berbeda. Dengan kata lain, kejahatan seksual yang telah tumbuh di masa lalu terus berkembang hingga saat ini. Tegasnya, peradaban boleh berubah, tapi penyimpangan-penyimpangan itu belum hilang dari pentas dunia.
Kejahatan Seksual; Pelaku dan Korban
Kejahatan seksual selalu saja memberikan kepuasan bagi pelaku dan luka mendalam bagi korban. Kepuasan yang dialami oleh pelaku kemudian mendorongnya untuk mengulangi kejahatannya, sementara “luka” yang dirasakan korban akan mengurungnya dalam kondisi traumatis. Dalam banyak kasus, fokus hanya tertuju pada pelaku, sementara sisi terburuk yang dialami korban sering kali luput dari perhatian.
Dalam konteks hukum pelaku akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan yang kemudian bermuara pada eksekusi seperti penjara atau cambuk. Dalam konteks sosial, si pelaku akan terkucil dan terasing dari lingkungannya. Sementara dalam konteks agama, si pelaku juga akan mendapat kutukan dan ancaman neraka.
Lantas bagaimana dengan korban? Dalam berbagai hal korban justru akan menanggung risiko yang berlipat-ganda. Dalam konteks hukum hak-hak korban nyaris tidak diperbincangkan. Dalam konteks sosial, sama seperti pelaku – si korban juga merasa “dikucilkan” karena kesuciannya telah terenggut. Dia harus melewati masa depannya dengan kepedihan dan perasaan inferior.
Berpijak pada kondisi tersebut sudah seharusnya paradigma ini diubah. Artinya korban harus menjadi perhatian utama dibanding para pelaku, sebab tidak seorang pun berharap menjadi korban dari kejahatan seksual. Berbeda halnya dengan pelaku kejahatan yang notabene adalah sebuah pilihan yang muncul dari kesadaran. Hal penting lainnya yang sering luput dari perhatian kita adalah langkah proteksi agar tidak munculnya korban-korban baru. Selain pendidikan keagamaan, upaya protektif lainnya yang dapat dilakukan adalah pendidikan seks kepada anak dan remaja.
Pendidikan Seks
Dalam peradaban kita, khususnya di Aceh, perbincangan tentang perkara seksual masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Ketabuan ini kemudian melahirkan berbagai istilah bernuansa kamuflase untuk menyebut organ-organ tertentu semisal istilah “budit” untuk kelamin laki-laki dan “apam” untuk kelamin wanita. Istilah-istilah tersebut bisa berbeda di setiap daerah.
Kenyataan lainnya adalah munculnya doktrin bersifat pseudo (palsu) yang ditanamkan di benak anak-anak guna menutupi peristiwa sebenarnya yang dianggap tabu semisal penyebutan “adek kapai” untuk bayi-bayi yang baru lahir guna meneguhkan cerita bahwa bayi-bayi itu tidak dikandung dan bukan dilahirkan, tetapi dilempar dari “kapai” (pesawat terbang).
Muncul dan berkembangnya berbagai istilah kamuflase dan pseudo-doktrin tersebut adalah bukti paling autentik bahwa memperbincangkan persoalan seks adalah aktivitas yang tabu dan sangat dihindari, tidak hanya dalam keluarga, tapi juga dalam lingkungan pendidikan.
Dalam tradisi kita, pengenalan tentang dunia seks dalam skop terbatas biasanya hanya seputar menstruasi (haidh) bagi wanita dan mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki – sebagai bentuk penegasan bahwa kejadian itu adalah penanda bahwa mereka sudah baligh.
Uniknya, meskipun “perbincangan seks” dianggap tabu, namun diskusi tentang berbagai penyimpangan dan kejahatan seksual justru dianggap lumrah dan bahkan wajar.
Sebagai contoh, kasus pelecehan seksual (oral seks) yang dilakukan oknum pimpinan dayah di Lhoksemawe baru-baru ini. Perbincangan ini tampak meluas, tidak hanya di lingkungan dewasa, tapi juga anak-anak – di mana korban perilaku bejat oknum teungku tersebut adalah anak-anak di bawah umur.
Berpijak pada kenyataan ini, sudah saatnya ambiguitas perbincangan seksual segera diakhiri, khususnya di Aceh. Tidak mungkin kita terus-menerus “bersandiwara” sementara korban terus bermunculan. Adalah kekonyolan besar jika kita ragu-ragu untuk mendidik (pendidikan seks), tetapi justru tercengang-cengang ketika korban berjatuhan.
Pendidikan seks jangan serta-merta dimaknai sebagai ajang mengajarkan hubungan seks kepada anak yang bermuara pada kekhawatiran bahwa anak akan tergelincir untuk melakukan seks di luar nikah. Pemaknaan semisal ini adalah absurd, konyol dan bahkan destruktif. Akan tetapi pendidikan seks harus dipandang sebagai salah satu upaya protektif untuk menyelamatkan anak dari ancaman predator yang berkeliaran di sekitar mereka.
Dalam konteks pendidikan agama, pendidikan seks dapat dimulai dengan mengenalkan aurat sebagai organ yang sensitif dan privat. Sejak usia dini, harus ditanamkan kepada setiap anak bahwa organ-organ tersebut haram diperlihatkan kepada orang lain, baik kepada sesama jenis atau pun lawan jenis; dan haram pula melihat aurat orang lain. Aurat itu harus benar-benar dijaga agar ia tidak disentuh oleh siapa pun (kecuali kebutuhan medis), baik sesama anak atau pun orang dewasa; dan juga tidak menyentuh aurat orang lain.
Dalam kaitannya dengan hubungan sosial, harus ditanamkan kesadaran kepada anak agar ia melindungi dirinya dan menolak permintaan-permintaan tidak wajar dari orang lain yang berkaitan dengan aurat (organ seks). Penting pula diciptakan harmonisasi hubungan orangtua dan anak agar setiap penyimpangan dan kejahatan seksual yang dialaminya dapat diceritakan dengan terbuka kepada orangtua atau pun kepada guru-guru mereka di lingkungan sekolah.
Dalam konteks kekinian, juga harus ditanamkan sikap hati-hati kepada anak agar mereka waspada kepada para predator yang sedang berkeliaran. Tidak ada salahnya juga memberitahu mereka terkait berbagai kasus kejahatan seksual terhadap anak yang sedang marak terjadi, bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai bentuk proteksi agar anak bisa menjaga diri.
Berbagai upaya kecil yang telah terurai di atas hanyalah sebagai pengantar belaka guna menyelamatkan anak dari ancaman predator yang saban waktu mengintai. Upaya ini tidak akan pernah terlaksana jika pendidikan seks selalu dikaitkan dengan ketabuan dan kekhawatiran tak beralasan. Wallahul Musta‘an.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
Ilustrasi: comicartfans |
Bireuen, 22 Juli 2019
Pelecehan, penyimpangan dan kekerasan seksual bukanlah hal baru yang muncul di abad modern. Perilaku tersebut telah tumbuh dan berkembang seiring perkembangan manusia di muka bumi. Sebagai contoh insiden pemerkosaan; ia bukanlah kreativitas orang-orang modern tetapi jejak-jejaknya dapat ditemukan dalam kehidupan masa lampau. Demikian pula dengan penyimpangan seksual semisal sodomi juga memiliki akar historis yang panjang dalam sejarah kemanusiaan.
Kenyataan tersebut dengan sendirinya membantah klaim sebagian kalangan bahwa kejadian itu adalah ekses dari kemodernan. Di zaman teknologi informasi seperti sekarang ini juga muncul “tudingan” dari sebagian pihak bahwa generasi sekarang lebih parah dari generasi dahulu. Tudingan ini tentunya tidak seluruhnya benar sebab kejahatan itu sudah pernah eksis di masa lampau. Perbedaannya hanya pada asupan informasi dan kemudahan melakukan aksi.
