LGBT, HAM dan Solusi Temporal

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 06 Februari 2016

Ilustrasi. Sumber Foto: urban-echo.co.uk
“Semakin banyak orang sudah memahami bahwa orientasi seksual ataupun identitas seksual seseorang tidak membuat seseorang lebih baik ataupun lebih buruk dari orang lain. Tidak ada alasan lagi buat kita untuk merasa malu atau takut karena kita berbeda orientasi seksual dengan orang kebanyakan.”. Demikian kutipan singkat yang saya “cubit” dari website LGBT Indonesia.

Kutipan singkat di atas memberi isyarat kepada kita semua bahwa seiring perjalanan waktu, kampanye LGBT semakin “berhasil” dan selangkah lagi menuju “sukses”. Para pelaku dan pengagum LGBT terlihat pantang menyerah untuk terus berjuang agar keberadaan mereka bisa diterima secara “ikhlas” oleh publik mayoritas. Untuk melapangkan jalan menuju kesuksesan, mereka terus “menjual” Isu Hak Azasi Manusia (HAM) dan slogan anti diskriminasi. Dua alasan ini menjadi dalil paling shahih untuk meyakinkan publik.

Namun, sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya saya memberikan sedikit penjelasan tentang istilah LGBT agar tulisan ini menjadi fokus. Karena bukan tidak mungkin ada orang (yang awam seperti saya) yang menyangka LGBT merupakan singkatan dari Lomba Gerakan Buta Tuli. Di Indonesia salah sangka model ini adalah wajar saja mengingat orang-orang kita paling hobi buat singkatan. Lihat saja PBB, bisa berarti Pajak Bumi Bangunan, bisa juga Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bisa pula Pendidikan Baris Berbaris plus Partai Bulan Bintang dan masih banyak lagi. Jika kita tanya milik siapa PBB sebenarnya? Wallahu A’lam. Demikian pula dengan LGBT.

Baik, yang saya maksud LGBT dalam tulisan ini adalah Lesbi Gay Biseksual dan Transgender, satu istilah yang tentunya sudah tidak asing bagi kita yang hidup di abad modern. Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, sedangkan gay merupakan istilah yang secara umum menggambarkan seorang pria yang tertarik secara seksual dengan pria lain. Adapun biseksual adalah individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan seksual dengan orang dari kedua jenis kelamin, sementara transgender adalah suatu kondisi di mana seseorang merasa tidak nyaman dengan kondisi fisik kelaminnya, kemudian mengadakan perubahan besar-besaran dengan mengganti kelaminnya menjadi sama dengan lawan jenisnya. Oke, saya kira penjelasan singkat ini sudah cukup memadai untuk menghindarkan kita dari salah memahami istilah atau singkatan.

Selanjutnya kita masuk dalam pokok persoalan. Sebagaimana telah maklum bahwa keberadaan kaum LGBT ini terus saja disambut dengan pro-kontra, tidak hanya di Indonesia yang masyarakatnya dikenal religius, tapi juga di negara sekular sekalipun tersebab perilaku tersebut masuk dalam katagori “aneh,” baik ditinjau dari pandangan umum, ajaran agama maupun kodrat manusia. Namun demikian, dalam perkembangannya beberapa negara telah melegalkan perilaku ini.

Bagi masyarakat umum (agama apapun) menganggap bahwa LGBT adalah satu bentuk penyimpangan, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Bahkan Dewan Syura Jurnalis Islam Bersatu (Jitu), Mahladi menyebut LGBTIQ sebagai sebuah penyakit bangsa. Namun demikian, tentunya kenyataan ini tidak bisa diterima oleh para pelaku LGBT, di mana mereka menuntut agar dianggap sama dan tidak diperlakukan diskriminatif. 

Menurut Lewi Aga Basoeki dalam salah satu artikelnya:
“apa yang selama ini dibahas hanyalah di dalam koridor agama atau pun ‘adat ketimuran’ atau di dalam perspektif kaum heteroseksual bahwa pasangan itu seharusnya laki-laki dan perempuan, itu yang dianggap normal atau ‘tidak sakit’ sehingga timbul diskriminasi bagi yang tidak sejalan dan seirama. Akibatnya, kaum LGBTIQ menjadi warga kelas dua dengan alasan sederhana, mereka menjalani kehidupan yang ‘dilaknat’ oleh agama.”
Kutipan ini mengisyaratkan bahwa kaum LGBT di Indonesia selama ini menganggap bahwa kalangan mayoritas telah bersikap diskriminatif terhadap mereka.

Sepanjang sejarah kemunculannya, banyak pihak yang telah memberikan solusi untuk “menyembuhkan” LGBT sehingga mereka bisa kembali menjadi manusia dengan kecenderungan seks yang normal dan sesuai fitrah manusia. Berbagai pendekatan telah dilakukan, baik pendekatan keagamaan, kesehatan maupun pendekatan kemanusiaan itu sendiri. Tapi, apa hendak dikata, semua usaha tersebut dianggap sebagai bentuk diskriminasi oleh kaum LGBT.

Secara lebih tegas, Lewi Aga Basoeki juga menulis bahwa:
“harapan kaum LGBTIQ di Indonesia ini sederhana, mereka hanya ingin diperlakukan sama dan tanpa diskriminasi. Mereka tidak dipaksa untuk berubah menjadi kaum heteroseksual, mereka tidak dipaksa untuk menikah atau dibawa ke pusat rehabilitasi keagamaan untuk disulap menjadi penyuka lawan jenis.”
Penjelasan dari Aga Basoeki ini merupakan puncak “kekesalan” kaum LGBT sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa kita tidak boleh “memaksa” mereka untuk berubah, karena itu adalah pilihan mereka. Di samping itu, upaya “menyembuhkan” mereka juga terkesan sia-sia saja karena akan dianggap sebagai pelanggaran HAM (setidaknya menurut mereka).

Oleh sebab itu, menurut saya, kita turutkan saja “nafsu” dan keinginan mereka agar tidak disebut diskriminatif. Saya punya solusi yang bersifat temporal untuk menyikapi keberadaan LGBT di Indonesia. Di satu sisi, solusi ini terkesan tidak masuk akal, tapi sangat berguna untuk mengobati “akal yang mati”. Dalam hal ini, menurut saya, berikan saja kesempatan kepada kaum gay dan lesbi untuk menikmati keinginan mereka tanpa diskriminasi.

Saya sarankan hibahkan saja satu pulau untuk mereka, satu pulau untuk gay dan satu pulau untuk lesbi. Biarkan mereka hidup di sana dalam jangka waktu 30 tahun saja. Agar tidak diskriminatif, pemerintah harus membangun berbagai fasilitas di pulau tersebut layaknya di tempat lain, ada listrik, ada rumah sakit, ada kantor polisi, ada PLN dan seterusnya. Pokoknya selengkap-lengkapnya. Di Pulau gay penghuninya harus semua laki-laki, demikian pula di pulau lesbi, penghuninya semua perempuan. Kita ingin lihat apakah mereka bisa hidup selama 30 tahun di pulau-pulau itu dengan sesama jenis. Tapi, saya punya keyakinan, dalam jangka waktu 30 tahun pulau itu sudah kosong tanpa penghuni. 

Tapi perlu saya tegaskan, ini hanya solusi temporal sekaligus sebagai bentuk pembelajaran, semoga mereka bisa “tersadarkan.” Supaya mereka paham, bahwa kita sayang kepada mereka. Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin sampaikan bahwa ini cuma pendapat, jangan pula saya disomasi seperti Republika. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diposting di Kompasiana
loading...

No comments