Ketika Damai “Diperkosa”
(Refleksi 9 Tahun MoU Helsinky)
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 16 Agustus 2014
Tanpa kita sadari, sembilan tahun sudah kita menikmati aroma damai di bumi Aceh. Masih berbekas di memori kita, sembilan tahun lalu, tepatnya 15 Agustus 2005, tokoh-tokoh kita (baca: GAM) telah mengukir janji dengan tangan-tangan Republik (baca: Pemerintah Indonesia) di Helsinky, dan telah pula melahirkan sebuah kesepahaman antara kedua pihak sebagaimana termaktub dalam Memorandum of Understanding RI-GAM yang lazim kita sebut dengan MoU Helsinky.
Di antara konsekwensi dari kesepahaman ini adalah dipulangkannya pasukan TNI-Polri (non organik) dari Aceh serta pemotongan senjata milik GAM. Di samping itu, sebagian kecil amanah dari MoU Helsinky juga telah terlaksana, di antaranya pemberian amnesti dan pembebasan terhadap Tapol/Napol Aceh, dana Reintegrasi untuk mantan GAM dan masyarakat korban konflik, pembentukan partai-partai politik lokal, serta penggunaan lambang dan bendera. Di sebalik itu, masih banyak pula amanah MoU Helsinky yang sampai sekarang belum terlihat wujudnya, di antaranya adalah Pengadilan Hak Azasi Manusia dan juga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Selain hal-hal tersebut di atas, dengan lahirnya MoU Helsinky juga telah berimplikasi pada terjadinya perubahan nyata dalam aspek sosial, di antaranya adalah terciptanya kemesraan antara TNI-Polri dengan mantan GAM yang dulunya saling mengacung pedang dan moncong senjata, tapi sekarang mereka (TNI-Polri dan GAM) bisa minum kopi segelas berdua. Fenomena ini tentunya akan sangat sulit kita jumpai di era 1976-2004, di mana ketika itu, TNI-Polri di satu pihak menuding GAM sebagai “pemberontak” dan GAM di lain pihak menghujat TNI-Polri sebagai “penjajah”.
Pasca MoU Helsinky, GAM telah memposisikan diri sebagai bagian dari NKRI melalui organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA). Isu merdeka yang pernah menjadi slogan perjuangan GAM di masa lalu, telah pula ditafsirkan ke arah yang lebih positif. Dengan kata lain, merdeka dalam konteks saat ini adalah “memerdekaan” rakyat Aceh dari kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Singkatnya, istilah merdeka tidak lagi dimaknai sebagai bentuk pemisahan diri, tetapi telah berubah makna menjadi “mensejahterakan” rakyat Aceh.
Namun di sebalik semua itu, lazimnya sebuah “kemesraan”, tentunya ada riak-riak kecil yang tak dapat dihindari. Seperti kata pepatah Melayu “senduk dan periuk lagi berantuk”. Seharmonis apapun sebuah hubungan, kadang kala juga terjadi perselisihan, dan sedamai apapun sebuah negeri, tetap saja ada ketegangan yang tak bisa dielakkan. Meskipun damai telah berumur sembilan tahun, namun di beberapa tempat di Aceh dalam beberapa waktu terakhir masih terjadi beberapa insiden dan aksi-aksi yang kurang manis, jika tidak mau dikatakan pahit.
Sumber: www.merdeka.com |
Tidak hanya itu, tahun lalu (2013) juga tersiar kabar bahwa para pekerja galian kabel serat optik di Bireuen juga diancam dan diteror oleh pihak-pihak tertentu, sehingga para pekerja tersebut menjadi tidak nyaman bekerja dan akhirnya dengan berbagai pertimbangan mereka dipulangkan ke daerah asalnya.
Dalam aspek kebebasan politik, beberapa waktu lalu di beberapa tempat di Aceh juga sempat terjadi berbagai aksi premanisme politik, seperti halnya pengancaman terhadap salah seorang Caleg wanita di Aceh Besar dan pembakaran mobil milik seorang kader partai PNA. Aksi teror ini pada kenyataannya tidak hanya menimpa kader PNA di Aceh, tetapi aksi teror serupa juga terjadi terhadap kader Partai Aceh, seperti penembakan mobil milik seorang anggota DPRK.
Sebelumnya (tahun 2012) juga sempat diberitakan bahwa mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sempat dipukuli oleh para oknum yang hadir dalam pelantikan Gubernur Zaini-Muzakkir di Banda Aceh. Terlepas apapun motifnya, namun aksi ini jelas-jelas sangat memalukan, apalagi terjadi pada ritual resmi yang tidak hanya dihadiri oleh undangan dari Aceh, tapi juga dari luar Aceh. Sebuah peristiwa yang terkesan aneh, di mana seorang tokoh GAM (Irwandi) yang pernah di sanjung ketika masih menjabat sebagai Gubernur Aceh, namun ketika jabatannya hilang justru menjadi bulan-bulanan massa yang notabene adalah rakyat Aceh sendiri.
Hal-hal tersebut di atas, menjadi bukti bahwa kebebasan politik belum sepenuhnya terlaksana di Aceh, di mana pergesekan antar partai politik terus terjadi, baik dalam skala besar maupun kecil. Jika sebelum damai, stigma-stigma “pengkhianat” dikhususkan hanya kepada pihak-pihak yang pro terhadap RI, namun sekarang stigma tersebut menjadi senjata untuk saling memusuhi antar sesama bangsa Aceh hanya karena perbedaan sikap dan keyakinan politik.
Di samping itu, kekacauan (baca: pro kontra) juga terjadi dalam aspek perundang-undangan, di mana sulitnya tercapai kata sepakat antar pihak (RI dan Pemerintah Aceh) khususnya dalam merumuskan sebuah keinginan yang notabene adalah amanah dari MoU Helsinky (baca: qanun). Di antara qanun yang menuai pro-kontra adalah qanun terkait Lembaga Wali Nanggroe dan Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Kedua qanun tersebut tidak hanya dipersoalkan oleh Pemerintah RI, tetapi juga menuai kritik dari sebagian masyarakat Aceh, di mana tidak semua elemen masyarakat Aceh sepakat dengan qanun tersebut.
Khususnya terkait Bendera Aceh, telah terjadi beberapa kebuntuan antar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Meskipun telah melalui beberapa dialog antar kedua pihak, namun sampai dengan detik ini belum ada kata sepakat terkait bendera tersebut, di mana Pemerintah Aceh tetap bersikukuh pada prinsipnya untuk mempertahankan bendera Bintang Bulan, dan di pihak lain Pemerintah Pusat dengan bermodalkan PP No. 7 Tahun 2007 dan segudang pertimbangan lainnya menolak berkibarnya si Bintang Bulan di bumi Aceh.
Sumber: acehterkini.com |
Namun di sebalik aksi penurunan bendera yang dilakukan oleh TNI-Polri tersebut, penulis melihat ada sebuah keanehan, di mana gelombang protes hanya datang dari pihak KPA/PA, sedangkan masyarakat Aceh pada umumnya terkesan bersikap pasif dengan aksi penurunan bendera tersebut. Padahal bendera yang diturunkan oleh TNI-Polri tersebut adalah Bendera Aceh yang secara hukum telah diqanunkan oleh Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Pada awalnya bendera Bintang Bulan memang milik GAM yang pernah digunakan sebagai simbol perjuangan di masa lalu, namun dalam beberapa waktu terakhir bendera tersebut telah “dihibbahkan” kepada Pemerintah Aceh untuk kemudian diqanunkan menjadi bendera Provinsi Aceh. Lantas kenapa rakyat Aceh hanya diam saja ketika Bendera Aceh itu diturunkan oleh aparat di Republik ini? Atau mungkin ini merupakan isyarat bahwa masyarakat Aceh tidak sepakat dengan bendera tersebut? Wallahu A’lam.
Di akhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak untuk bersikap bijak demi keberlangsungan perdamaian di bumi Aceh. Aksi-aksi yang menodai damai dan berpotensi memunculkan konflik sejatinya tidak lagi terjadi di Aceh. Jangan hanya karena ingin mempertahankan gengsi masing-masing pihak dan juga kepentingan politik lantas memaksa kita untuk memperkosa damai. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment