Tony Abbott Yang “Tak Berbobot”
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 20 Februari 2015
Tony Abbot. Sumber: reneweconomy.com.au |
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang tergabung dalam jaringan narkotika Bali Nine telah divonis mati oleh pemerintah Indonesia karena kedapatan menyelundupkan 8,2 kg heroin, sepuluh tahun lalu (u.msn.com). Atas vonis tersebut, pemerintah Australia melalui Menlu Julie Bishop meminta pemerintah Indonesia untuk mengampuni kedua warga negaranya tersebut (bbc.uk, 12/02/15).
Tidak hanya pemerintah Australia, dari dalam negeri juga muncul pernyataan serupa. Seorang anggota komisi III DPR asal Bali, I Putu Sudiartana juga meminta kepada pemerintah agar hukuman mati kepada dua warga Australia dipertimbangkan dengan matang. Sudiartana juga menegaskan jangan sampai Indonesia tidak memiliki nilai kemanusiaan ketika ada kepala negara yang meminta maaf atas kesalahan warga negaranya (news.okezone, 17/02/15)
Perbincangan terkait pro kontra hukuman mati terhadap dua warga Australia yang terlibat Bali Nine terus bergulir. Baru-baru ini, muncul pula pernyataan heboh dari PM Australia Tony Abbott yang mendesak Indonesia untuk membatalkan hukuman mati terhadap terpidana narkoba asal Australia tersebut. Abbot meminta pemerintah Indonesia untuk mengingat kontribusi besar Australia yang memberikan bantuan pada saat tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu (kompas.com, 18/02/15).
Pernyataan yang dikeluarkan Abbot tersebut telah memantik kemarahan sebagian pihak di Indonesia, khususnya di Aceh – sebagai penerima bantuan Australia. Diskusi terkait pernyataan Abbot tersebut terus berhembus via media sosial. Berbagai kecaman pun muncul. Bahkan seorang aktivis Aceh, Helmy N Hakim dalam akun facebooknya terlibat perdebatan serius dengan Damien Kingsbury, seorang akademisi asal Australia yang pernah menjadi penasehat Politik Gerakan Aceh Merdeka. Tidak hanya itu, juga tersebar informasi bahwa telah ada sebagian masyarakat Aceh yang melakukan pengumpulan koin untuk mengembalikan bantuan dari Australia tersebut.
Tidak lama berselang, entah karena panik atau merasa keseleo lidah, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dikabarkan menelpon Wapres Jusuf Kalla untuk mengklarifikasi pernyataan Abbot. Menurut Bishop, Abbot tidak bermaksud mengungkit bantuan untuk korban tsunami Aceh. Tapi, pernyataan Abbot hanya ditujukan untuk menggambarkan eratnya relasi antara Australia dan Indonesia. Abbot meminta agar Indonesia mempertimbangkan rasa kemanusiaan, seperti rasa kemanusiaan yang pernah ditunjukkan oleh Australia pada saat bencana tsunami Aceh (m.liputan6.com, 19/02/15).
Informasi lainnya juga datang dari rmol.co (19/02/15), terkait adanya wacana dari Abbot untuk meminta ganti rugi bantuan yang telah diberikan Australia kepada Indonesia. Abbot berharap Indonesia membalas kebaikan Australia yang pernah membantu tsunami Aceh senilai 1 miliar dolar. Jika ditelisik, hubungan RI-Australia memang tidak terbilang romantis, di mana kedua negara pernah beberapa kali mengalami ketegangan. Di sisi lain, pernyataan Abbot yang menginginkan barter dua pelaku narkoba dengan bantuan tsunami, secara tidak langsung telah memperjelas siapa sebenarnya Australia.
Narkoba dan Tsunami, samakah?
Meskipun saat ini Abbot menjabat sebagai perdana menteri Australia, namun pernyataan ngawur yang dilontarkannya baru-baru ini telah membuktikan betapa tidak berbobotnya seorang Abbot di mata publik. Memang, bagi warga Australia, pernyataan Abbot tersebut bisa saja dianggap sebagai sebuah ketegasan dan bentuk kepedulian seorang pemimpin terhadap nasib warganya. Demi menyelamatkan warganya, Abbot rela melakukan apa saja, termasuk “tindakan bodoh”, dengan mengungkit bantuan yang telah diberikan. Dalam hal keseriusan untuk menyelamatkan warga negaranya, Indonesia mungkin patut mencontoh Australia.
