Sekularis Yang Sok Anti Sekularisme
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 07 Oktober 2013
Sumber: jejak-iblis.blogspot.com |
Ashim Ahmad Ajillah dalam bukunya menyebutkan bahwa inti dari Sekularisme adalah pemisahan agama dari urusan negara, politik, sosial, undang-undang dan ekonomi serta menjadikan agama terkungkung dalam urusan ibadah saja (A.A. Ajillah, terj. Samsuri, 2003: 138). Menurut H. M. Rasjidi sebagaimana dikutip oleh Juyaha S. Praja (2010: 188) Sekularisasi adalah sebuah sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, Kitab Suci dan hari kemudian.
Dari dua kutipan di atas kiranya bisa disimpulkan bahwa Sekularisme adalah sebuah sistem yang utuh tentang konsep-konsep sekular, sedangkan Sekularisasi merupakan sebuah upaya atau proses untuk menanamkan konsep-konsep sekular tersebut dalam kehidupan nyata manusia. Di samping itu kita juga mengenal istilah sekularis yang merupakan subjek (pelaku) atau orang-orang yang berfaham sekular.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa faktor yang menyebabkan kemunculan Sekularisme di Eropa adalah akibat tersulutnya api permusuhan antara agama dan negara di Eropa. Fenomena ini dibuktikan dengan adanya pertumpahan darah yang sangat dahsyat di Eropa akibat berkecamuknya pertikaian antara gereja dan ahli agama pada abad pertengahan. Ketika itu muncul kebencian masyarakat kepada ahli agama dan berpalingnya mereka dari gereja. Ditambah lagi dengan sikap para pendeta Nasrani (Kristen) yang memakan harta manusia dengan jalan yang bathil dan terlena dengan kemewahan. Akibat pertikaian tersebut akhirnya muncullah iklim untuk memisahkan agama dari negara (Ajillah: 139). Praja menyebutkan bahwa pendiri Sekularime adalah George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang kelahiran Birmingham Inggris (Praja, 2010: 188).
Adalah fakta yang sudah kita ketahui dan yakini bersama melalui berbagai referensi bahwa Sekularisme adalah produk yang diciptakan oleh orang-orang Barat yang notabene adalah orang kafir dan bukan berasal dari Islam. Dalam catatan sejarah Islam kita tidak menemukan adanya ajaran-ajaran sekular. Ajaran ini (baca: sekular) pertama sekali muncul dalam dunia Islam setelah di populerkan oleh seorang tokoh yang dikenal sebagai Bapak Turki Modern bernama Mustafa Kamal Attaturk.
Mustafa Kemal At-Taturk. Sumber: trabzonlugencler.net |
Pada tanggal 3 Maret 1924 Attaturk menghapuskan sistem khilafah di Turki dan mengganti dengan model negara republik. Attaturk juga menghapuskan Kementrian Waqaf dan Kementrian Syari’at serta menghapuskan semua sekolah yang berbau agama (Sabiq, 2008: 216). Mustafa juga membuat undang-undang yang mengharamkan pemakaian peci dan digantikan dengan topi koboy. Sesuatu yang aneh juga terjadi di Turki ketika itu, yang pertama sekali memakai topi koboy adalah seorang tokoh agama yang berprofesi sebagai mufti yang bernama Hasan Fahmi (Sabiq, 2008: 230).
Dari beberapa referensi lain juga disebutkan bahwa ketertarikan sebagian kalangan di dunia Islam terhadap konsep Sekularisme disebabkan oleh isu modernitas yang merupakan simbol kemajuan di dunia Barat. Gebrakan yang dilakukan oleh Attaturk di Turki merupakan sebuah contoh konkrit tentang aktualnya isu modernitas kala itu sehingga tanpa pikir panjang Attaturk mengubah tradisi Islam yang sudah mengakar di Turki dan beralih kepada warna kehidupan ala Barat.
Nur Rofiah, editor buku “Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi” dalam kata pengantarnya dalam buku tersebut menjelaskan bahwa di kalangan muslim terjadi sikap yang beragam terhadap isu modernitas. Pertama, menolak modernitas karena merupakan produk Barat yang menjadi musuh Islam. Kedua, menerima modernitas sebagai cara untuk sejajar dengan Barat dan memandang westernisasi sebagai syarat untuk mencapainya. Ketiga, menerima modernitas sebagai cara untuk maju tapi menolak westernisasi sebagai syaratnya (Sukran Vahide, terj. Sugeng&Sukono, 2007: xviii). Dari ketiga sikap yang disebutkan oleh Nur Rofiah tersebut Kamal Attaturk memilih sikap kedua dan langsung mempraktekkannya di Turki. Sedangkan sikap yang ideal bagi kita adalah sikap ketiga; untuk mencapai kemajuan tidak perlu harus kebarat-baratan.
