Aliran Sesat Vs Aliran Brutal
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 November 2012
Sebagaimana kita ketahui bersama melalui berbagai literatur sejarah bahwa Aceh adalah gerbang utama masuknya agama Islam ke Nusantara. Kononnya lagi beberapa personil Wali Songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa juga berasal dari Aceh. Di masa lampau Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara. Islam ketika itu menjadi agama resmi kerajaan yang dianut oleh Sultan dan rakyat. Kemegahan Aceh kala itu tidak terlepas dari pengaruh agama Islam yang sudah mengakar dalam benak masyarakat Aceh. Rakyat Aceh adalah masyarakat sangat fanatik terhadap Islam. Rakyat Aceh tidak segan-segan mengangkat senjata apabila agama dan keyakinannya terusik.
Perang Aceh melawan Belanda yang dimulai pada tahun 1873 merupakan sebuah wujud kepedulian rakyat Aceh untuk mempertahankan Islam agar tidak di usik oleh kafir Belanda. Meskipun dalam beberapa referensi sejarah disebutkan bahwa tujuan Belanda menguasai daerah jajahan adalah untuk kepentingan bisnis, bukan untuk menyebarkan agama tertentu. Berbeda halnya dengan tujuan Portugis yang turut membawa misi agama dalam wilayah jajahannya. Namun demikian masyarakat Aceh memiliki rasa waspada yang tinggi, mereka mengorbankan harta, jiwa dan raga untuk mengusir kafir penjajah dengan semangat jihad fi sabilillah.
Rasa fanatisme rakyat Aceh terhadap Islam terkadang melahirkan beberapa sikap yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Hal ini terlihat jelas ketika ada isu aliran sesat yang berkembang di Aceh. Dengan semangat menyala-nyala sebagian masyarakat Aceh akan mencari dan menumpas aliran sesat tersebut tanpa ampun meskipun terkadang dugaan tersebut belum terbukti.
Tragedi berdarah di Peulimbang-Bireuen merupakan kasus terbaru yang sampai kini masih hangat di perbincangkan di kedai-kedai kopi. Sebagaimana diberitakan oleh beberapa media lokal dan juga media nasional kekerasan yang terjadi di Peulimbang telah merenggut beberapa nyawa dan juga perusakan harta benda. Kejadian tersebut telah menewaskan Tgk Aiyub, Muntasir (pengikut Aiyub) dan satu orang dari masyarakat.
Tragisnya lagi dalam kejadian tersebut Tgk Aiyub dan pengikutnya di bakar hidup-hidup oleh massa. Terkait aksi pembakaran ini masyarakat memiliki pendapat yang beragam, sebagian membenarkan dan sebagian yang lain justru mengecam perilaku tersebut.
Dalam pandangan penulis aksi pembakaran manusia yang dilakukan oleh massa di Peulimbang sama sekali tidak dapat dibenarkan, baik melalui dalil maupun akal sehat. Tidak ada satupun dalil baik dalam Al-Quran maupun dalam Sunnah Nabi yang membenarkan aksi pembakaran terhadap manusia dan bahkan Rasul sendiri sangat membenci perilaku tersebut karena yang berhak menghukum dengan api hanya Allah saja sebagai pencipta Api.
Apapun alasannya tindakan membakar manusia adalah perilaku yang sangat biadab. Meskipun ada sebagian masyarakat yang berargumen bahwa aksi pembakaran tersebut bertujuan memberi pelajaran agar aliran sesat lainnya menjadi takut dan tidak menyebarkan fahamnya di Aceh. Dalam pandangan penulis alasan seperti ini adalah alasan yang sangat lemah dan berlebihan. Aliran sesat dalam Islam bukanlah hal baru, bahkan ketika Rasul masih hidup Musailamah memproklamirkan dirinya sebagai Nabi. Pada masa Abu Bakar kelompok Musailamah ini berhasil di tumpas. Namun tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa Abu Bakar memerintahkan untuk membakar Musailamah dan pengikutnya agar menjadi pelajaran bagi orang lain.
Menurut penulis, tragedi Peulimbang tidak akan terjadi andai pihak MPU sebagai pemegang otoritas keagamaan di Aceh bersikap tegas dan tidak terbawa arus. Dugaan sesat yang ditudingkan kepada Aiyub Cs sampai saat ini belum bisa dibuktikan secara meyakinkan. Bahkan MPU Bireuen menyatakan bahwa tidak bisa memutuskan apakah Tgk Aiyub tersebut sesat atau tidak, namun menurut MPU Tgk Aiyub menjurus kepada sesat. Pernyataan seperti ini adalah pernyataan syubhat yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran dalam benak masyarakat.
Sebenarnya aksi kekerasan yang terjadi terhadap Aiyub Cs bukanlah kejadian pertama di Aceh. Kejadian seperti ini terus berulang dengan motif dan lokasi yang berbeda. Dalam menyikapi berbagai hal yang dianggap menyimpang sebagian masyarakat Aceh cenderung memakai kekerasan sebagai solusi utama. Pada tahun 2010 balai pengajian milik Tgk Aiyub juga sempat di bakar massa. Dalam menyikapi aliran Laduni di Aceh Barat beberapa waktu lalu, massa juga mengamuk dan merusak harta benda milik orang lain. Pada tahun 2011 lalu, Nek Liyah yang dituduh sebagai dukun juga dibunuh dan dibakar dalam aksi massa di Desa Geureghek, Kecamatan Paya Bakong Aceh Utara. Kejadian yang tak kalah sadisnya juga terjadi di Desa Lawe Serke, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Aceh Tenggara. Disana diberitakan pelaku pencurian bebek tewas bersimbah darah akibat dihajar oleh ratusan massa di desa tersebut. Selanjutnya pada Bulan Ramadhan beberapa waktu lalu tragedi pembunuhan terhadap Ahmad Johan (70 tahun) dan Maimunah binti Abdullah (73 tahun), pasangan suami istri yang sudah berusia lanjut di Desa Cot Saleut, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen juga telah mencoreng wajah syariat Islam di Aceh.
Beberapa contoh kasus kekerasan tersebut dalam pandangan penulis merupakan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Islam yang telah diajarkan oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai Rasul terakhir yang diutus ke muka bumi. Kita mengaku sebagai muslim, tapi akhlak dan perilaku kita justru menghancurkan sendi-sendi Islam yang sudah dibangun oleh para pendahulu.
Anehnya, untuk mengajak orang-orang menegakkan shalat berjamaah di Aceh sangat sulit dan butuh waktu yang lumayan panjang hanya sekedar untuk meyakinkan mereka tentang pentingnya shalat berjamaah. Tapi giliran untuk memberantas aliran sesat tidak butuh banyak modal, bahkan mungkin cukup dengan “satu sms” masyarakat kita sudah berkumpul di alun-alun lengkap dengan senjata parang, pedang, minyak bensin dan korek api layaknya pasukan tempur yang siap mati dengan keyakinan akan memperoleh pahala syahid. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah dimuat di The Globe Journal
loading...
Post a Comment