Amar Ma'ruf Nahi Munkar dalam Pandangan Ulama


(Tanggapan Terhadap Kerancuan Berfikir Syekh Khalil Samalanga)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 Mei 2012

Khairil Miswar. Foto 2013
Menarik sekali membaca tulisan saudara kita Syekh Khalil Samalanga (selanjutnya disebut Syaikhuna) di Harian Pikiran Merdeka (10/05/12) dengan tajuk “Urgensi Hisbah dalam Syari’at”. Dalam tulisan tersebut Syaikhuna secara langsung atau tidak langsung hendak melegalkan aksi kekerasan dalam Islam. Syaikhuna juga memastikan bahwa aksi kekerasan yang sudah terlanjur dilakukan oleh FPI Bireuen adalah sebuah bentuk ketegasan dan bukan kekerasan. Mungkin Syaikhuna belum memahami makna dari kekerasan itu sendiri sehingga terjadi kerancuan dalam mengimplementasikan perilaku tersebut. Apakah merusak harta benda milik orang lain bukan kekerasan? Mencaci orang lain dengan kata-kata tidak pantas apakah bukan kekerasan? Coba deh difikir dan dikaji kembali agar tidak terjadi syubhat dan kekaburan dalam mendifinisikan makna dan bentuk kekerasan. 

Dalam tulisannya Syaikhuna juga menyatakan bahwa Islam melegalkan ketegasan (kekerasan?) dengan adanya hukuman cambuk dan rajam. Menurut penulis contoh yang dimunculkan oleh Syaikhuna sama sekali tidak relevan. Cambuk dan rajam adalah sebuah bentuk hukuman yang memang sudah ditetapkan oleh syariat melalui dalil – dalil yang shahih baik dari Al – Quran maupun sunnah. Yang namanya hukuman tentunya harus melalui proses pembuktian di pengadilan, bukan dengan klaim dan tuduhan – tuduhan tak berdasar. Apakah menurut Syaikhuna aksi membongkar kios orang lain dengan paksa termasuk dalam katagori hukuman? Jika memang itu sebuah hukuman kenapa tidak melalui proses peradilan? Jika memang mereka terbukti melanggar syari’at, lantas kenapa FPI yang menghukum? Apa di negeri ini tidak ada pemerintah sehingga butuh campur tangan FPI? Siapa yang memberi kewenangan kepada FPI untuk melakukan aksi – aksi tersebut? Apakah pemerintah pernah mewakilkan kewenangan tersebut kepada FPI? Tolong Syaikhuna mengkaji kembali.

Penulis bukannya ingin berpolemik dengan FPI, namun menurut penulis tindakan yang dilakukan oleh FPI Bireuen adalah tindakan yang terlalu atraktif dan salah kaprah. Penulis juga bukan hendak melegalkan pelanggaran syari’at di tanah Aceh, namun perlu diketahui bahwa Islam adalah agama normatif – solutif , bukan agama provokatif – agresif. 

Pandangan Ulama

Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitab “Al Gunyah li Thalibi Thariq Al Haqq fi Al Akhlaq” menyebutkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan dua hal yang diwajibkan bagi setiap orang muslim yang merdeka, mukallaf serta memiliki pengetahuan tentang perintah tersebut namun dalam melakukannya harus memiliki kemampuan. Syaikh Abdul Qadir sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga menegaskan bahwa bentuk pencegahan ada tiga; dengan tangan, lisan dan terakhir dengan hati. Syaikh yang mulia ini juga menjelaskan bahwa kelompok yang melakukan pencegahan dengan tangan adalah para pemimpin dan penguasa. Kelompok yang melakukan pencegahan dengan lisan adalah para ulama. Yang terakhir adalah kelompok ketiga yang melakukan pencegahan dengan hati yaitu orang – orang awam. 

Lebih lanjut Syaikh Abdul Qadir Jailani mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal juga menyebutkan bahwa pencegahan harus dilakukan dengan kelembutan hati guna menunkjukkan berkah imannya. Dengan cara tersebut dia dapat menghindari kemungkinan buruk dari upaya pencegahannya. Syaikh Abdul Qadir juga menetapkan syarat – syarat amar ma’ruf nahi munkar, yaitu; pertama, harus benar – benar mengetahui apa yang akan diperintahkan dan dilarang. Kedua, harus bertujuan mencari keridhaan Allah dan tidak disertai dengan riya dan sum’ah. Ketiga, amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan lemah lembut dan tidak boleh dengan cara – cara yang radikal dan kasar. Keempat, penyeru amar ma’ruf nahi munkar harus selalu bersabar serta mampu mengendalikan diri, rendah hati dan tidak mengedepankan hawa nafsu. Kelima, Sebelum melalukan amar ma’ruf nahi munkar orang tersebut harus lebih dahulu mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi sesuatu yang dilarang dalam agama. Syarat kelima ini sangat urgen untuk diperhatikan agar orang – orang tidak berbalik menyerang kita, sehingga kita menjadi hina dalam pandangan Allah. Semoga saja penjelasan singkat ini yang penulis kutip dari penuturan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani bisa di fahami oleh Syaikhuna.

Pertanyaan Kepada FPI.

Sekarang saatnya kita bertanya kepada FPI yang diwakili oleh Syaikhuna tentang beberapa persoalan yang mungkin luput dari pandangan Syaikhuna. Pertama, apakah FPI merupakan representatif dari penguasa (pemerintah) sehingga FPI dengan garangnya berani melakukan aksi pembongkaran kios milik masyarakat? Apakah bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh FPI sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam? Jika ia, apa dalilnya yang bisa menguatkan anggapan tersebut? Apakah aksi anarkhis yang dilakukan oleh FPI bertujuan mencari ridha Allah atau hanya untuk mencari sensasi semata agar tidak merasa malu dengan FPI di pulau Jawa? Apakah anggota FPI yang ada di Kabupaten Bireuen sudah mengerjakan setiap perintah Allah dan meninggalkan larangaNya? Apa bisa dipastikan bahwa tidak ada oknum anggota FPI yang melanggar syariat? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang penulis yakini tidak akan mampu dijawab oleh FPI yang ada di Kabupaten Bireuen.

Adapun analogi yang dibuat oleh Syaikhuna bahwa seorang ayah boleh memukul anaknya atau suami dibolehkan memukul istrinya (selain diwajah) jika membangkang itu memang sudah diajarkan dan diatur dalam syari’at. Memukul anak yang melakukan kesalahan tidak bisa disepadankan dengan merusak kios orang. Bedanya jauh banget gitu lho (bahasa anak gaul). Seorang ayah boleh memukul anaknya yang bandel sebagai bentuk dari pendidikan dan bukan untuk membunuh. Mungkin ada yang bertanya, kenapa ayah boleh melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap anaknya dengan tangan? Jawabnya, karena ayah adalah “penguasa” dirumahnya dan dia memiliki kemampuan untuk itu. Beda halnya dengan seorang ayah yang memukul anak orang lain, ini jelas tidak boleh karena dia bukan penguasa bagi anak orang lain yang notabene memiliki ayahnya sendiri. Lantas bagaimana dengan aksi FPI yang merusak kios orang apakah dibolehkan? Tanya dulu, apa FPI penguasa di daerah tersebut? Jika bukan, stop aja deh (gaul lagi). 

Jika memang syarat-syarat amar ma’ruf nahi munkar belum difahami oleh FPI, lantas buat apa kawan-kawan FPI terburu-buru bak “pahlawan kesorean” (baca: melebihi pahlawan kesiangan). Kita berharap agar Syaikhuna mengkaji kembali pemikirannya yang terkesan rancu dan tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Apakah Syaikhuna merasa lebih ‘alim tentang syariat ini jika dibanding dengan Syaikh Abdul Qadir Jailani? Mari kita instropeksi diri kita masing – masing. Wallahul Waliyut Taufiq.

Tulisan ini sudah dimuat di Harian Pikiran Merdeka


loading...

No comments