Dulu, pelecehan, penyimpangan dan kekerasan seksual terjadi di hutan belantara, di puncak-puncak gunung atau di semak-semak perkampungan, sekarang kejadian serupa dapat terjadi di hotel berbintang, angkutan umum, trotoar jalan atau bahkan di lembaga pendidikan.
Perbedaannya hanya terletak pada lokasi dan tempat kejadian itu berlangsung, bukan pada substansi kejahatan. Demikian pula dari aspek informasi; dulu berbagai penyimpangan seksual yang terjadi di tempat-tempat yang jauh dan hanya menjadi “konsumsi” masyarakat setempat akibat terlokalisasinya informasi; sementara saat ini dengan peradaban teknologi informasi yang sedang mencapai puncaknya, segala bentuk penyimpangan seksual dapat diakses dengan mudah melalui layar android.
Ulasan di atas tidak bermaksud menegasikan berbagai penyimpangan seksual yang tampak “subur” di zaman ini, tapi justru ingin mempertegas bahwa rupa-rupa penyimpangan itu hanyalah pengulangan dengan aktor, korban, waktu dan lokasi yang berbeda. Dengan kata lain, kejahatan seksual yang telah tumbuh di masa lalu terus berkembang hingga saat ini. Tegasnya, peradaban boleh berubah, tapi penyimpangan-penyimpangan itu belum hilang dari pentas dunia.
Kejahatan Seksual; Pelaku dan Korban
Kejahatan seksual selalu saja memberikan kepuasan bagi pelaku dan luka mendalam bagi korban. Kepuasan yang dialami oleh pelaku kemudian mendorongnya untuk mengulangi kejahatannya, sementara “luka” yang dirasakan korban akan mengurungnya dalam kondisi traumatis. Dalam banyak kasus, fokus hanya tertuju pada pelaku, sementara sisi terburuk yang dialami korban sering kali luput dari perhatian.
Dalam konteks hukum pelaku akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan yang kemudian bermuara pada eksekusi seperti penjara atau cambuk. Dalam konteks sosial, si pelaku akan terkucil dan terasing dari lingkungannya. Sementara dalam konteks agama, si pelaku juga akan mendapat kutukan dan ancaman neraka.
Lantas bagaimana dengan korban? Dalam berbagai hal korban justru akan menanggung risiko yang berlipat-ganda. Dalam konteks hukum hak-hak korban nyaris tidak diperbincangkan. Dalam konteks sosial, sama seperti pelaku – si korban juga merasa “dikucilkan” karena kesuciannya telah terenggut. Dia harus melewati masa depannya dengan kepedihan dan perasaan inferior.
Berpijak pada kondisi tersebut sudah seharusnya paradigma ini diubah. Artinya korban harus menjadi perhatian utama dibanding para pelaku, sebab tidak seorang pun berharap menjadi korban dari kejahatan seksual. Berbeda halnya dengan pelaku kejahatan yang notabene adalah sebuah pilihan yang muncul dari kesadaran. Hal penting lainnya yang sering luput dari perhatian kita adalah langkah proteksi agar tidak munculnya korban-korban baru. Selain pendidikan keagamaan, upaya protektif lainnya yang dapat dilakukan adalah pendidikan seks kepada anak dan remaja.
Pendidikan Seks
Dalam peradaban kita, khususnya di Aceh, perbincangan tentang perkara seksual masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Ketabuan ini kemudian melahirkan berbagai istilah bernuansa kamuflase untuk menyebut organ-organ tertentu semisal istilah “budit” untuk kelamin laki-laki dan “apam” untuk kelamin wanita. Istilah-istilah tersebut bisa berbeda di setiap daerah.
Kenyataan lainnya adalah munculnya doktrin bersifat pseudo (palsu) yang ditanamkan di benak anak-anak guna menutupi peristiwa sebenarnya yang dianggap tabu semisal penyebutan “adek kapai” untuk bayi-bayi yang baru lahir guna meneguhkan cerita bahwa bayi-bayi itu tidak dikandung dan bukan dilahirkan, tetapi dilempar dari “kapai” (pesawat terbang).