Aceh dan Sekularisme
Uraian singkat di atas setidaknya bisa menjadi gambaran sederhana kepada kita tentang sejarah kelahiran Sekularisme baik di Eropa maupun di dunia Islam. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Aceh adalah gerbang pertama yang merupakan jalur masuknya agama Islam ke Nusantara. Terlepas dari perdebatan tentang kapan persisnya masuk agama Islam ke Aceh; apakah abad ke 7 atau abad ke 13, yang jelas mayoritas ahli sejarah sepakat bahwa Islam pertama sekali masuk ke Indonesia melalui Aceh.
Satu hal lagi yang perlu di ingat bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang terkenal sangat fanatik terhadap Islam. Masyarakat Aceh juga sangat sensitif dengan isu-isu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Perlawanan masyarakat Aceh terhadap penyebaran aliran sesat yang sempat menghebohkan Aceh beberapa waktu lalu merupakan bukti paling aktual bahwa masyarakat Aceh sangat fanatik dengan Islam, meskipun dalam kesehariannya masih ada sebagian masyarakat Aceh yang dalam tindak-tanduknya malah bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Akibat kefanatikan tersebut dengan sendirinya melahirkan konsekwensi bahwa masyarakat Aceh juga sangat benci dengan isu-isu Sekularisme yang notabene adalah produk Barat atau dalam istilah Aceh disebut “Atra Kaphe”. Namun demikian ada sebagian masyarakat Aceh yang membenci Sekularisme tak ubahnya seperti anak-anak takut kepada “Ma’oep” (baca: hantu). Ma’oep merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh para orang tua untuk menakuti anak kecil, namun sayangnya wujud Ma’oep itu sampai sekarang belum bisa dibuktikan bagaimana bentuknya. Hal serupa juga terjadi pada isu-isu Sekularisme – di mana sebagian masyarakat Aceh membenci Sekularisme tapi mereka tidak mengenal secara utuh apa itu Sekularisme. Dengan demikian kebencian mereka terhadap Sekularisme hanyalah kebencian basa-basi alias semu yang bersifat buta dan tak berwujud.
Dalam pandangan penulis meskipun konsep Sekularisme tidak pernah di deklarasikan secara resmi di Aceh, namun dalam kehidupan sehari-hari praktek-praktek sekuler sudah, sedang dan terus berlangsung di Aceh. Sekularisasi yang berkembang di Aceh menurut penulis masih bersifat alami tanpa digerakkan oleh komunitas tertentu (baca: para sekularis). Praktek-praktek sekuler yang berkembang di Aceh hampir mencakup setiap aspek kehidupan yang akan butuh banyak halaman bahkan butuh kertas berjilid-jilid sehingga tidak mungkin jika semuanya penulis jelaskan dalam tulisan singkat ini.
Namun demikian, penulis tidak mau tulisan ini disebut sebagai “karya buntung” yang dalam istilah Aceh mungkin sering disebut dengan istilah “Ch’oeh Ujoeng”. Untuk menjaga keutuhan tulisan ini penulis akan menjelaskan beberapa perilaku di Aceh yang menurut penulis merupakan wujud dari praktek-praktek sekuler. Sebagaimana kita ketahui bahwa Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang “katanya” secara resmi menjalankan Syariat Islam. Namun dalam pandangan penulis secara bersamaan praktek sekuler juga berjalan beriringan dengan Syariat Islam. Sebagai contoh paling sederhana adalah Sekularisme dalam bidang pendidikan. Dalam kegiatan-kegiatan formal siswa dan siswi di Aceh diwajibkan berpakaian secara Islami; bagi laki-laki memakai celana panjang dan wanita memakai jilbab. Para siswa dan siswi ketika di sekolah di ajarkan pelajaran Aqidah Akhlak, Quran Hadits, Fiqih dan beberapa pelajaran agama lainnya. Tapi anehnya, ketika kegiatan ekstrakurikuler yang juga dilaksanakan oleh pihak sekolah para siswa dan siswi malah di biarkan (untuk tidak menyebut di anjurkan) berpakaian dan berperilaku secara bebas. Sebagai contoh ketika latihan tari, para siswi diajarkan “melenggak-lenggok pinggul” dan bahkan ada yang tanpa jilbab dan berbaju ketat lengkap dengan celana pensil. Demikian juga ketika acara peringatan 17 Agustus atau ritual lainnya, kita bersama menyaksikan bagaimana para siswi berjalan sambil meloncat-loncat dalam acara karnaval. Jika kita tanya kepada mereka atau kepada guru mereka, apa ini tidak melanggar syariat? Jawabnya, “ini kan lain”. Meskipun kelihatan mengada-ngada tapi ini adalah fakta yang terjadi di Aceh. Dalam hal ini penulis berani memastikan bahwa mereka yang berkata “ini kan lain” adalah sekularis.
Apa gunanya mereka (para siswa-siswi) memperoleh nilai Sembilan pada pelajaran Aqidah Akhlak dan Quran Hadits jika dalam kesehariaannya mereka malah mengkhianati pelajaran tersebut? Sebuah sikap ambigu dan hipokrit. Wallahu Waliyut Taufiq.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment