Dana Otsus dan Potret Kemiskinan di Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Foto: Khairil Miswar



Bireuen, 13 September 2019

Beberapa waktu lalu sejumlah kalangan di Aceh merasa berang dengan kritik yang disampaikan Rizal Ramli dalam acara ILC di TV One (3/9/19). Saat itu Ramli menyebut bahwa Aceh tidak bisa menjadi contoh yang baik dalam pengelolaan dana Otonomi Khusus (Otsus) di mana persoalan kemiskinan belum mampu diselesaikan. Meskipun kritik ini mendapat protes dari beberapa kalangan, namun yang disampaikan Rizal Ramli ada benarnya, untuk tidak menyebutnya sebagai fakta.

Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh melaporkan bahwa pada bulan September 2018 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 831 ribu orang atau 15,68%. Jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2018 memang telah mengalami pengurangan sebanyak delapan ribu orang. Namun jika dibandingkan dengan September tahun 2017 justru terjadi penambahan dua ribu orang (aceh.bps.go.id). Padahal sebagaimana dilaporkan oleh sejumlah media, Provinsi Aceh sejak tahun 2008 sampai 2018 telah mendapat kucuran Dana Otonomi Khusus sejumlah 56,67 triliun, tapi sayangnya persoalan kemiskinan di Aceh belum juga terselesaikan. BPS Aceh seperti dilansir okezone.com (17/07/2018) menyebut jumlah penduduk miskin di Aceh jika dibandingkan dengan September 2017, pada Maret 2018 justru bertambah sepuluh ribu orang. Uniknya lagi, Aceh juga disebut-sebut sebagai provinsi paling miskin di Sumatera dan termiskin ke enam di Indonesia.

Dari informasi tersebut dapat diduga bahwa Pemerintah Aceh sama sekali belum memiliki prestasi yang menggembirakan terkait dengan pengentasan kemiskinan. Namun demikian bukan berarti kita menafikan usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh, tapi kita melihat usaha-usaha ke arah itu belum berjalan maksimal. Dengan demikian sudah sepatutnya untuk ke depan pemerintah dapat melakukan langkah-langkah strategis agar persoalan kemiskinan di Aceh dapat terselesaikan atau setidaknya dapat melahirkan pengurangan yang signifikan.

Kondisi Miris

Di sebagian tempat di Aceh, khususnya wilayah Pantai Timur, sering terdengar orang berucap bahwa “Semiskin-miskinnya orang Aceh, tidak ada yang sampai mati kelaparan.”

Kuat dugaan bahwa kalimat ini sengaja dimunculkan sebagai bentuk penegasan bahwa Aceh adalah wilayah makmur yang kondisi perekonomiannya berbeda dengan daerah lain. Aceh kaya dengan hasil alam dan seterusnya. Tapi, belakangan kita mengetahui bahwa kalimat semisal itu hanyalah pemeo belaka dan bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Laporan BPS di atas setidaknya bisa menjadi bukti bahwa kemiskinan di Aceh benar-benar nyata dan bukan sekadar mitos belaka.

Tanpa perlu alat canggih dan teknologi yang tinggi, kondisi kemiskinan dapat dengan sangat mudah terlacak, setidaknya dengan memperhatikan kondisi perekonomian orang-orang yang hidup di sekitar kita. Bahkan di kampung-kampung, khususnya menjelang hari raya atau pasca panen, keberadaan masyarakat miskin dapat diketahui dari daftar penerima zakat. Bukan tidak mungkin sebagian kita juga termasuk ke dalam kategori miskin.

Sebagaimana status masyarakat kaya yang bertingkat-tingkat dengan maqam masing-masing, masyarakat miskin juga terklasifikasi ke dalam beberapa level. Beberapa level dimaksud berada dalam kategori kemiskinan biasa – sesuai pameo di atas, kelompok ini memang tidak sampai kepada taraf merasakan kelaparan, meskipun berada dalam kategori miskin. Namun kita tidak bisa menutup mata, bahwa ada sekelompok masyarakat di luar sana yang hidup dalam kategori kemiskinan ekstrem – yang tidak sekadar miskin, tapi juga “terkucil” dari keramaian.

Beberapa waktu lalu, sebuah media lokal di Aceh mengabarkan bahwa Kakek Sulaiman, warga Desa Pulo Ara Kabupaten Bireuen meninggal dunia setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Sebelumnya dia ditemukan seorang diri dalam kondisi kurus kering di gubuknya. Diduga ia sudah lama terlantar dan tidak mendapatkan makanan. Kakek tersebut dibawa ke rumah sakit oleh komunitas Kami Peduli Bireuen (KPB) yang saat itu dikomandoi Bripka. Deni Putra.

Sebelumnya kita juga sempat dikagetkan dengan kisah Badiun yang mayatnya ditemukan di samping gubuk di Keudah Banda Aceh. Media menginformasikan bahwa Badiun berasal dari keluarga yang sangat miskin. Saat masih hidup ia bekerja serabutan di Banda Aceh. Ayah Badiun dikabarkan juga tinggal seorang diri di Aceh Utara dalam kondisi sakit-sakitan.

Dua kasus di atas hanya sekadar contoh; di mana masih banyak kasus-kasus kemiskinan ekstrem lainnya di sekitar kita yang selama ini mungkin luput dari perhatian. Kasus-kasus semisal itu tidak hanya luput dari pantauan pemerintah, tapi juga luput dari perhatian keluarga dan masyarakat sekitar. Terlebih di wilayah perkotaan kondisi serupa ini mungkin telah lumrah terjadi, di mana kita disibukkan dengan rutinitas masing-masing sehingga tetangga dan sanak saudara sering kali terlupakan.

Belajar Peduli

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Salah satu sisi kemanusiaan yang harus dimiliki oleh segenap manusia adalah kepedulian terhadap sesama.

Dengan kepedulian inilah kehidupan sosial itu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kehidupan sosial akan terhenti ketika kita larut dalam sikap individualisme yang hanya mementingkan diri sendiri. Bukan hanya berkaca pada teori-teori humanisme, tapi dalam Islam sendiri, sikap peduli ini juga menjadi aspek penting yang mesti dimiliki oleh umat dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi. Di antara kepedulian terpenting yang harus diperhatikan adalah kepedulian kepada orang-orang terdekat semisal tetangga.

Dalam sejumlah hadits, Rasul senantiasa meminta kita untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga. Rasul juga melarang kita untuk menyakiti tetangga.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasul pernah bersabda: “Kalau kamu memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya. Kemudian lihatlah keluarga dari tetanggamu. Dan berikanlah kepada mereka dengan baik.”

Dalam hadits lainnya: “Sebaik-baik teman di sisi Allah adalah orang yang paling baik terhadap temannya. Dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah orang yang paling baik di antara mereka dengan tetangganya” (Tirmidzi).

Hadits senada berbunyi: “Tidak patut dinamakan orang beriman, orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya menderita kelaparan, padahal ia mengetahuinya” (Bukhari).

Beberapa hadits di atas cukuplah menjadi dalil bagi kita semua bahwa Islam menaruh perhatian besar terhadap persoalan kepedulian, khususnya kepada tetangga yang hidup dalam kesusahan dan kegetiran akibat belitan ekonomi. Tentunya Allah tidak akan ridha jika kita hanya berlomba dalam ibadah personal semisal umrah berkali-kali tetapi membiarkan orang miskin di sekitar kita kelaparan.

Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mencari harta dan menggunakan harta tersebut sesuai keperluannya semisal haji (lebih dari satu kali) atau umrah. Seperti dikemukakan Cummings dkk (dalam Esposito, 1985) berbeda dengan sosialisme, Islam membenarkan kepemilikan pribadi terhadap aset kekayaan, dan berbeda pula dengan kapitalisme, kepemilikan harta dalam Islam mengandung kewajiban sosial. Adapun kewajiban sosial dimaksud adalah pemenuhan hak-hak orang yang membutuhkan, khususnya orang-orang terdekat.

Tanggung Jawab Pemerintah

Sejauh ini di Aceh sendiri telah bermunculan beberapa komunitas yang bergerak di bidang sosial untuk membantu orang-orang yang membutuhkan semisal Kami Peduli Bireuen (KPB) dan juga komunitas lainnya di beberapa kabupaten di Aceh.

Jauh sebelumnya aksi sosial ini juga telah dilakukan oleh Edi Fadhil yang membantu pembangunan rumah bagi kaum dhu‘afa melalui sumbangan para dermawan.

Apa yang dilakukan oleh Edi Fadhil dan KPB adalah wujud kepedulian personal yang tumbuh dari pribadi masing-masing. Sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi kepada mereka sembari terus berusaha agar kita juga bisa menjadi bagian dari orang-orang yang peduli kepada sesama.

Namun demikian, pemerintah sebagai penguasa juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan warganya. Jika pemerintah benar-benar cermat tentunya kejadian menyedihkan yang menimpa Badiun dan Kakek Sulaiman tidak akan pernah terjadi.

Pemerintah mungkin bisa menjadikan sosok Umar bin Khattab sebagai prototipe tentang bagaimana kepedulian pemimpin itu dijalankan. Seperti dicatat sejarah, Umar adalah seorang pemimpin yang kedekatannya dengan rakyat begitu melegenda.

Artikel ini sudah terbit di Harian Analisa Medan. 


loading...

No comments