Muncul dan berkembangnya berbagai istilah kamuflase dan pseudo-doktrin tersebut adalah bukti paling autentik bahwa memperbincangkan persoalan seks adalah aktivitas yang tabu dan sangat dihindari, tidak hanya dalam keluarga, tapi juga dalam lingkungan pendidikan.
Dalam tradisi kita, pengenalan tentang dunia seks dalam skop terbatas biasanya hanya seputar menstruasi (haidh) bagi wanita dan mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki – sebagai bentuk penegasan bahwa kejadian itu adalah penanda bahwa mereka sudah baligh.
Uniknya, meskipun “perbincangan seks” dianggap tabu, namun diskusi tentang berbagai penyimpangan dan kejahatan seksual justru dianggap lumrah dan bahkan wajar.
Sebagai contoh, kasus pelecehan seksual (oral seks) yang dilakukan oknum pimpinan dayah di Lhoksemawe baru-baru ini. Perbincangan ini tampak meluas, tidak hanya di lingkungan dewasa, tapi juga anak-anak – di mana korban perilaku bejat oknum teungku tersebut adalah anak-anak di bawah umur.
Berpijak pada kenyataan ini, sudah saatnya ambiguitas perbincangan seksual segera diakhiri, khususnya di Aceh. Tidak mungkin kita terus-menerus “bersandiwara” sementara korban terus bermunculan. Adalah kekonyolan besar jika kita ragu-ragu untuk mendidik (pendidikan seks), tetapi justru tercengang-cengang ketika korban berjatuhan.
Pendidikan seks jangan serta-merta dimaknai sebagai ajang mengajarkan hubungan seks kepada anak yang bermuara pada kekhawatiran bahwa anak akan tergelincir untuk melakukan seks di luar nikah. Pemaknaan semisal ini adalah absurd, konyol dan bahkan destruktif. Akan tetapi pendidikan seks harus dipandang sebagai salah satu upaya protektif untuk menyelamatkan anak dari ancaman predator yang berkeliaran di sekitar mereka.
Dalam konteks pendidikan agama, pendidikan seks dapat dimulai dengan mengenalkan aurat sebagai organ yang sensitif dan privat. Sejak usia dini, harus ditanamkan kepada setiap anak bahwa organ-organ tersebut haram diperlihatkan kepada orang lain, baik kepada sesama jenis atau pun lawan jenis; dan haram pula melihat aurat orang lain. Aurat itu harus benar-benar dijaga agar ia tidak disentuh oleh siapa pun (kecuali kebutuhan medis), baik sesama anak atau pun orang dewasa; dan juga tidak menyentuh aurat orang lain.
Dalam kaitannya dengan hubungan sosial, harus ditanamkan kesadaran kepada anak agar ia melindungi dirinya dan menolak permintaan-permintaan tidak wajar dari orang lain yang berkaitan dengan aurat (organ seks). Penting pula diciptakan harmonisasi hubungan orangtua dan anak agar setiap penyimpangan dan kejahatan seksual yang dialaminya dapat diceritakan dengan terbuka kepada orangtua atau pun kepada guru-guru mereka di lingkungan sekolah.
Dalam konteks kekinian, juga harus ditanamkan sikap hati-hati kepada anak agar mereka waspada kepada para predator yang sedang berkeliaran. Tidak ada salahnya juga memberitahu mereka terkait berbagai kasus kejahatan seksual terhadap anak yang sedang marak terjadi, bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai bentuk proteksi agar anak bisa menjaga diri.
Berbagai upaya kecil yang telah terurai di atas hanyalah sebagai pengantar belaka guna menyelamatkan anak dari ancaman predator yang saban waktu mengintai. Upaya ini tidak akan pernah terlaksana jika pendidikan seks selalu dikaitkan dengan ketabuan dan kekhawatiran tak beralasan. Wallahul Musta‘an.
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment