Aksi 22 Mei dan Sikap Pemerintah

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: tempo


Bireuen, 23 Mei 2019

Meskipun pemungutan suara Pilpres 2019 telah usai, namun “pertentangan” antarkubu tampaknya masih terus menggelinding. Kenyataan ini diawali oleh adanya saling klaim kemenangan oleh kedua pihak sebelum adanya pengumuman resmi dari KPU. Kendati pun terbilang lazim dalam pentas demokrasi, namun aksi saling klaim ini justru menjadi titik awal munculnya bara api yang tidak akan pernah padam.

Sejumlah pihak menduga bahwa “perselisihan” angka ini akan melunak pasca diumumkannya hasil rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang awalnya direncanakan pada 22 Mei 2019. Namun kenyataanya, hasil pengumuman KPU yang dilakukan lebih awal, tepatnya pada tengah malam sebelum 22 Mei justru memperlebar polemik, di mana pengumuman itu sendiri dianggap aneh karena dilakukan pada waktu yang tak lazim.

Pasca pengumuman KPU, pasangan Prabowo-Sandi menyatakan menolak hasil rekapitulasi tersebut dengan dalih adanya indikasi kecurangan. Dalam beberapa keterangannya mereka menyebut bahwa indikasi kecurangan telah terjadi sebelum pemungutan suara, saat pemunguta suara dan pasca pemungutan suara. Sebaliknya, pasangan Jokowi-Ma’ruf yang notabene adalah petahana, sejak awal sudah menyatakan akan menerima hasil dari KPU dan menganjurkan kepada pihak-pihak yang keberatan untuk membawa perkara tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menyikapi adanya indikasi kecurangan, pasca pengumuman KPU pada 21 Mei, sejumlah massa melakukan aksi demonstrasi di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Para perserta aksi meminta agar Bawaslu mendiskualifikasi pasangan Jokowi-Makruf. Media juga mengabarkan bahwa pada malam tersebut sempat terjadi kericuhan di Tanah Abang dan wilayah Petamburan, Jakarta Barat. Akibatnya sejumlah orang yang diduga sebagai provokator ditangkap pihak kepolisian.

Pada 22 Mei aksi massa kembali berlangsung di depan Kantor Bawaslu sampai malam hari. Aksi demonstrasi ini juga terjadi di Sumatera Utara. Pada hari yang sama, di beberapa tempat di Jakarta terjadi kerusuhan dan bentrok yang mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban dan juga pembakaran beberapa unit kendaraan. Sementara di Pontianak dikabarkan dua pos polisi dibakar massa. Pembakaran pos polisi ini kabarnya juga terjadi di Madura dan Jakarta Pusat.

Akibat kerusuhan tersebut, sebanyak 442 orang yang diduga sebagai perusuh ditangkap oleh aparat kepolisian. Menurut pihak kepolisian rata-rata perusuh berasal dari luar Jakarta seperti Banten, Kupang, NTT, NTB dan Lombok. Sementara di Aceh dikabarkan salah seorang tokoh relawan Prabowo-Sandi juga ditangkap aparat karena dugaan hasutan melalui media sosial. Adapun korban luka dalam kerusuhan di Jakarta sesuai laporan media sampai dengan 23 Mei mencapai 737 orang dan delapan orang dikabarkan meninggal dunia.

Sikap Pemerintah

Pada prinsipnya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh massa di Jakarta adalah hal yang lumrah dalam demokrasi. Dalam konteks sosiologis, aksi demonstrasi itu sendiri adalah wujud protes dari masyarakat terhadap adanya dugaan kecurangan dalam proses pemilu yang baru saja usai dengan harapan adanya perubahan di masa depan. Seperti dikemukakan Klandermans (terj. Helly Soetjipto, 2005), bahwa “Protes digelar oleh orang-orang yang penuh harapan, bukan oleh orang-orang yang putus asa.” Tentunya demokrasi tidak pernah melarang masyarakat untuk melakukan perjuangan agar harapannya tercapai selama tidak terjadinya pelanggaran hukum. Namun sayangnya, pemerintah tampak menyikapi aksi tersebut secara berlebihan.

