Orde Baru 4.0

Oleh: Khairil Miswar

Ilustrasi: Toonpool



Bireuen, 27 September 2019

Revisi UU KPK, RKUHP dan sejumlah RUU lainnya yang dianggap memuat pasal kontroversial akhirnya menuai polemik sehingga memicu timbulnya reaksi publik Indonesia. RUU KPK misalnya, disinyalir sebagai sebuah “strategi” untuk melakukan pelemahan terhadap institusi yang bertugas memberangus para koruptor di negeri ini. RUU ini juga diyakini akan memberi angin segar kepada para koruptor untuk terus mencoleng uang negara. KPK melalui laman resminya kpk.co.id menyatakan bahwa ada dua puluh enam poin dalam RUU KPK yang bisa melumpuhkan kerja KPK. Menurut KPK, beberapa kewenangan yang dikurangi dalam RUU tersebut adalah kewenangan pokok dalam pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi.

RUU KPK yang terkesan melemahkan penegakan hukum terhadap koruptor itu akan berdampak pada semakin merajalelanya perilaku koruptif di Indonesia. DPR RI dan Presiden RI yang telah diberi amanah oleh rakyat seharusnya berada di garda paling depan dalam pemberantasan korupsi, bukan justru “memberi peluang” bagi menjamurnya para koruptor di tanah air. Khususnya DPR RI yang bertindak selaku wakil rakyat seharusnya dapat menjadi ujung tombak yang mengawasi perilaku koruptif di lingkar kekuasaan. Selama ini, sikap DPR RI terkesan paradoks. Di satu sisi DPR RI bercita-cita membersihkan institusi negara dari korupsi, namun di sisi lain justru turut menyumbang saham dalam pelemahan institusi semisal KPK 

Selain RUU KPK, RKUHP juga dinilai memuat banyak pasal kontroversial. Sebagaimana dilansir tirto.id, pasal kontroversial tersebut di antaranya: hukuman bagi koruptor yang lebih rendah dari UU Tipikor; pasal penghinaan presiden; penghinaan bendera negara; pemidanaan gelandangan; pidana perzinaan dan kohabitasi; dan denda pembiaran unggas.

Beberapa pasal dalam RKUHP tersebut juga akan menimbulkan sejumlah masalah jika dipaksa-terapkan. Pasal yang memberi keringanan hukuman terhadap koruptor misalnya akan menjadi ironi dan bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Pasal penghinaan presiden akan memberi peluang bagi terjadinya “otoritarianisme” yang sendirinya akan membuat demokrasi di Indonesia semakin mundur, apalagi pasal dimaksud sudah pernah dibatalkan MK.

Pasal pemidanaan gelandangan juga terkesan aneh dan bertentangan dengan semangat kemanusiaan. Seharusnya negara menunjukkan tanggungjawabnya terhadap mereka, bukan justru mengancam pidana dengan alasan yang tidak masuk akal. Demikian juga dengan pasal menyangkut denda bagi pemilik unggas juga terlihat lucu dan dipaksakan. Besaran denda yang mencapai sepuluh juta adalah tidak masuk akal dan dapat merusak harmoni dalam kehidupan sosial masyarakat.

Selain RUU kontroversial tersebut, sebelumnya Muhammadiyah dan sejumlah ormas lainnya juga telah menyatakan menolak UU Pesantren yang sudah disahkan beberapa waktu lalu. Salah satu alasan penolakan karena UU dimaksud dianggap berpeluang terjadinya pemborosan anggaran. UU tersebut juga dianggap tidak mewakili aspirasi sejumlah ormas Islam dan terkesan menguntungkan ormas tertentu.

Protes Mahasiswa

Kali ini protes terhadap RUU yang dianggap kontroversial tidak datang dari DPR yang notabene adalah wakil rakyat, tapi langsung menemukan titik ledaknya dalam barisan massa yang dimotori mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa telah berlangsung sejak beberapa hari ini yang tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi juga menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain di gedung DPR RI, massa mahasiswa tampak melakukan aksi di gedung-gedung DPRD kabupaten/kota dengan tuntutan yang seragam. Uniknya, demonstrasi kali ini juga melibatkan anak-anak sekolah semisal anak STM yang kehadiran mereka sempat viral di media sosial.

Dalam perkembangan terakhir pemerintah mulai panik dan kalut menghadapi massa mahasiswa yang mengunakan atribut kampus masing-masing di berbagai daerah. Bukan tidak mungkin kondisi ini akan mengingatkan penguasa pada gerakan reformasi 1998 yang kala itu sukses menumbangkan Soeharto dari kursi kekuasaanya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh penguasa untuk meredam gejolak massa mahasiswa yang terus melebar. Bahkan menurut informasi yang dilansir sejumlah media, Presiden RI melalui Menristekdikti telah memberi “ultimatum” kepada sejumlah rektor di Indonesia untuk “menghalau” gerakan mahasiswa.

Seperti dilansir Waspada (27/09/19), Menristekdikti meminta kepada para rektor agar mahasiswa tidak lagi turun ke jalan. Sang menteri yang kononnya diperintahkan presiden juga “mengancam” akan memberikan sanksi kepada rektor yang turut menggerakkan mahasiswa. Bahkan beberapa oknum yang diduga berafiliasi dengan penguasa juga terlihat melemparkan pernyataan-pernyataan aneh yang meminta mahasiswa tidak mau ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu.

Tindakan Represif 

Salah satu indikasi kekalutan yang dihadapi penguasa adalah munculnya sikap represif dari oknum aparat keamanan. Dari Sulawesi Tenggara dilaporkan dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari yang bernama Randi dan Yusuf Kadari menjadi korban penembakan. Keduanya meninggal dunia setelah peluru melubangi tubuh mereka. Sejumlah pihak meyakini mahasiswa tersebut ditembak saat mengikuti aksi. Menyikapi kondisi ini, Muhammadiyah telah meminta polisi untuk mengusut penembakan tersebut. Jika nantinya terbukti aparat terlibat dalam insiden ini, maka aroma Orde Baru akan kian menyengat.

Dugaan tindakan kekerasan oleh oknum aparat juga menimpa para pekerja kemanusiaan. Republika melaporkan bahwa pada saat tim medis ambulans PMI Jakarta Timur memberi pertolongan pertama kepada korban kerusuhan, tiba-tiba oknum anggota Brimob melakukan sweeping yang membuka paksa ambulans dan kemudian terjadi pemukulan dan penarikan paksa pasien dari dalam ambulans. Kabarnya, oknum anggota Brimob juga melakukan pemukulan terhadap tim medis PMI (republika.co.id, 26/09/19).

Jika pola-pola represif terus dijalankan oleh penguasa, maka bayang-bayang Orde Baru akan semakin menemukan panggungnya di Republik ini. Kondisi ini bukan saja menimbulkan gejolak massa yang semakin luas, tapi juga akan mencederai demokrasi dan semangat reformasi yang telah digagas dua puluh satu tahun lalu. Tidak hanya itu, sikap represif oknum aparat negara juga akan segera mengantar bangsa ini pada Orde Baru 4.0.

Kita berharap agar Presiden RI dan DPR RI dapat menyerap aspirasi rakyat yang disuarakan mahasiwa demi terjaganya semangat reformasi. Gejolak yang terus menerus tentunya akan berdampak pada terganggunya stabilitas nasional sehingga perekonomian rakyat akan semakin lumpuh.

Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada Medan.


loading...

No comments