Pemberedelan Media Islam dan “Logika Dangkal” Rezim Jokowi
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 31 Maret 2015
Ilustrasi: Salah Satu Situs Yang Kena Bredel. Sumber. Hidayatullah.com |
Jauh sebelum serangan Arab Saudi ke Yaman, kegaduhan politik telah melanda beberapa negara Timur Tengah, dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya dan terakhir Suriah yang sampai saat ini masih bergolak, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dalam kekalutan politik tersebut, muncul pula Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang kemudian berganti nama menjadi Islamic State (IS) atau Daulah Islam. Kehadiran ISIS telah pula memunculkan konflik baru Timur Tengah, khususnya Suriah dan Iraq.
Tidak hanya di Timur Tengah, beberapa waktu lalu juga tersiar kabar bahwa ISIS telah mulai mengembangkan sayapnya di Indonesia. Perbincangan tentang ISIS semakin ramai setelah beredarnya video yang berisi ceramah “emosional” dari beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai ISIS Indonesia. Akhir-akhir ini adapula informasi yang menyebut bahwa ada beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang hijrah ke luar negeri untuk bergabung dengan ISIS.
Di tengah carut-marut politik Timur Tengah yang tak menentu, baru-baru ini, Pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo dikabarkan akan memberedel beberapa situs media Islam yang diduga menyebarkan paham radikal. Sebagaimana diberitakan oleh media, bahwa pemberedelan tersebut didasarkan atas rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Di antara situs-situs yang dituding menyebarkan paham radikal dan akan diblokir oleh Kemenkominfo adalah: Voa-Islam.com, Arrahmah.com, Panjimas.com, Dakwatuna.com, Kiblat.Net, Muslimdaily.Net, Hidayatullah.com dan sejumlah situs-situs Islam lainnya. Akibat pemblokiran sepihak yang dilakukan oleh pemerintah terhadap situs-situs tersebut, akhirnya protes pun bermunculan, khususnya di media sosial.
Media Islam = Teroris?
Sebagaimana dikabarkan oleh media bahwa alasan utama pemblokiran situs-situs Islam disebabkan situs-situs tersebut menyebarkan paham radikalisme dan terorisme. Bahkan media-media Islam tersebut juga dituduh menyebarkan paham ISIS, sebuah tuduhan yang “miskin” fakta dan bertolak belakang dengan kenyataan.
Keputusan Kemenkominfo untuk memberedel media Islam adalah langkah “terburu-buru” tanpa didahului oleh kajian objektif. Definisi radikalisme dan terorisme pun telah ditafsirkan secara bias oleh BNPT sehingga akan memunculkan anggapan tak sedap, bahwa Islam adalah teroris, dan media Islam adalah corong terorisme.
Anehnya lagi, sebagaimana disuarakan oleh beberapa nitizen di media bahwa sosial, situs-situs porno tidak menjadi perhatian pemerintah, buktinya, situs-situs porno tersebut sampai sekarang masih bisa diakses. Di sisi lain, pemberedelan media Islam adalah tindakan yang tidak adil, di mana media Kristen dan “Komunis” justru aman-aman saja dari ancaman pemblokiran.
Logika Dangkal
Menuduh media Islam sebagai sumber radikalisme merupakan tindakan yang sangat lebay alias ngawur sehingga fenomena ini lebih tepat disebut sebagai gejala “Islamophobia”. Butuh penelitian panjang untuk membuktikan bahwa media Islam telah menyebarkan paham radikalisme dan terorisme. Lagi pula, beberapa media yang masuk dalam “daftar beredel” justru bersikap kritis terhadap ISIS. Lantas bagaimana pula media-media tersebut dituduh sebagai penyebar paham ISIS?
Di antara situs yang masuk dalam daftar blokir adalah Hidayatullah.com. Penulis hampir setiap hari mengakses berita-berita yang ada media tersebut. Bahkan penulis sering menyumbangkan tulisan kepada situs Hidayatullah.com (dari 2011 sampai sekarang) dan tidak pernah menemukan bahwa media tersebut mengajak kepada radikalisme dan terorisme. Tidak ada satu kalimat pun dalam pemberitaan media tersebut, khususnya Hidayatullah.com yang mengajak masyarakat Indonesia untuk bergabung dengan ISIS, baik kalimat langsung maupun metafor.
Anehnya lagi, pemblokiran tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Mahladi Murni (Pimred Hidayatullah.com) dilakukan tanpa adanya konfirmasi kepada media bersangkutan dan dilakukan sepihak oleh pemerintah (Islampos, 31/03/15). Di samping itu, sebagaimana dikabarkan oleh Hidayatullah.com (31/03/15), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga mengaku tidak tahu menahu soal pemblokiran sejumlah situs media Islam oleh Kemenkominfo. Lukman Hakim juga mempertegas bahwa kemenag tidak terlibat sama sekali dalam pemblokiran tersebut. Aneh.
Secara tidak sadar Rezim Jokowi telah berusaha “mengelabui” publik melalui “logika dangkal” yang berusaha mengaitkan situs-situs media Islam dengan radikalisme dan terorisme. Bukan tidak mungkin, suatu saat segala segala sesuatu yang berbau Islam akan dicurigai sebagai terorisme sehingga pantas untuk “digulung”.
Dampak Penutupan Situs Islam
Salah satu dampak penutupan situs-situs media Islam adalah akan terjadinya ketidakseimbangan informasi yang sampai kepada masyarakat, di mana pemberitaan akan dimonopoli oleh media-media mainstream yang belum tentu objektif – untuk tidak menyebut “anti Islam”. Dengan diberedelnya situs media Islam, maka segala informasi yang disebarkan oleh media mainstream akan mudah saja “dipaksakan” sebagai kebenaran tunggal kepada publik. Kita berharap jangan sampai isu radikalisme dan terorisme dijadikan dalil untuk memberangus media yang selama ini telah mengisi kekosongan informasi dan menghilangkan “dahaga publik” akan informasi-informasi aktual dunia Islam, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan.
loading...
Post a Comment