Ketika terjadi aksi kerusuhan pada 22 Mei, selain dilakukan aksi penangkapan terhadap para terduga pelaku kerusuhan, pemerintah juga memblokir media sosial sehingga tidak bisa diakses oleh masyarakat umum. Pemblokiran ini tentunya berdampak pada tertutupnya akses komunikasi dan informasi antarsesama masyarakat. Pemerintah berdalih bahwa pemblokiran tersebut dilakukan untuk menghindari penyebaran hoax terkait kerusuhan yang dapat memicu kegaduhan.

Jauh sebelum aksi 22 Mei berlangsung, pemerintah juga telah menangkap beberapa tokoh yang diduga akan melakukan makar. Penangkapan serupa juga dilakukan terhadap beberapa orang terduga teroris yang diduga akan melakukan aksi teror pada 22 Mei. Salah seorang mantan perwira tinggi TNI, Soenarko yang pernah menjabat sebagai Pangdam Iskandar Muda juga ditangkap aparat atas sangkaan kepemilikan senjata api.

Sejak awal pihak kepolisian telah menyatakan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan represif terhadap demonstran yang akan melakukan aksi pada 22 Mei. Sebaliknya mereka akan mengupayakan tindakan persuasif. Namun dalam praktiknya, seperti dikabarkan media, sejumlah korban telah berjatuhan dan bahkan ada yang meninggal dunia karena peluru.

Terlepas dari mana peluru itu berasal, namun secara sosiologis, insiden ini tentunya akan menjadi bara yang dapat memicu reaksi sosial.

Demikian pula dengan beredarnya beberapa video yang menayangkan aksi kekerasan oleh oknum aparat juga akan melahirkan kegelisahan yang bermuara pada ketidakpercayaan publik terhadap aparat negara. Ironisnya lagi, dugaan kekerasan oleh oknum aparat kepolisian sebagaimana dilaporkan Kumparan.com (23/05/2019) juga menimpa tenaga medis dari pekerja kemanusiaan Dompet Dhuafa. Dugaan kekerasan, seperti dirilis Viva.co,id (24/05/2019) juga terjadi terhadap anak usia 15 tahun, di mana anak tersebut dikabarkan meninggal dunia.

Dampak Kekerasan

Kita tidak memungkiri bahwa dalam kondisi tertentu tindakan “keras” yang dilakukan oleh oknum aparat adalah sebagai upaya penegakan hukum, semisal kepada para perusuh, tetapi aksi serupa itu tidak akan pernah mampu meredam amarah massa, malah sebaliknya dapat memicu perlawanan. Walter Benjamin dalam Hardiman (2015) mengemukakan bahwa “hukum tidak dapat keluar dari kekerasan; kekerasan yang dipakai untuk menjaga hukum dan kekerasan yang dipakai untuk menggulingkan hukum adalah satu dan sama.” Terlepas bagaimana kita memaknai kalimat ini, yang jelas segala bentuk kekerasan harus diakhiri, baik oleh aparat maupun massa.

Massa yang menyampaikan pendapatnya di depan umum tentunya harus dihargai tanpa perlu dicurigai, apalagi sampai melahirkan stigma negatif kepada mereka, sebab seperti dikemukakan Hardiman (2005), bahwa stigma akan melahirkan fobia, karena yang terstigma sering dipersepsi sebagai ancaman. Dalam kaitannya dengan demonstrasi, tidak semua massa aksi dapat dikategorikan sebagai perusuh, meskipun sebagian oknum perusuh itu berasal dari massa aksi.

Akhirnya kita hanya bisa berharap kepada pemerintah untuk dapat bersikap bijak dalam menyikapi berbagai aksi massa guna menutup ruang munculnya “konflik” akibat kekecewaan massa karena merasa perjuangannya terhalangi.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments