Bersatu dalam Keberagaman


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 29 Desember 2011

Islam adalah agama terakhir yang diturunkan oleh Allah sebagai pedoman hidup umat diakhir zaman. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada insan terpilih Muhammad saw melalui perantaraan ruhul amin (Jibril as). Islam diturunkan ditanah Arab ketika kerusakan moral orang – orang Arab mencapai puncak. Islam adalah penyempurna agama – agama terdahulu (Yahudi dan Nasrani). Islam adalah agama baru yang menghapus syariat terdahulu yang sudah diselewengkan oleh pemeluknya. 

Islam hadir sebagai agama pemersatu, hal ini terbukti ketika Nabi saw menyatukan empat komunitas di Madinah (muhajjirin, anshar, yahudi dan nasrani) menjadi satu ummah. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam merupakan simbol perdamaian dan pemaafan. Kita pasti ingat ketika Rasul Saw menaklukkan kota Mekkah, keamanan warga kota dijamin oleh Rasul Saw. Padahal sebelumnya beliau saw tertindas di Mekkah. Tetapi tidak nampak dendam di wajah beliau. 

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hak azasi manusia, tidak seperti dituduhkan oleh orang – orang anti Islam semisal amnesty internasional. Hal ini tertuang dalam khutbah Nabi saw di Arafah ketika melakukan haji wada’. Tidak ada kasta dalam Islam, tidak ada perbedaan kulit, semuanya sama di hadapan Allah swt. 

Mazhab dibangun sebagai pilihan

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Islam pada masa – masa awalnya dibawa oleh Rasul saw, diteruskan oleh para shahabat dan selanjutnya diikuti oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Ketika itu tidak ada mazhab yang muncul, setiap persoalan mereka kembalikan kepada Al Quran dan Sunnah, jika tidak ada nash mereka melakukan ijtihad. 

Ilustrasi. Sumber: kitaabun.com
Pada perkembangan selanjutnya mazhab fiqh mulai muncul kepermukaan. Disini penulis Cuma membicarakan empat mazhab mu’tabar yang masih diikuti sampai sekarang. Mazhab tertua diantara mazhab yang ada adalah mazhab Hanafi yang dipelopori oleh Abu Hanifah di Kufah. Di kota Nabi Madinah juga muncul mazhab yang didirikan oleh Imam Malik Bin Anas. Di Palestina, lahir seorang ‘alim yang masih keturunan Quraisy juga menyusun sebuah mazhab yang kita kenal dengan mazhab Syafi’i, dipimpin oleh Imam Syafi’i. Mazhab mu’tabar yang terakhir adalah mazhab Hanbali yang dibangun oleh seorang Imam pemberani, Imam Ahmad Bin Hanbal.

Menurut penulis, kemunculan mazhab – mazhab tersebut bertujuan untuk mempermudah umat dalam memahami agama ini. Mazhab tersebut lahir sebagai pilihan bagi umat. Dari beberapa sumber kita juga mendapati bahwa keempat Imam yang mulia ini tidak pernah mewajibkan agar mazhabnya diikuti. 

Kita juga pasti sering membaca di buku – buku sejarah bahwa para Imam mazhab tidak pernah menyalahkan mazhab lain untuk membenarkan mazhabnya. Murid – murid mereka pada generasi pertama juga mengikuti jejak para Imam, mereka saling menghargai dan tidak melecehkan mazhab lain. Perdebatan yang terjadi antara murid – murid para imam pada masa lalu merupakan perdebatan ilmiah semacam diskusi dengan cara mengemukakan dalil – dalil yang dipegang oleh imamnya. Tujuan diskusi ilmiah tersebut adalah untuk mencari kebenaran melalui dalil – dalil, bukan sebagai ajang permusuhan.

Permusuhan antar mazhab baru terjadi pada zaman berikutnya. Seperti disebutkan dalam Tarikh Tasri’ bahwa pada zaman tersebut kaum muslimin berada dalam kondisi yang penuh dengan kejumudan dan taqlid buta terhadap mazhab. Masing – masing mazhab memproklamirkan bahwa mazhabnyalah yang paling benar. 