Namun di sisi lain, meskipun Abbot menjadi pahlawan di negaranya, tapi sikap politiknya yang “kekanak-kanakan” telah “memaksa” publik internasional, khususnya Indonesia menilainya tak lebih hanya sebagai seorang “pecundang”. Bantuan Australia senilai 1 miliar dolar yang diberikan kepada Indonesia pada saat tsunami, oleh Abbot disebut sebagai wujud rasa kemanusiaan yang coba ditunjukkan Australia kepada Indonesia. Hal ini-lah (rasa kemanusiaan) yang dijadikan dasar oleh Australia untuk meminta barter bantuan tersebut dengan pelaku narkoba.
Sebagai seorang pemimpin negara maju, semisal Australia, semestinya Abbot memahami setiap statemen yang diucapkannya. Abbot tidak selayaknya mempersamakan antara bantuan tsunami dengan pelaku narkoba yang telah banyak “membunuh” anak-anak negeri. Bantuan tsunami yang diberikan kepada Indonesia (Aceh) oleh Australia sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan – di mana, jika seandainya Australia mengalami bencana serupa, tentunya negara lain, termasuk Indonesia juga akan turut membantu. Hal ini tentu berbeda jauh dengan pembebasan atau pembatalan hukuman terhadap pelaku narkoba. Membatalkan hukuman terhadap pelaku narkoba justru merupakan bencana bagi HAM itu sendiri, di mana hak masyarakat untuk hidup normal telah “direnggut” oleh narkoba.
Melukai Perasaan Masyarakat Aceh
Secara khusus, pernyataan Tony Abbott yang mengungkit bantuan tsunami juga telah melukai perasaan sebagian besar masyarakat Aceh yang kala itu menjadi penerima bantuan dari Australia. Bagi masyarakat Aceh, mengungkit bantuan yang telah diberikan merupakan tindakan yang sangat tidak etis. Sebagai muslim, masyarakat Aceh meyakini bahwa mengungkit pemberian adalah terlarang dalam agama sebagaimana termaktub dalam hadits Tirmidzi: “tiga golongan mereka tidak akan masuk surga; anak yang durhaka kepada orang tua, pecandu khamr, dan orang yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya”. Di sisi lain, di Aceh juga berkembang semacam hadih maja (falsafah hidup) yang kira-kira berbunyi: “lheuh bi bek lake pulang, enteuk meupure singke” (kalau sudah diberi jangan minta kembali, nanti meupure singke. Istilah pure singke sulit diterjemahkan, mungkin semacam penyakit gatal di tangan bagian siku. Wallahu A’lam. Dengan demikian adalah sangat wajar jika masyarakat Aceh tersinggung dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Tony Abbot.
Meskipun tidak semua warga Australia sepakat dengan pernyataan Abbot, namun setidaknya pernyataan tersebut telah menjadi bukti tidak ikhlasnya Australia dalam menjalankan misi kemanusiaan. Secara tidak langsung, Abbot dengan mengatasnamakan Australia telah mengorbankan rasa kemanusiaan dan menjadikan bantuan sebagai modal politik guna melakukan intervensi terhadap negara lain di kemudian hari. Sebuah sikap tak elok yang coba ditunjukkan oleh sebuah negara maju yang katanya berperadaban tinggi.
Mungkin sekaranglah saatnya publik melihat, apakah Indonesia mampu bertahan dari intervensi pihak asing? Apakah Indonesia dibawah “asuhan” Jokowi mampu berdiri gagah di hadapan Australia? Atau Indonesia cuma berani dengan Belanda dan Brazil yang warga kedua negara tersebut telah dieksekusi lebih awal? Insya Allah soalan ini akan terjawab dalam beberapa hari ke depan. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan
loading...
Post a Comment