Demokrasi; Antara Kegembiraan Rakyat dan Tirani Penguasa
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 02 Desember 2014
Ilustrasi. Sumber: sinifsiz.org |
Pernyataan Jokowi, bahwa demokrasi adalah kegembiraan rakyat merupakan anti-tesis terhadap praktek demokrasi di era Orde Baru, di mana ketika itu demokrasi telah dicederai dengan berbagai sikap dan tindakan “tidak senonoh” dari penguasa. Demokrasi di masa Orba hanya berupa materi ajar yang disampaikan di sekolah dan perguruan tinggi. Demokrasi hanya ada di papan tulis, sedangkan mulut rakyat kala itu terkunci. Kebebasan berekspresi hanya ada dalam mimpi, bahkan tulisan-pun terkadang turut menggiring para penulis ke dalam jeruji. Begitulah aroma demokrasi di masa lalu yang terpatri di benak masyarakat Indonesia. Bisa jadi, faktor ini-lah yang mendorong “sang Maestro Blusukan”, Joko Widodo, untuk merubah terminologi demokrasi yang berlaku di masa lalu menuju demokrasi hakiki dengan menjadikan “kegembiraan rakyat” sebagai indokator utama.
Tidak hanya itu, Jokowi juga pernah mengucapkan statement yang nyaris sama: “demokrasi adalah untuk mensejahterakan, bukan mencelakakan”. Seperti halnya kalimat pertama, statement ini juga merupakan sikap ketidaksetujuan Jokowi terhadap kerancuan demokrasi di masa lalu, di mana demokrasi hanya dijadikan alat untuk mensejahterakan penguasa sehingga rakyat abadi dalam kemiskinan.
Dua statement tersebut diucapkan oleh Jokowi pada saat masih berlangsungnya kampanye pilpres 2014. Lantas bagaimana implementasi dari dua statement manis tersebut pasca Jokowi dilantik sebagai Presiden RI? Apakah demokrasi sudah benar-benar menjadi kegembiraan rakyat? Apakah demokrasi sudah mensejahterakan? Untuk memberikan jawaban yang tepat tentunya sangat sulit, mengingat usia kepemimpinan Jokowi masih terlalu muda.
Kenaikan BBM kegembiraan rakyat?
Kenaikan harga BBM yang diumumkan oleh Presiden Jokowi pada 18 November 2014 lalu ditanggapi beragam oleh para tokoh di negeri ini. Sebagian pihak mendukung penuh langkah yang dilakukan oleh Presiden dengan alasan demi kesejahteraan rakyat. Sebagian pihak lainnya justru menolak dan mengecam langkah yang dilakukan Presiden dengan dalih harga minyak dunia sedang turun, sehingga kebijakan tersebut menjadi tidak tepat. Di sisi lain, keberanian Jokowi mengumumkan sendiri kenaikan BBM juga patut diacungi jempol, bahkan pantas disebut sebagai kesatria.
Lantas adakah relevansi kenaikan BBM dengan kegembiraan rakyat? Apakah demonstrasi penolakan kenaikan BBM yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat di sejumlah daerah bisa disebut sebagai wujud kegembiraan rakyat? Bukankah kenaikan BBM akan memicu meningkatnya harga kebutuhan pokok di seluruh pelosok negeri? Dengan tingginya harga barang di tengah kondisi ekonomi rakyat yang morat-marit, tentunya akan berimplikasi pada rendahnya daya beli masyarakat. Inikah maksud “sang Maestro” bahwa demokrasi untuk mensejahterakan? Tidakkah kebijakan tersebut justru “mencelakakan” perekonomian rakyat?
Menyikapi kondisi tersebut, nampaknya slogan “Jokowi adalah kita” menjadi tidak patut untuk dipertahankan, mengingat “kita” adalah rakyat. Akibat kebijakan Jokowi, “kita” makin terpuruk dalam kemiskinan. Meskipun Jokowi punya resep “kartu ajaib” untuk menolong “kita”, tapi hingga kini “kita” belum melihat manfaat konkrit dari kartu tersebut. Belum terlihat tanda-tanda bahwa demokrasi ala Jokowi akan mensejahterakan “kita”.
Di sisi lain, tindakan aparat terhadap demonstran, sebagaimana terjadi di Riau juga patut disesalkan, di mana aparat disebut-sebut telah membuat “kegaduhan” di rumah ibadah. Tindakan aparat ini akhirnya mendapat kecaman dari berbagai pihak, di antaranya ketua umum MUI Propinsi Riau yang mendesak agar kepolisian meminta maaf kepada publik. Beberapa media juga menyebut bahwa aksi pembubaran demo itu berlangsung represif sehingga sekitar 25 mahasiswa mengalami luka berat, ringan dan satu orang kritis. (liputanislam.com). Sikap kurang etis yang ditunjukkan oleh aparat juga memicu lahirnya pertanyaan dari publik, inikah kegembiraan yang pernah disebut-sebut oleh Jokowi?