Taqlid Era Modern.

Khususnya di Indonesia perdebatan mazhab masih terjadi sampai sekarang, meskipun tidak nampak ke permukaan. Terlebih lagi di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga terjebak dalam huru – hara mazhab. Seperti kita ketahui bersama bahwa mayoritas masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i. 

Pada suatu ketika, penulis pernah mendengar seorang teungku (imam mesjid) menyampaikan pengajian malam jumat dengan semangat berapi – api. Dalam pengajian tersebut beliau berfatwa dengan bahasa Aceh yang fasih; “ nyan ureung nyang jak seumayang u mesjid Geulanggang ngon mesjid Pante Gajah nyan ka saheh kafee” (orang – orang yang shalat di mesjid Geulanggang dan mesjid Pante Gajah itu sudah pasti kafir). Perlu penulis jelaskan disini bahwa orang yang melaksanakan shalat di mesjid Geulanggang dan mesjid Pante Gajah yang disebut oleh teungku tersebut adalah saudara – saudara kita yang oleh teungku tersebut diklaim sebagai wahabi atau dalam istilah orang Aceh sering disebut dengan muhammadiyah atau ‘MD”. Kejadian seperti ini juga pernah penulis jumpai ditempat lain ketika seorang khatib dalam khutbahnya menyebut bahwa; “awak meujanggoet nyan Yahudi, kon ahlussunnah lagee tanyoe” (orang – orang berjenggot itu adalah Yahudi, bukan ahlussunnah seperti kita”. Kita semua yakin bahwa femomena ini akan terus terjadi sepanjang masa yang akhirnya membuat umat ini larut dalam perpecahan.

Bersatu dalam keragaman

Diakui ataupun tidak, ego mazhab telah membuat kita terpecah belah. Padahal para Imam mazhab tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Ukhuwah Islamiyah merupakan hal terpenting yang harus kita jaga bersama. Ukhuwah ini tidak akan terbentuk dengan sendirinya tanpa ada usaha dari setiap kita untuk saling menghargai sesama muslim. Kita membutuhkan teungku dan ustaz yang bermazhab tetapi mampu menghargai mazhab lain meskipun berbeda jauh dengan mazhabnya. 

Penulis memiliki solusi sederhana untuk memecahkan persoalan ini meskipun terkesan sulit, namun penting demi persatuan umat Islam. Andai mungkin dalam setiap pembelajaran fiqih, khususnya didayah/pesantren para teungku memberikan pelajaran sesempurna mungkin. Walaupun mayoritas teungku bermazhab Syafi’i menurut penulis tidak ada salahnya jika para teungku juga menjelaskan kepada murid –muridnya bahwa ada mazhab lain selain mazhab kita. Misalnya ketika mengajarkan shalat, meskipun memakai kitab – kitab karangan ulama Syafi’i para teungku juga harus memberikan sedikit gambaran tentang tata cara shalat yang dilakukan oleh mazhab lain. Sebagai contoh, Mazhab Syafi’i mengajarkan letak tangan dalam shalat diatas pusar, jangan sampai ketika para santri melihat ada orang shalat meletakkan tangan diatas dada lantas dengan mudah mereka menyebut orang tersebut sesat. Menurut penulis hal seperti ini perlu diperhatikan oleh para teungku untuk meminimalisir pertentangan sesama muslim yang diakibatkan oleh ketidaktahuan.

Kita juga berharap tidak ada lagi teungku di Aceh yang melakukan provokasi diatas mimbar. Para teungku harus menjadi panutan, jangan sebaliknya malah menjadi biang kerok yang mengakibatkan perpecahan umat Islam. Perbedaan teknis yang terjadi dalam ibadah antar mazhab seharusnya menjadi keelokan tersendiri. Sudah saatnya kita bersatu dalam keberagaman dengan meninggalkan ego mazhab. Wallahul Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah dimuat di The Aceh Traffic.
loading...

No comments