Jangan Lebay Menyikapi Abbott
Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 24 Februari 2015
Ilustrasi Tsunami Aceh. Sumber: www.tribunnews.com |
Tidak ada yang menduga bahwa pernyataan “kolot” yang diucapkan oleh Abbot terkait bantuan tsunami beberapa waktu lalu telah memicu reaksi yang semakin luas. Tidak hanya di Aceh, aksi pengumpulan koin telah berlangsung di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Abbot telah menusuk duri di atas luka, sehingga masyarakat Indonesia, khususnya Aceh terlihat ngotot ingin mengembalikan bantuan tersebut kepada Abbot. Sebagai bangsa yang punya harga diri, tentunya, aksi pengumpulan koin tersebut harus didukung oleh semua pihak. Penulis, sebagai bagian masyarakat Aceh juga mendukung aksi pengumpulan koin tersebut.
Namun, berdasarkan amatan penulis via media, baik lokal maupun nasional, khususnya media online, aksi protes terhadap pernyataan Abbot sudah semakin liar. Serambi Indonesia mengabarkan bahwa di Aceh Barat, beberapa orang yang disebut-sebut sebagai korban tsunami telah melakukan aksi yang lumayan berlebihan alias lebay. Dikabarkan bahwa beberapa orang di Aceh Barat melakukan aksi penggalian kuburan yang ditujukan kepada dua terpidana mati Australia. Dalam pandangan penulis (bisa benar bisa salah), aksi ini tidak hanya menyinggung Abbot, tapi justru telah melukai perasaan masyarakat Australia lainnya yang tidak tahu menahu tentang ucapan Abbot yang memang suka main serobot.
Di samping itu, dalam sebuah surat terbuka via http://e-kabar.com/, seorang mahasiswa asal Australia juga menuliskan kekecewaannya terhadap aksi masyarakat Indonesia, khususnya Aceh. Surat tersebut ditujukan kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah.
Dalam suratnya, Michael York (mahasiswa asal Australia), menulis:
Saya merasa sangat tersinggung, terhina dan diremehkan ketika orang melemparkan uang recehan kepada saya, atau membuat sindiran dan ejekan lainnya. Perlu dicatat bahwa tidak satu pun mahasiswa atau orang Indonesia di Australia dihina, diserang atau diejek di Australia terkait dengan isu hukuman mati ini. Menurut laporan dari mahasiswa Indonesia di Australia, mereka tidak diganggu sama sekali. Seharusnya perilaku yang baik itu dibalas kepada orang Australia di Indonesia.
Jika informasi informasi yang disampaikan York ini benar, maka perlulah kita bermuhasabah kembali. Patutkah kita melecehkan warga Australia hanya karena pernyataan seorang Abbot yang memang tak berbobot itu? Layakkah kita melukai perasaan masyarakat Australia yang belum tentu mereka sepakat dengan Abbot? Pantaskah kita menimpakan dosa Abbot kepada masyarakat Australia, yang diakui atau pun tidak telah membantu kita ketika bencana melanda? Semua terpulang kepada kita. Tentu tidak ada yang melarang jika kita memiliki jawaban yang berbeda.
Namun demikian, penulis memiliki pendapat lain. Menurut penulis, yang menjadi “musuh kita”, khususnya masyarakat Aceh adalah Abbot, bukan masyarakat Australia. Abbot telah melukai perasan orang Aceh dengan mengungkit bantuan tsunami. Namun demikian pernyataan Abbot terkait bantuan tsunami juga harus dilihat dari dua sisi. Pertama, pernyataan tersebut adalah bentuk lobi politik Abbot dengan RI. Dalam hal ini (masalah politik), kita tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Abbot. Kedua, pernyataan Abbot terkait tsunami telah menyinggung perasaan masyarakat Aceh. Sebenarnya di sinilah titik singgung antara kita dan Abbot. Perlu pula dicatat, bahwa yang membuat kita tersinggung adalah Abbot, bukan masyarakat Australia.
Dengan demikian, aksi melemparkan koin terhadap masyarakat Australia sebagaimana diceritakan oleh York tidak patut kita lakukan, karena York dan warga Australia lainnya belum tentu sepakat dengan Abbot. Lagi pula York hanya mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Indonesia, bukan anggota parlemen Australia dan bukan pula menteri. Bagaimana jadinya jika mahasiswa Indonesia di Australia diperlakukan seperti ini? Tentu kita pun akan berontak.
Demikian pula aksi menggali kuburan dengan maksud menyindir eksekusi mati warga Australia juga tak pantas kita lakukan. Berbeda halnya dengan mengumpulkan koin, aksi tersebut adalah wajar sebagai sebuah upaya mempertahankan harga diri yang telah “diinjak” oleh Abbot. Tapi menggali kuburan adalah tindakan berlebihan yang dapat melukai perasaan masyarakat Australia, khususnya keluarga terpidana.
Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas, titik singgung kita dengan Abbot adalah masalah bantuan tsunami, bukan masalah kejahatan narkoba. Persoalan narkoba adalah ranah hukum yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Bayangkan jika ada saudara kita yang akan digantung di luar negeri, kemudian masyarakat luar negeri mengejek dengan menggali kuburan. Bagaimana perasaan kita? Kita paham bahwa narkoba adalah satu kejahatan besar yang memang pantas dihukum mati. Tapi apakah kita akan sanggup tertawa, jika pelaku narkoba itu adik atau abang kita – yang setelah divonis mati diejek pula? Seperti kata pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga, kena taik mencret lagi”.
Kita menjunjung tinggi hukum agar ia ditegakkan. Tapi, ingat, untuk saat ini titik singgung kita (Aceh) dengan Australia bukan dalam masalah hukum dan politik, tapi dalam masalah bantuan tsunami yang diungkit oleh Abbot. Jika perlu kita akan “bunuh” Abbot dengan rencong andai dia datang ke Aceh, tapi kita tak layak mengacungkan “rencong” ke hadapan masyarakat Australia. Wallahu A’lam.
Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...
Post a Comment