Perpecahan Parpol kegembiraan rakyat?
Beberapa saat sebelum pilpres 2014, publik Indonesia juga sempat dihebohkan dengan terjadinya gejolak internal di tubuh PPP antara kubu Suryadharma Ali dengan kubu Romahurmuzy. Meskipun konflik tersebut sempat padam, namun pasca Jokowi dilantik, konflik kembali muncul, di mana masing-masing kubu saling klaim terhadap kepengurusan PPP.
Perpecahan internal parpol tidak hanya menimpa PPP, tetapi juga ikut mewabah di tubuh Golkar, di mana konflik semakin memuncak pasca pelantikan presiden. Beberapa waktu lalu, juga terdengar kabar bahwa Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI, Tedjo Edhy Purdjiatno, memerintahkan jajaran Polri agar tidak memberikan izin penyelenggaraan Munas Golkar di Bali (indopos.co.id). Sebagian pihak menginterpretasikan kebijakan Menkopolhukam tersebut sebagai salah satu bentuk intervensi pemerintah terhadap parpol.
Di sisi lain, pengamat politik Hendri Satrio menduga polemik Partai Golkar didalangi oleh orang-orang memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Politik pecah-belah dilancarkan demi menarik “Partai Beringin” kembali ke garis pemerintah (tribunnews.com). Tidak hanya itu, sebagian pihak juga menyebut bahwa PDI-P sebagai partai pemenang pemilu juga memiliki potensi konflik akibat pencalonan Jokowi sebagai presiden (gresnews.com).
Terlepas benar tidaknya analisis dari beberapa pengamat politik yang menghubungkan konflik internal parpol dengan sosok Jokowi, namun jika ditinjau dari perspektif awam, kegaduhan partai politik dan maraknya demonstrasi yang terjadi pasca pelantikan Jokowi sebagai presiden, secara tidak langsung telah membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia belum-lah menggemberikan.
Menteri dilarang ke DPR, kegembiraan?
Kejadian unik lainnya yang terjadi di era Jokowi adalah pelarangan Menteri Kabinet Kerja dan pejabat setingkat di bawah hierarki Presiden dan Wakil Presiden untuk bertemu pimpinan dan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat, baik dalam rangka membahas program kerja maupun rapat dengar pendapat (solopos.com).
Meskipun aksi pelarangan menteri ke DPR sempat dibantah oleh Jokowi dan para pendukungnya, namun publik telah terlanjur mengakses berita tersebut dari berbagai media. Jika-pun aksi ini dianggap sebagai sebuah “kegembiraan” dalam berdemokrasi oleh Jokowi dan pendukungnya, tapi menurut penulis, ini adalah bentuk kegembiraan yang sulit dimengerti.
Polliycarpus bebas, kegembiraan?
Baru-baru ini, tersiar kabar bahwa terpidana kasus pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, mendapatkan pembebasan bersyarat. Pollycarpus Budihari Priyanto mengantongi surat pembebasan bersyarat sejak Jumat (28/11/2014). Sebelumnya, Pollycarpus dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus meninggalnya Munir di pesawat Garuda Indonesia, 7 September 2004 (news.metrotvnews.com).
Seingat penulis – dan publik pun tentunya masih ingat, bahwa pada musim kampanye pilpres, pihak pro Jokowi telah menjadikan isu pelanggaran HAM sebagai komoditi politik paling laris dalam rangka “menghalau” rivalnya guna memenangkan pertarungan. Saat itu berbagai isu pelanggaran HAM dijadikan senjata untuk menghadang Prabowo Subianto guna meningkatkan elektabilitas Jokowi. Bahkan, Jusuf Kalla juga sempat “menyerang” Prabowo Subianto di debat capres dengan berbagai pertanyaan yang “menusuk”. Namun apa lacur? Ketika Jokowi berkuasa, terpidana pembunuh aktivis HAM justru bebas.
Setelah menyimak berbagai fenomena yang terjadi pasca pelantikan Jokowi, dimulai dari kenaikan BBM, tindakan represif terhadap pendemo, pelarangan menteri ke DPR, dugaan intervensi terhadap parpol dan pembebasan pembunuh aktivis HAM, masihkah publik percaya dengan falsafah yang pernah dipopulerkan oleh Jokowi, bahwa demokrasi adalah kegembiraan dan kesejahteraan? Atau mungkin publik akan menilai sebaliknya, bahwa semua fenomena tersebut adalah bentuk tirani penguasa? Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment