Aceh dan “Budaya” Konsumerisme
(Let Model)
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 02 Februari 2016
Ilustrasi. Sumber Foto: dreamreader.net |
Sebanyak 92 warga biasa yang dijadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) palsu membobol kredit bank di Aceh Tamiang sebesar Rp 12,8 miliar, demikian kabar yang dilansir oleh Serambi Indonesia (20/01/16) beberapa waktu lalu. Kisah tentang pembobolan bank di Aceh juga pernah terjadi pada tahun 2014, di mana ketika itu kononnya terjadi penggelapan uang kredit di Bank Aceh Capem Balai Kota Banda Aceh yang mencapai 4 miliar (SI, 09/01/14).
Pasca pembobolan bank yang melibatkan beberapa pihak di Aceh Tamiang baru-baru ini, Serambi Indonesia dalam editorialnya mengangkat kasus ini untuk didiskusikan. Dalam editorialnya Serambi Indonesia (27/06/16) menulis: “sebetulnya pemerintah hingga kini tidak cukup memiliki alat pengawas serta audit terhadap gaya hidup para PNS dan pegawai BUMN. Lihatlah, selama ini ada pegawai bank atau bendahara SMP yang baru bekerja tiga tahun sudah punya mobil. Ini kan pantas dicurigai, dari mana duitnya?” Saya melihat, kutipan editorial Serambi Indonesia ini menarik untuk dikaji, apalagi hal ini sudah hampir menjadi fenomena umum di Aceh.
Let Model
Tentu sudah “tidak aneh”, jika selama ini kita sering menyaksikan pegawai golongan kecil (bahkan golongan 2) yang dengan “gagahnya” mengendarai mobil berharga ratusan juta. Terlepas mobil tersebut dibeli secara cash atau pun kredit, yang jelas untuk ukuran pegawai negeri sipil golongan empat sekali pun, dilihat dari jumlah gaji yang didapat perbulan, tidak akan mampu membeli mobil yang harganya ratusan juta itu. Tidak hanya itu, kadang kita juga dibuat “hangeup” (terkesima) ketika menyaksikan rumah-rumah mewah dengan harga hampir milyaran yang pemiliknya adalah pegawai negeri sipil. Dalam hal ini, saya mengecualikan para pegawai negeri sipil yang memang berasal dari kalangan “kaya baynah” (hartawan). Namun fenomena yang saya sebutkan di atas cenderung terjadi pada pegawai negeri sipil yang secara kasat mata “gasin baynah” alias dari golongan masaakin (non hartawan).
Namun demikian, beberapa peukateun yang saya sebutkan di atas tidaklah menjadi monopoli pegawai negeri sipil. “Budaya” let model semacam ini juga menimpa segala kalangan di Aceh. Saya ingat betul ketika Aceh memasuki era damai pasca 2005, ketika itu banyak bermunculan orang kaya baru yang tampil dengan gaya necis. Padahal sebelum 2005 tidak ada satu riwayat pun yang menunjukkan mereka sebagai “kaya baynah”, tetapi pasca 2005 mereka terlihat seperti “model iklan”, dengan kaca mata hitam plus kalung emas. Mereka berjalan penuh gaya dengan HP Samsung di tangan kanan dan Blackberry di tangan kiri.
Di tempat lainnya, kita juga melihat para pelajar yang gonta-ganti sepeda motor. Awalnya RX King, kemudian ganti Ninja, tidak lama kemudian Yamaha Vixion. Tidak hanya itu, kita juga melihat remaja yang demam Android, hari ini begini, besok begitu. Belum lagi gonta-ganti jilbab gaul pada remaja putri dan juga ibu-ibu. Uniknya lagi, ada pula ibu-ibu yang giginya tinggal dua tapi masih berhajat memakai kacamata Syahrini. Singkatnya, budaya let model telah mulai menggurita di Aceh.
Konsumerisme
Jika mencermati ulasan di atas, maka secara tidak sadar, kita telah terjebak dalam “budaya” konsumerisme yang menganggap kemewahan sebagai indikator kebahagiaan. D. A. Lyon sebagaimana dikutip Eko Haryanto (Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 2012) mendefinisikan konsumerisme sebagai suatu proses transaksi konsumtif individual maupun sosial yang melampaui kebutuhan primer. Sementara Kenneth R. Himes mendefinisikan konsumerisme dalam tiga acuan, yaitu sebagai gerakan sosial, sebagai ideologi, dan sebagai gaya hidup (a way of life). Secara khsusus, Himes (dalam Haryanto) menyoroti kaidah moral konsumerisme sebagai gaya hidup. Konsumerisme bersifat adiktif sehingga menimbulkan perilaku belanja yang berlebihan. Menurut Haryanto, konsumerisme menawarkan kepuasan (satisfaction) untuk segala kebutuhan konsumen, namun ironisnya kepuasan itu tidak akan pernah tercapai sebab konsumerisme selalu menyatakan segala sesuatu yang diinginkan konsumen sebagai kebutuhan.
Dalam konteks Aceh, nampaknya konsumerisme telah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat kita. Dalam kondisi tertentu, budaya konsumerisme ini akan membuat kita sulit membedakan antara kebutuhan dan kemauan sehingga kita terus terdorong oleh nafsu yang tanpa batas itu. Keinginan untuk mengikuti trend yang berkembang (let model) tentunya akan berimbas pada rusaknya perekonomian keluarga, di mana kebutuhan primer terkalahkan oleh kebutuhan hura-hura. Terkadang, hanya sekedar untuk let model sebagian kita tidak segan-segan untuk berhutang demi mendapatkan barang-barang mewah pemuas hati. Untuk mendapatkan sepeda motor atau pun mobil baru kita terdorong untuk mengajukan kredit, apalagi di zaman ini “proyek kredit” ini telah menjamur di mana-mana. Bahkan para penyedia layanan kredit ini tidak segan-segan merayu konsumennya dengan kredit tanpa DP. Tanpa sadar kita pun masuk dalam “perangkap tikus”.
Dalam kondisi tertentu budaya konsumerisme juga akan memicu terjadinya berbagai tindak kejahatan, mulai dari menipu, mencuri, merampok, membobol bank dan bahkan korupsi. Lihat saja beberapa oknum pejabat negara dan oknum anggota DPR RI yang memiliki gaji lumayan tinggi tapi masih juga melakukan korupsi. Penyebutan lumayan di sini jika dibandingkan dengan gaji buruh dan pegawai rendah. Meskipun dibutuhkan penelitian lebih lanjut, namun untuk sementara patut diduga bahwa munculnya perilaku koruptif sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh budaya konsumerisme.
Pada tahapan kronis, para “penderita” konsumerisme akhirnya akan terpenjara dalam hedonisme. Hedonisme sebagaimana disebut oleh Praja dan Damayanti (dalam Jurnal Sociologie, Vol. 1. No. 3) adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Para penderita hedonisme beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya.
Di akhir tulisan ini kita cuma bisa berharap agar masyarakat Aceh yang terkenal fanatik dengan Islam untuk membebaskan diri dari budaya konsumerisme yang berujung pada hedonisme. Dalam Alquran Allah Swt telah memperingatkan: “janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-‘An`am: 141). Dalam ayat lainnya, Allah juga berfirman: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” (QS. Al-Isra’: 26).
Semoga saja tidak ada lagi oknum pejabat-pejabat di Aceh yang melakukan korupsi untuk beli mobil baru semisal Jeep Rubicon dan tidak ada lagi oknum karyawan bank atau pun oknum pegawai negeri sipil yang membobol bank untuk beli kaca mata Syahrini. Wallahul Musta’an.
Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia
loading...
Post a Comment