Pembubaran Ormas dan Otoritarianisme
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 20 Juli 2017
Foto: topsy.one |
Akhirnya ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dalam beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan di kalangan penguasa, resmi dibubarkan. Seperti dirilis kompas.com (19/07/17), Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM mencabut status badan hukum HTI. Pencabutan status ormas ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2 Tahun 2017 yang baru saja disahkan. HTI adalah organisasi pertama yang menjadi “korban penertiban” dari Perpu tersebut. Perpu ini diterbitkan pada 12 Juli 2017. Dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM, secara resmi, pemerintah mengumumkan pembubaran HTI.
Sementara itu, kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra telah mengajukan uji materi terhadap Perpu tersebut. Yusril juga mengatakan jika pihaknya akan menggugat keputusan Kemenkumham tersebut ke pengadilan (19/07/17). Berkembang informasi, beberapa ormas juga bereaksi menolak keputusan pemerintah terkait pembubaran HTI.
Menariknya, Presiden Jokowi dengan penuh “percaya diri” berdalih pembubaran HTI merupakan masukan dari para ulama dan masyarakat. Dalam menyikapi keputusan pemerintah ini, Kadiv Humas Polri (Serambi Indonesia, 20/07/17) juga menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas jika masih ada pihak-pihak yang masih menyebarkan ideologi HTI di Indonesia.
Terbitnya Perpu ormas dan pembubaran HTI ini sendiri ditanggapi secara pro-kontra oleh publik Indonesia. Sebagian kalangan menyebut pembubaran tersebut sudah tepat sebagai salah satu upaya membendung potensi radikalisme. Sementara sebagian kalangan lainnya secara tegas menolak keputusan pemerintah yang dianggap telah “menodai” penegakan demokrasi di Indonesia. Secara tidak langsung, pembubaran ormas juga berdampak pada lunturnya semangat reformasi.
Dalam keterangannya, Ketua MUI, Ma’ruf Amin meminta kepada pemerintah agar Perpu tersebut tidak dijadikan sebagai alat untuk menyapu ormas-ormas yang ada di Indonesia (liputan6.com, 20/07/17). Sementara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) secara tegas juga menyatakan menolak kehadiran Perpu Ormas karena berpotensi pada lahirnya pemerintahan diktator.
Namun sayangnya, partai Islam semisal PPP justru terkesan menyetujui pembubarakn ormas yang dilakukan pemerintah. Dalam pernyataannya yang dirilis kompas.com (20/07/17), Ketua Umum PPP, Romahurmuzy seperti mengamini pembubaran HTI dengan penyebut tindakan pembubaran ini akan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang ingin mendirikan ormas. Statemen serupa ini tentunya akan memunculkan kekecewaan dari publik, khususnya kalangan umat Islam.
Meskipun secara hukum – sesuai dengan Perpu, pemerintah memiliki kewenangan membubarkan ormas tertentu, namun jika aksi pembubaran hanya didasarkan pada ketakutan tak berdasar, maka bukan tidak mungkin dalam perjalanan nantinya Perpu tersebut akan terus menyasar ormas-ormas lainnya yang dicurigai mengganggu stabilitas kekuasan. Dan jika ini terjadi, maka kita akan terjebak dalam kepemimpinan otoritarianisme.
Otoritarianisme adalah sebuah paham yang berpegang pada otoritas kekuasaan yang kemudian mempengaruhi segala tindakan dan kebijakan. Pemimpin otoriter dalam praktiknya akan menggunakan segenap kewenangan yang dimilikinya dalam menyikapi berbagai persoalan. Pola kepemipinan otoritarian akan menutup ruang dialog dan diskusi. Dalam kondisi tertentu, pola kepemimpinan otoritarianisme juga akan melenyapkan kebebasan berpendapat guna mempertahakan kekuasan.
Dalam konteks politik, terganggunya kepentingan kekuasaan juga akan membuka peluang munculnya benih-benih sikap otoritarianisme dari pihak penguasa. Jika ini terjadi, tentunya tidak hanya ormas-ormas kritis yang terancam dibubarkan, tetapi juga akan berdampak pada tertutupnya ruang ekspresi sehingga wacana kritis akademik pun akan terkekang.
Di samping itu, label anti Pancasila dan anti NKRI terhadap ormas tertentu juga akan bergerak liar tak terkendali. Jika pola-pola otoriter diterapkan, maka peluang biasnya penafsiran anti Pancasila akan semakin luas. Dengan munculnya bias penafsiran, maka setiap ormas yang menunjukkan sikap “oposisi” terhadap kebijakan pemerintah akan berpeluang dilabel sebagai anti Pancasila dan NKRI.
Kondisi ini juga akan berdampak pada matinya kebebasan akademik. Wacana intelektualisme akan semakin tumpul dan terbenam. Dalam praktiknya, pola kepemimpinan otoritarianisme cenderung menutup ruang perbedaan sehingga hanya menyisakan penafsiran tunggal dari pihak penguasa.
Dampak lainnya yang akan muncul dari praktik otoritarianisme adalah terkekangnya diskursus keagamaan. Wacana-wacana Keislaman yang selalu menarik untuk dikaji akan terbelenggu dan berada pada titik stagnan. Asumsi ini didasarkan pada semakin liarnya label “radikalisme” yang ditujukan kepada ormas Islam tertentu. Tudingan-tudingan radikal akan terus menggelinding dan menyasar ormas-ormas yang diidentifikasi sebagai duri bagi langgengnya kekuasaan.
Tersebab itu kita berharap kepada beberapa pihak yang saat ini sepakat dengan Perpu Ormas agar tidak hanyut dalam eforia sesaat. Pembubaran ormas harus dilihat sebagai sebuah “tragedi demokrasi”, bukan justru dirayakan dengan suka ria. Semangat reformasi yang anti terhadap segala bentuk praktik otoritarianisme harus terus dipertahankan. Nalar-nalar kritis harus terus muncul di negeri ini.
Kita juga berharap kepada pemerintah selaku penguasa di negeri ini agar mampu bersikap arif dalam menyikapi setiap gerakan umat Islam. Secara politik, “memusuhi” umat Islam justru akan melemahkan kekuasaan, karena mayoritas penghuni negeri ini adalah umat Islam. Sebaliknya, pemerintah harus mampu menggunakan potensi umat Islam sebagai kekuatan yang menopang kekuasaan, bukan justru diposisikan sebagai “lawan.”
Harus disadari bahwa “tekanan” terus-menurus yang ditujukan kepada umat Islam akan berdampak pada munculnya kekecewaan massal. Kekecewaan ini nantinya akan berimplikasi pada terciptanya ketidakpercayaan umat Islam terhadap pemerintah. Untuk itu, sudah sepatutnya pemerintah segera melakukan tinjauan ulang terhadap Perpu Ormas demi menyelamatkan semangat reformasi. Presiden Jokowi harus berada di barisan terdepan dalam mempertahankan cita-cita reformasi!
Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan
loading...
Post a Comment